Chereads / Datang Padaku / Chapter 2

Chapter 2

Aku keluar dan akan mengantarkan bingkai foto berisi bunga dan pemandangan pantai ke restoran dan toko-toko di sekitar Pantai White Water City.

"Hai, Nyonya Anjani!" aku tersenyum pada wanita berambut kuning keemasan di belakang meja di Gifts Galore, salah satu toko perhiasan mainan favoritku. Aku senang mendapati pekerjaanku tergantung di belakang mesin kasir. Ada rak-rak dari pernak-pernik pantai, perhiasan dan karya seni lainnya. Tempat menyenangkan untuk berjalan-jalan di sekitar sini.

"Halo, Puput! Aku tau kau punya pengiriman untukku!" dia tersenyum dan datang memutari konter, menarikku ke dalam sebuah pelukan besar.

"Ya. Kuharap kau dapat menggunakannya."

"Oh, ya. Pekerjaan yang kau bawa minggu lalu hampir habis. Kau menjadi seniman muda yang cukup populer sekarang."

Bu Anjani mulai melihat pekerjaanku, dia berseru senang dan juga terkejut. Dan aku merasakan bangga dalam dadaku ketika dia berkata bahwa dia akan mengambil semua yang kubawa padanya hari ini.

Kami berbincang di konter sementara dia menuliskan cek untuk penjualan minggu lalu dan aku berbalik untuk pergi, tapi kemudian aku terhuyung dan terjatuh pada dada yang sangat tegas.

"Oh, permisi…" Aku melangkah ke belakang dan mendongak. Oh sial.

"Halo, Puput." Jis melihat ke bawah padaku, senyum menggelitik bibirnya. Dia terlihat sedikit terkejut, senang, dan..

Oh Tuhan.

"Halo, Jis..." Suaraku terdengar mendesah lagi dan aku mengerut secara mental.

Bu Anjani kembali ke tokonya untuk memeriksa pelanggan, meninggalkan Jis dan aku sendiri. Aku menatap ke bawah ke sandal ku, mengingatkan aku membutuhkan pedicure.

Apa yang harus aku katakan?

"Jadi, kau seorang seniman." Jis melirik pada bingkai fotoku yang masih menumpuk di meja.

"Ya." Aku mengikuti lirikannya. "Aku menjual pekerjaanku di toko lokal."

Dia menyeringai dan aku merasa instingku ditarik olehnya.

"Apa yang kau lakukan disini? Ini tidak terlihat seperti jenis toko yang sering kau kunjungi."

"Aku mencari hadiah untuk saudara perempuanku untuk ulang tahunnya." Dia mulai berjalan melewati bingkaiku. "ini akan sempurna. Dia baru saja membeli sebuah kondo baru. Mana yang akan kau sarankan?" Dia melirik kembali padaku dan aku tidak punya pilihan selain bergabung dengannya di meja dan bersandar dekat dengannya ketika kita melihat dua puluh lebih foto bersama.

"Apakah dia lebih suka bunga atau pemandangan?" tanyaku.

"Er.." Dia menelan ludah. Apakah aku mempunyai suatu efek padanya? Aku bersandar sedikit lebih dekat dengannya, seolah-olah memeriksa foto di meja dan mendengar dia bernafas.

"Mungkin bunga."

"Aku menyarankan ini." Aku tersenyum pada diriku sendiri, menikmati kedekatan sekarang yang aku tidak merasa terancam olehnya, dan memilih empat foto bunga, semua berbeda jenis dan warna, dan menyusun mereka untuk bisa dilihat.

"Sempurna." Senyumnya menyala di wajahnya dan aku tidak bisa membantu selain tersenyum kembali. "Kau sangat berbakat."

Pujiannya membawaku beberapa detik dan aku merasa pipiku merona.

"Terima kasih."

Jis membayar Bu Anjani dan kemudian mengikutiku ketika aku meninggalkan toko menuju mobilku.

"Kemana tujuanmu?" Dia bertanya ketika dia menghampiriku.

