Hari berganti malam, Soya tahu jika ada seseorang yang mengikutinya sedari tadi, tapi dia tidak mempedulikan hal itu, ia dengan santai terus melangkahkan kakinya ke kamar kost tempat tinggalnya yang nyaman.
"Srak..srak..srak.." suara itu semakin jelas dan tegas. Kini Soya sudah tidak bisa mengabaikannya lagi.
"Apa maumu?" tanya Soya membalikkan badannya tiba - tiba, membuat sesorang di belakangnya terjengkang karena kaget. Soya berusaha menahan tawanya, melihat lelaki itu jatuh membuat rasa ibanya tumbuh.
"Maaf Soya, aku mau memberikan ini padamu. Tadi tertinggal di kelas." Kata anak laki - laki itu gugup karena kaget, wajahnya memerah karena malu.
"Oh, terimakasih. Maaf sudah membuatmu kaget." kata Soya malu.
Soya terdiam memandangi kunci berwarna emas yang kini ada di tangannya, dalam diamnya ia mempertimbangkan untuk mengajak laki - laki itu mampir ke rumahnya atau tidak.
"Ah..aku harus pergi sekarang." kata lelaki itu segera. Soya yang masih sibuk dengan pikirannya pun hanya mengangguk pasrah tanpa menyadari bahwa lelaki itu menjauh pergi.
"Bagaimana ka...." kata Soya terhenti menyadari bahwa lelaki itu sudah tidak ada di hadapannya.
Soya adalah seorang gadis berperawakan tinggi 175 cm dengan badan proporsional, berambut panjang berwarna hitam dengan kulit kuning kecoklatan khas orang Indonesia. Matanya hitam kecoklatan dan bulat lebar, membuatnya seperti sedang marah meski tak marah. Ia mempunyai dua lesung pipit yang menawan di kedua pipinya, ini yang membuat banyak lelaki menyukainya. Soya hidup sendiri di kamar kostnya, ia menyewa sebuah kamar studio di lantai dua sebuah bangunan yang berjarak dua kilometer dari kampusnya. Ia adalah gadis yang pemberani meski ceroboh, seperti hari ini, apa jadinya kalau kunci itu tidak kembali padanya, pasti ia akan tidur di beranda sampai pagi.
"Soya!!" teriak seorang laki - laki di bawah kamar kostnya. Lantai satu kostnya adalah sebuah kafe yang cukup ramai dikunjungi oleh mahasiswa dari kampusnya, jadi ia tidak kaget jika banyak teman kampusnya yang terlihat sedang nongkrong disana.
"Ke atas dulu ya." kata soya memberikan isyarat dengan menunjuk - nunjuk lantai atas. Yang diberikan kode pun paham dan mengangguk.
"Tok...tok...tok..." suara ketukan dari pintu kostnya terdengar bertubi - tubi.
"Ya?" teriak Soya sembari membukakan pintu.
"Kenapa kamu gak turun?" tanya seorang lelaki yang tadi memanggilnya di kafe.
"Sebentar lagi aku turun, kamu bisa tunggu di bawah." jawab Soya dingin.
"Dengan pakaian seperti itu?" tanya lelaki itu sambil mengamati Soya dari atas ke bawah.
"Bukan urusanmu!" jawab Soya ketus dan menutup pintunya dengan kasar. Laki - laki itu adalah kakak iparnya yang baik hati. Dia seringkali mengunjungi Soya, sekedar untuk minum kopi atau memberikan uang pada Soya. Tapi kenapa Soya sangat jutek kepada lelaki itu? Karena dulu dia adalah kekasih Soya.
Hubungan itu sangat rumit, Stefan, nama kakak iparnya, adalah seorang pianis yang juga guru piano Soya saat ia masih SMP. Lelaki itu tertarik pada Soya, namun karena aturan sekolah yang melarang guru dan murid memiliki hubungan khusus, maka mereka berpisah. Soya tidak tau jika setelah itu Stefan menjalin kasih dengan kakaknya, Shiena, dan akhirnya mereka menikah. Tentu saja hal itu membuat Soya sangat terpukul dan akhirnya memilih keluar dari rumahnya dan tinggal di kost. Keputusannya untuk tinggal di kost tentu saja mendapat tentangan pada awalnya, namun karena ia memilih kampus yang jauh dan bagus, akhirnya keinginan itupun mendapat persetujuan tanpa ia harus menceritakan hal yang sesungguhnya pada keluarganya.
"Ada apa kesini?" tanya Soya pada lelaki di hadapannya.
"Hanya ingin tahu bagaimana kabarmu." jawab Stefan santai.
"Aku baik, kamu bisa pergi sekarang." jawab Soya ketus.
"Kenapa kamu begitu benci padaku? Apa kamu, jangan - jangan masih menyukaiku?" tanya Stefan menggoda.
"Jangan tanyakan pertanyaan bodoh padaku. Pergilah, aku lelah dan banyak tugas." usir Soya untuk kedua kalinya.
"Soya, aku minta maaf jika dulu melukaimu. Tapi sungguh, aku sangat menyayangi kakakmu dan perasaanku padamu biasa saja. Aku menghargaimu sebagai adikku, kamu harus berdamai dan menemukan cinta yang lain." kata Stefan serius, membuat Soya terdiam karena malu.
Stefan menyerahkan sebuah amplop coklat pada Soya lalu meninggalkan Soya yang masih terduduk kaku di kursinya. Ya, Stefan benar, ia bukannya buta melihat cinta Stefan pada kakaknya, namun hatinya yang selalu menyangkal dan tidak mau mengakui perasaan itu. Ia yang berpikiran sempit dan picik.
Tanpa disadari, airmata Soya mengalir deras dari pelupuk matanya. Untuk kesekian kalinya ia harus menangis karena kenyataan dan kata - kata Stefan tadi membuat hatinya semakin terluka. Soya tahu perasaan Stefan untuknya saat ini sudah hilang dan kasih sayangnya hanya sebatas sayangnya kepada seorang adik. Lalu apa bedanya? Dulu umur mereka juga terpaut jauh saat Soya masih SMP dan Stefan sudah menjadi guru pianonya. Tapi mereka saat itu saling suka dan menjalin hubungan.
Soya mendengus kasar dan bangkit dari duduknya, ia tahu sedari tadi banyak mata tertuju padanya dengan tatapan iba. Menangis di tempat umum memanglah bukan ide yang bagus. Apalagi, mayoritas pengunjung kafe adalah mahasiswa dari kampusnya. Meninggalkan tempat itu adalah keputusan yang baik. Ia segera masuk ke kamarnya dan mandi. Berharap air hangat bisa sedikit menenangkannya.