Pat-ciu-sian-wan sendiri hanya dikenal oleh kaum persilatan sebagai jago silat kelas dua, suka hidup menyendiri tanpa sanak saudara, sering berkelana dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.
Sejak berita tersebut tersiar ke seluruh penjuru sungai telaga, nama Pat-ciu-sian-wan menjadi bahan pembicaran dan di cari oleh kaum persilatan yang ingin merebut peta kuno tersebut. Kelanjutannya mudah ditebak, pertempuran sengit, bunuh membunuh membuat dunia persilatan yang selama ini tenang kembali bergolak kencang. Selama beberapa bulan belakangan ini, dunia persilatan dilanda kekacauan hebat hanya oleh secarik kain tua berisi rahasia ilmu silat mandraguna.
Kembali ke Sie Han Li, menyadari peta tersebut sangat berharga dan bahaya yang mengancamnya apabila sampai diketahui umum bahwa dirinyalah yang berhasil mendapatkan peta kuno tersebut, Sie Han Li segera menyimpan kain kuno tersebut dan hanya ia keluarkan apabila yakin tak ada seorangpun yang melihatnya.
Melalui serangkaian usaha yang melelahkan selama beberapa bulan ke depan, akhirnya Sie Han Li mengetahui bahwa pemandangan puncak gunung seperti yang terlukis di peta kuno itu merupakan gambar puncak gunung Ko-San. Penemuan tersebut juga terjadi tanpa disengaja ketika ia memasuki sebuah kedai arak di tengah kota Peking yang megah.
Di salah satu dinding kedai arak tersebut tergantung sebuah lukisan pemandangan gunung yang sangat indah. Begitu melihatnya hati Sie Han Li berdesir, gambar puncak pegunungan tersebut sungguh mirip dengan gambar yang tertera di peta kuno. Kejadian yang begitu kebetulan, sungguh jarang terjadi.
Melalui salah seorang pelayan kedai tersebut, Sie Han Li mendapat tahu nama si pelukis yang tinggal di pinggir kota Peking. Dari keterangan pelukis itulah akhirnya Sie Han Li mendapat tahu gambar pemandangan itu adalah gambar yang melukiskan puncak gunung Ko-San.
Begitu mengetahui gambar yang tertera di peta kuno tersebut adalah gambar pemandangan salah satu puncak gunung Ko-San, tanpa membuang-buang waktu segera melakukan perjalan an ke pegunungan Ko-San.
Sejauh ini dirinya berhasil menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut namun akibat sedikit keteledorannya, rahasia tersebut berhasil diketahui orang.
Dalam perjalanan menuju puncak gunung Ko-San, pada suatu hari yang cerah ketika matahari bersinar terang dan burung-burung berkicauan di antara pepohonan yang rimbun, di pinggir jalan setapak di tepi hutan, Sie Han Li beristirahat sejenak melepaskan lelah.
Dia duduk di bawah pohon yang rimbun dengan semilir angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang masih belum hilang kanak-kanaknya dengan lembut. Sie Han Li diam beberapa saat menikmatinya, matanya menyusuri jalan setapak yang saat itu lenggang, hanya suara desir angin menyapu indah berbaur debu.
Merasa nyaman, Sie Han Li untuk ke sekian kalinya mengeluarkan peta kuno dari saku bajunya. Entah berapa puluh kali ia mengamati secarik kain berisikan gambar peta yang melukiskan pemandangan puncak gunung Ko-San tersebut. Setiap kali melihatnya, semakin bingung dirinya. Di samping tidak mengerti sedikitpun huruf-huruf yang tertulis di peta, jalan-jalan yang digambarkan membuatnya bingung juga. Ingin sekali secepatnya tiba di puncak gunung Ko-San, petunjuk jalan di peta ini lebih dapat dimengerti, gumamnya sambil mengamati peta tersebut.
Begitu tengelamnya ia dalam lamunan sehingga derap kaki kuda yang lamat-lamat terdengar di kejauhan tak didengarnya. Derap kaki kuda itu semakin mendekat, tahu-tahu dari ujung belokan di depan jalan setapak itu muncul seekor kuda dengan irama teratur menghentakkan Sie Han Li dari lamunannya. Buru-buru ia memasukkan tangannya yang memegang peta kuno itu ke dalam saku. Namun kelihatannya sudah terlambat, si penunggang kuda itu adalah seorang pria berusia seikitar empat puluh tahunan dengan wajah berewok dan sinar mata yang tajam, menyiratkan kecerdikan dan kekejaman sekaligus.