"Itu tadi kiriman terakhirku, jadi aku akan menuju rumah."

"Atau," dia berkata dengan santai, "Aku harus membawamu keluar untuk minum kopi."

Perutku menegang dengan senang. Dia masih tertarik! Bukankah begitu? Dia bisa menjadi kapak pembunuh. Atau lebih buruk.

"Happy hour?" lanjutnya.

Aku tersenyum dan berpaling darinya, masih berjalan ke arah mobilku.

"Makan malam? Bisakah aku membelikanmu sebuah es krim cone?"

Dia melarikan tangan bebasnya melewati rambut berantakannya dan aku secara mental memeluk diriku.

Suatu tempat umum akan aman, jadi sebelum aku dapat menempatkan terlalu banyak pemikiran ke dalamnya, aku mendengar diriku berkata, "Ayo pergi minum. Ada sebuah bar satu blok lagi yang memiliki happy hour yang baik."

"Tunjukkan jalannya!" Sial, aku harus melakukan apapun untuk seringaian itu.

"Tidakkah kau ingin meletakkan foto adikmu ke dalam mobilmu?"

"Aku berjalan." Dia mengangkat bahu.

"Sini, letakkan mereka di mobilku." Aku membuka bagasi Lexus SUV ku dan menarik pintu untuknya.

"Mobil yang bagus." Katanya, terkejut. Alisnya naik ketika menatapku.

"Terima kasih," aku memutar tuas pintu agar menutup dan mengunci mobil kembali ketika kami melanjutkan turun ke trotoar.

Jis menarik kaca mata hitamnya dari leher kaus putihnya dan menggunakannya, melihat sekeliling memastikan tidak ada seorangpun melihatnya dan aku merengut.

Apakah dia malu untuk terlihat bersamaku? Jika iya, mengapa dia mengajakku keluar?

Aku masih memikirkan semua ini ketika dia memegang pintu Pub favoritku terbuka untukku dan kami berjalan ke dalam bar yang keren.

"Hai! Selamat datang di Rainbow."

Seorang pelayan muda tersenyum kepada kami berdua, memberikan perhatian spesial kepada Jis, dan aku secara mental memutar mataku. "Hari yang indah di luar sana," dia melanjutkan, "Apakah kalian suka duduk di dalam atau di luar?"

Aku mendongak pada Jis dan tanpa jeda atau menanyaiku apa yang lebih ku suka dia berkata "Di dalam."

"Tentu. Ikuti aku, tampan."

Dia mengedipkan mata pada Jis, sepenuhnya mengabaikanku, dan memimpin kami ke stan dekat dengan bagian belakang bar.

Kami duduk dan Nona Genit menunjukkan menu happy hour yang ditampilkan dengan bangga di meja, tersenyum lebar pada Jis lagi, dan kemudian meninggalkan kami sendiri.

"Apakah kau malu keluar bersamaku?" aku memutuskan untuk membahas hal ini.

Sasuke terkesiap, melepas kacamatanya, mengungkapkan mata hitam lebarnya dan terlihat terkejut. Simpul di perutku perlahan terlepas.

"Tidak! Tidak Put, tidak. Kenyataannya, aku senang menghabiskan waktu denganmu." Dia terlihat sangat tulus.

"Mengapa kau bertanya?"

"Baiklah…" aku bersyukur menyesap air yang pelayan letakkan sebelumnya. "Kau hanya terlihat…"

"Apa?"

"Tiba-tiba diam." Itu adalah kata terbaik yang bisa aku ungkapkan. Sial, kenapa dia membuatku sangat gugup?

"Aku senang berada disini, denganmu. Aku hanya…" dia mengusap kepalanya, melarikan tangannya melewati rambut indah itu. "Aku laki-laki yang tertutup, Put." Dia menghembuskan nafas cepat dan menutup mata seperti dia sedang berjuang melawan beberapa perdebatan internal yang sulit, dan kemudian memberikan tatapan hitam cerahnya kembali padaku.

"Tidak apa-apa," aku memegang tanganku di depan ku seolah-olah menyerah. "Aku hanya memeriksa. Tidak perlu khawatir."

Aku tersenyum meyakinkan dan mengambil menu happy hour sebelum dia bisa berkata lagi. Perubahan suasana hatinya dan alasan di belakang itu bukan urusanku. Kami hanya pergi untuk minum.

Jaga ini tetap santai.

Dia tersenyum padaku dan aku diselamatkan dari percakapan kecil oleh Pelayan Genit yang mengambil pesanan kami.

Jis menaikkan alis nya kearahku. "Apa yang kau inginkan?"

"Margarita, di atas batu, tanpa garam, dengan ekstra limau." Alisku naik ketika pipi pelayan itu memerah dan satu-satunya pengakuan untuk pernyataan ku adalah dia mencoret dengan ganas di note nya.

Jis itu seksi, aku tidak bisa menyalahkan pelayan itu untuk memperhatikan Jis, namun sesuatu yang mendasar dalam diriku ingin menggaruk mata coklat cantiknya keluar.

Dan dia bahkan bukan milikku.

Jis terkekeh. "Buatkan dua."

"Hanya itu? Ada yang lain?" dia bertanya pada Jis, dengan tajam mengabaikanku, dan aku tersenyum kepada diriku sendiri ketika Jis hampir tidak meliriknya sebelum menggumam, "Tidak, terimakasih."

"Aku pantas mendapatkan margarita setelah hari yang kumiliki." aku menyesap airku.

"Dan hari seperti apa itu?"

Jis bersandar ke belakang dan aku menyukai bahwa dia benar-benar tampak tertarik.

"Well," aku duduk melihat ke langit-langit seperti aku berpikir keras. "Mari kita lihat. Hm.. Aku tidak bisa tidur dengan cukup tadi malam, jadi aku memutuskan untuk berjalan di pagi hari untuk mendapatkan beberapa pekerjaan yg bisa diselesaikan. Di saat, aku hampir dirampok." Aku menatap kembali kearahnya dan memberikan pandangan menyindir yang horor. Jis tertawa, terbahak-bahak, dan perutku mengepal turun lagi. Ya Tuhan, dia sangat indah.

"Dan kemudian…?"

"Dan kemudian, aku membuat penyelamatan diri yang sangat berani," aku tersenyum padanya dan dia menyeringai, dagunya menumpu di telapak tangannya. "Aku pulang ke rumah, sarapan bersama teman sekamarku, lalu mengambil tidur yang singkat."

"Aku senang mendengar hal itu." Matanya menyempit dan aku merasa diriku merona.

"Senang mendengar ku sarapan bersama temanku?"

"Bukan, sok pintar. Senang mendengarmu tidur."

"Aku yakin tak semenarik itu." Aku berterima kasih pada pelayan untuk minumanku dan aku menyesapnya lama. Oh, ini enak.

"Dan kapan kau terbangun?"

"Kau benar-benar ingin tau tentang keseharianku?"

"Ya, kumohon." Jis menyesap minumannya dan aku melihat bibirnya mengerut di atas sedotan. Oh Tuhan.

"Um…" aku menjernihkan tenggorokanku dan Jis menyeringai lagi, menikmati reaksiku padanya. "Aku mempunyai sesi foto di siang hari, selesai sekitar jam 2. Kemudian aku mengantarkan beberapa pekerjaanku di sekitar perumahan dan kejar-kejaran dengan perampok tampan yang saat ini sedang menikmati minuman denganku."

"Aku suka bagian terakhir, itu yang terbaik."

Oh.

"Dan apa yang kau lakukan hari ini, Jis?" tanyaku dan mengistirahatkan sikuku di meja, senang telah mengalihkan perhatian kembali padanya.

"Kebetulan, aku juga tidak bisa tidur nyenyak tadi malam, jadi aku bangun pagi untuk berjalan-jalan dan menikmati pantai," dia memberi jeda untuk menyesap minumannya.

"Mmm hmm…"

"Lalu aku menjadikan diriku terlihat bodoh dengan berlari pada wanita cantik yang luar biasa seksi." Aku terkesiap dan menggigit bibirku.

Seksi dan cantik? Wow.

Mata Jis menyipit ke bibirku.

"Apakah dia memaafkanmu karena menjadi bodoh?" suaraku terdengar berat.

"Aku tidak yakin. Ku harap begitu."

"Lalu apa yang kau lakukan?"

"Aku berjalan ke rumah untuk membaca."

"Membaca apa?" Mmm, aku menyesap minumanku. Margarita ini sangat enak.

Jis edikit mengernyit kemudian mengangkat bahu. "Hanya membaca beberapa pekerjaan."

"Oh? Apa pekerjaanmu?" aku bergerak pada Nona Penggoda untuk mengisi ulang minumanku, kemudian menaikkan alisku pada Jis dan memberinya sinyal untuk isi ulang pada minumannya juga dan dia mengangguk.

"Mengapa kau ingin tahu?" dia membisikkan ini dan tiba-tiba terlihat pucat.

Apa-apaan? Apakah dia benar-benar pembunuh berantai? Mata-mata? Apakah dia seorang pengangguran yang mencari sugarmama (wanita kaya yang membayar laki-laki untuk keluar bersamanya) ?.

Aku mengabaikan pemikiran terakhir, dia tidak akan mungkin bisa hidup di perumahan ini jika dia pengangguran.

"Yah, sekarang aku tertarik." Aku bersandar kebelakang. Dia terlihat sangat tidak nyaman. Aku memutuskan untuk mengeluarkannya dari kesedihan. "Tapi itu benar-benar bukan urusanku. Jadi, kau membaca, dan kemudian?"

Jis tampak rileks, dan aku kecewa bahwa dia tidak mau memberitahuku apa yang dia lakukan untuk bertahan hidup.

"Aku juga tidur siang."

Aku menyeringai dan melihatnya dari atas kebawah untuk menggodanya.

Dia tertawa dan itu menggelitik ku, membuat ku tertawa juga.

"Lalu aku berbelanja untuk hadiah ulang tahun saudaraku, dan menemukan benda yang sempurna."

"Oh? Dan apa itu?" aku memiringkan kepalaku ke samping menikmati permainan menggoda ini, dan juga menyesap minuman lezatku.

"Yah, ada seniman brilian lokal yang mengambil foto-foto yang indah, dan aku cukup beruntung untuk mendapatkan hasil dari pekerjaannya."

Dia hampir terlihat bangga dan itu memberikan aku kehangatan, rasa bahagia yang menyebar.

"Itu luar biasa." Aku tak tau harus mengatakan apa.

"Jadi, kau memiliki sesi foto hari ini?"

Whoa…pergantian topik.

"Ya." Aku pikir aku membutuhkan margarita lagi jika percakapan ini adalah tentang mengambil giliran aku pikir. Aku memberi sinyal pada Nona Penggoda dan tanpa bertanya memesankan satu untuknya juga.

Dia menaikkan alisnya. "Aku tidak berpikir kau melakukan potret fotografi."

"Mengapa kau berpikir seperti itu?" aku bertanya sambil mengerutkan dahi.

"Karena kau berkata begitu tadi pagi selama pertemuan tidak biasa kita."

"Oh, itu benar. Aku tidak melakukan potret fotografi yang biasa." Aku menjernihkan tenggorokanku dan melihat sekitar bar, mengalihkan pandang darinya, dan berdoa dia tidak menanyakan pertanyaan selanjutnya, dan meringis ketika dia bertanya lagi.

"Jenis potret fotografi biasa seperti apa yang kau lakukan?" dia terlihat bingung.

Aku mengambil nafas dalam. Sial.

"Yah, bervariasi. Tergantung klien." Aku gugup lagi. Aku tidak memberitahu banyak orang tentang sisi bisnis fotografi ku yang ini. Aku menemukan kebanyakan orang terlalu menghakimi, dan sejujurnya itu bukan urusan satu orangpun kecuali urusanku dan klienku.

"Lihat aku." Suaranya rendah dan serius, dan dia tidak bermain-main lagi.

Brengsek.

Aku melihat matanya, dan menelan ludah.

"Kau dapat mengatakan padaku, Put."

Oh, dia sangat…Seksi. Dan baik. Apakah itu mungkin?

"Mungkin suatu hari aku akan memberitahumu. Ketika kau memberitahu ku apa pekerjaanmu." Aku tersenyum sinis dan menendangnya di bawah meja dan mood nya otomatis terangkat.

"Jadi akan ada 'suatu hari'?" dia menekankan kata-katanya.

Oh , aku harap begitu! "Jika kau memainkan kartumu."

"Anak kecil yang lancang, bukan begitu?"

"Kau tidak tahu, Jis."

"Aku suka belajar, Put." Dan wajahnya kembali serius, membuatku menggeliat.

"Kau perayu."

Jis menyeringai, lebar, seringaian yang indah. Aku tersenyum sinis lagi, dan menghabiskan minuman ketigaku.

Kepalaku mulai pusing dan aku tau sebaiknya aku berhenti minum alkohol.

"Minuman lagi," Jis memanggil Nona Penggoda, tapi aku menggelengkan kepalaku.

"Aku lebih baik minum air saja."

"Tentu. Lebih banyak air untuk teman wanitaku dan aku, please."

Pelayan yang terlalu ramah itu berlalu pergi, sengaja menggoyangkan pinggulnya, berharap mendapat perhatian dari Jis, tapi dia menatapku, mengabaikannya.

"Jenis film apa yang kau suka?"

Huh? Apa dia mengajak ku menonton film?

"Aku tidak terlalu banyak menonton film."

Dia memiringkan kepala indah itu ke samping dan melihatku seperti aku baru saja mengatakan padanya sesuatu yang tidak mungkin.

"Benarkah?"

"Aku tidak punya banyak waktu untuk itu."

"Siapa aktor favoritmu?" dia tersenyum, dan aku merasa ini seperti semacam tes, tapi aku tidak diberi buku catatan.

"Aku bahkan tidak tau siapa yang sedang popular saat ini." Aku duduk di kursi konter dan mengerucutkan bibirku, memikirkan tentang itu.

"Ketika aku remaja aku suka Robert Redford." Aku mengangkat bahu.

Jis terlihat seperti dia baru saja ditendang di bagian perutnya dan aku tiba-tiba merasa malu. Lalu wajah yang indah itu berubah menjadi senyuman dan matanya melembut menghisapku ke dalamnya. "Kenapa? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?"

Aku terkekeh. "Ya, tapi aku melihat The Way We Were dengannya dan Barbara Streisand ketika aku umur lima belas tahun dan jatuh cinta pada Hubbell. Dia seperti mimpi. Aku tidak terlalu memperhatikan film nya. Terlalu banyak omong kosong di sana."

Jis tertawa. "Omong kosong?"

"Ya! Jika aku melihat sebuah trailer untuk satu lagi film vampire bodoh, aku akan membunuh diriku sendiri."

Dia mengerutkan dahi lagi, melihat sekitar bar dan kembali menatapku, matanya menyempit dan khawatir.

"Apa? Apa yang telah ku katakan?"

"Bukan apa-apa. Kau hanya sangat tidak terduga. Berapa umurmu? Dua puluh tiga?"

Kenapa dia ingin tau umurku? "Dua puluh lima. Kau?"

"Dua puluh delapan."

"Jadi, kau tua." Aku terkekeh.

"Kau punya tawa yang luar biasa." Matanya berbinar senang dan aku memeluk diriku lagi, melupakan gugup dan aku menyadari aku sangat nyaman bersamanya. Dia hanya sangat gampang diajak bicara.

Aku melihat jamku dan terkejut. Kami telah duduk disini selama tiga jam!

"Aku harus pergi." Aku tersenyum padanya. "Kita telah berada disini sangat lama."

"Waktu berlalu sangat cepat ketika kau bersama seseorang yang cantik." Dia bersandar dan menggenggam tanganku dan aku terperangkap dalam mantranya sekarang. Mataku tertuju pada bibirnya dan dia menjilatnya, membuatku menggeliat. Sebelum aku mengetahui itu, dia menarik kembali tangannya dan aku merasa frustasi dan kehilangan kehangatan dari sentuhannya.

"Begitu juga denganmu." Aku tersenyum dan mengambil bonnya.

"Oh tidak. Itu milikku." Jis mengambil bon dari jari-jariku dan mengeluarkan dompetnya.

"Aku senang membayar minumanku sendiri."

Dia melotot padaku, dan aku tertegun bahwa dia tampak benar-benar marah. Whoa.

"Tidak."

"Oke. Terima kasih."

Senyumnya kembali ketika dia berkata, "Sama-sama."

Jis membayar tagihannya dan kami kembali menuju trotoar. Dia terburu-buru memakai kacamatanya kembali, dan tampak peduli pada siapa saja yang berada di sekitar kami. Jantungku terbalik ketika dia mengambil tanganku dan kami mulai berjalan menuju mobilku.

Matahari mulai terbenam dan aku melihat ke atas Pantai yang cantik, air biru, perahu dan gunung, dan juga melihat lama pada kameraku yang tergantung dileherku. Aku menengadah pada Jis dan rahangnya tegang, dia melihat ke bawah dan kami berjalan dengan cepat.

"Hey, pelan-pelan." Aku menarik tangannya sedikit dan sengaja melambatkan langkahku.

"Apa kau terburu-buru menyingkirkanku?"

"Tidak, tidak seperti itu." Dia melihat ke sekitar kami lagi, lalu menyeringai kebawah kepadaku, memperlambat kecepatannya.

"Ini akan menjadi sunset yang luar biasa. Ingin berjalan di sepanjang air? Aku janji, tidak ada kamera." Aku mengangkat tanganku untuk menunjukkan padanya bahwa itu kosong.

Jis menyeringai, dan kemudian melihat sekitar sekali lagi, dan aku mengikuti pandangannya. Ada banyak orang yang menikmati hari yang indah di Pantai ini. Jis menggelengkan kepalanya dan terlihat sedih untuk beberapa waktu.

Kami berhenti di mobilku dan ku pikir dia melihatku. Sulit untuk menatap matanya karena kacamata gelapnya.

"Aku tidak menyukai keramaian, Put. Itu seperti phobia." Dia menggelengkan kepalanya lagi, melarikan tangannya melalui rambut seksi itu dan melepaskan tanganku, meletakkan tangannya di atas pinggulnya.

"Tidak masalah." Aku menyesal untuknya dan ingin menghiburnya.

Aku tidak pernah ingin menghibur satupun pria sebelumnya. Aku tidak pernah mempunyai perasaan halus terhadap pria. Mereka hanya selalu menjadi pengalihan yang menyenangkan, atau mimpi terburukku. Membingungkan, aku menemukan diriku menggapai dan menangkup wajah Jis di telapak tanganku untuk menenangkannya.

"Hey," aku berkata lembut. "Jangan mencemaskan itu, Jis."

Dia bersandar di sentuhanku dan membuang nafas, menempatkan tangannya di atasku, lalu mengaitkannya dan mencium buku-buku jariku.

Oh Tuhan.

"Ayo," aku sengaja menginterupsi momen menyenangkan ini, butuh sedikit tempat, "Aku akan mengantarkan kau ke rumah."

"Aku tidak ingin membuatmu berjalan ke rumah, membawa fotofoto jenius brilian itu ditengah keramaian. Masuklah."

Dia berkedip seksi, tersenyum dan melompat masuk ke kursi penumpang.

Oh Puput, apa yang kau lakukan?