Kedua kekasih harmonis yang sebelumnya gagal bercumbu sudah berada di depan gerbang sekolah. Bagas yang sebelumnya setengah basah kuyup entah bagaimana sudah ganti baju.
Waktu pada saat mereka pulang sekitar jam lima sore. Kampus yang terletak di tanah seluas dua hektar dan dikelilingi oleh pepohonan mempersilahkan sinar matahari untuk tetap terlihat di balik dedaunan.
Setelah keluar dari wilayah kampus mereka berdua dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kemana mereka harus pergi berkencan saat itu?
"Sudah kubilang, kalau kita harus ke kafe yang baru saja dibuka ini!"
Eruin yang sejatinya gadis kekinian ingin pergi ke kafe yang baru saja dibuka. Memiliki promo, rasa kopi yang baru, dan tentu saja, suasana segar dari sebuah toko yang baru saja dibuka.
"Tapi kalau kafe itu baru aja dibuka, pasti pengunjungnya banyak kan. Dan juga ada kemungkinan kita ga bakal kebagian tempat duduk."
Kebalikannya, Bagas adalah pemuda yang cukup tak suka dengan yang namanya kekinian. Ditambah kalau tempat yang ingin mereka kunjungi memiliki banyak pengunjung. Mendengar kalau mereka akan kesitu saja sudah membuat Bagas mengeluarkan ekspresi anehnya.
"Jangan tunjukkan ekspresi anehmu!"
Eruin paling kesal kalau kekasihnya itu sudah menunjukkan ekspresi anehnya. Itu berarti dengan alasan apapun Eruin membujuknya, dia takkan mau mendengarkan.
"Kalau begitu begini aja."
Tak ingin bertengkar karena hal sepele, Eruin datang dengan sebuah kesimpulan.
"Kamu tunggu di luar, biar aku yang beli minumannya. Lalu kita cari tempat yang tidak banyak orang untuk berdua."
"Setuju."
Sebenarnya itu adalah hal biasa yang mereka lakukan kalau mereka bertengkar. Ketika Eruin menemukan sebuah tempat baru yang menarik, dia akan mengajak mereka untuk ke sana. Karena sudah mengenal Bagas cukup lama, tentu saja dia akan menolak ajakan. Di saat itulah, salah satu dari mereka harus membuat kesimpulan seperti yang mereka lakukan sebelumnya.
"Oke, let's go!"
Dengan begitu, mereka berangkat menuju tempat tujuan dengan damai.
-
Sampai di tempat tujuan, Eruin bertarung dengan banyak pelanggan wanita yang ingin memesan duluan. Untuk ukuran gadis lembut seperti dirinya, bertarung dalam medan seperti itu bukanlah masalah besar. Itu karena dia sudah terbiasa.
Di sisi lain, Bagas menunggu di luar dengan memasang wajah yang mengatakan, 'aku bener-bener ga bakal mau masuk ke tempat itu'. Beruntungnya, dia tak sendirian. Dia bersama dengan empat orang lelaki lain yang menunggu kekasih mereka bertempur di dalam kafe. Mereka berbaris sejajar dengan memasang ekspresi yang sama.
Beruntungnya lagi, Eruin adalah gadis yang tangguh. Selang waktu lima menit setelah dia masuk, dia sudah keluar dengan menggenggam dua buah kopi hangat di dalam cangkir ramah lingkungan.
Dengan wajah senang setelah keluar dari medan pertempuran, Eruin tersenyum kepada Bagas dengan menunjukkan dua kopi yang berhasil dia dapatkan.
Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka pergi ke taman kota. Di waktu antara sore dan malam hari, mereka duduk di bangku pinggir taman. Tak ada banyak orang yang ada di sana. Hanya ada beberapa kekasih seperti mereka yang menghabiskan waktu bersama setelah pulang kerja atau sekolah.
Bagas membuka tutup cangkir kopinya setengah dan membiarkan hawa dingin menurunkan suhu minuman. Berbeda dengannya, Eruin langsung ingin menyeruput kopi yang masih panas dengan menghembusnya sebentar.
Di waktu yang damai seperti itu, adalah waktu dimana mereka bisa berduaan. Itu dikarenakan mereka masih dalam situasi dimana mereka masih harus fokus belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian.
"Bagaimana ujiannya, lancar?"
Eruin yang ingin memperhatikan kekasihnya membuka pembicaraan duluan.
"Ya, begitulah. Karena masih di semester-semester awal, pelajarannya masih gak jauh dengan yang dipelajari di SMA."
"Hoo, kalau begitu jadi mudah dong menjawabnya."
"Kamu sendiri?"
Eruin memiringkan kepalanya, berpikir sejenak sebelum menjawab. Setelah mendapatkan kata-kata yang ingin dia ucapkan, ekspresinya menjadi lebih semangat dari sebelumnya.
"Karena aku masuk ke kejuruan kesenian, dimana pengetahuanku masih sedikit disitu, rasanya sulit. Tapi aku senang, karena dari situ aku bisa mempelajari lebih banyak hal yang tak kuketahui."
Di akhir kalimatnya, Eruin tersenyum puas. Karena dia sedang menjelejahi dunia baru yang belum dia ketahui. Hal itu merupakan sebuah kesenangan bagi beberapa orang seperti dirinya.
Bagas juga ikut tersenyum bahagia melihat kekasihnya merasa senang dengan apa yang dia lakukan.
Sebuah perasaan yang takkan melarang apapun yang ingin dilakukan kekasihnya selama itu memberikan kebaikan padanya. Takkan memaksakan kehendak satu sama lain. Merasa bahagia ketika salah satu bahagia. Seperti itulah kondisi mereka sekarang.
Bagas yang sudah merasa cukup dengan apa yang dia miliki sekarang tersenyum ke arah langit cerah yang perlahan-lahan berubah gelap. Dia mengambil nafas panjang, lalu mengeluarkannya.
"Kuharap semuanya berjalan sedamai ini sampai kita tamat nanti"
"Damai?"
Bagas yang tiba-tiba mengucapkan beberapa kata aneh membuat Eruin penasaran. Memang mereka berada dalam kedamaian sekarang, tetapi kenapa dia harus sampai mengatakannya seperti itu.
"Iya, damai. Di mana tak ada yang perlu kita khawatirkan saat berdua, atau kita masih bisa menghabiskan waktu seperti ini tanpa ada masalah."
Bagas menjawab rasa penasaran Eruin, dan dari kata-katanya itu, Eruin bisa merasakan, kalau dalam kata lain Bagas merasa sangat bersyukur dengan keadaan mereka berdua saat itu.
Hal itu membuat Eruin tersenyum manis. Dia juga mulai menyandarkan kepala di bahu kekasihnya. Kata-kata Bagas sebelumnya mampu meluluhkan hati kecilnya. Membuatnya merasa hangat di waktu yang cukup membuat wajah terasa dingin saat diterpa angin malam.
-
Setelah menghabiskan waktu untuk berdua selama lebih dari satu jam. Mereka memutuskan sudah waktunya untuk pulang.
Di dalam kota yang masih sepi kendaraan, Eruin pulang dengan menaiki mobil pribadi yang disupiri seorang pengawal berpakaian dan berkacamata hitam.
Di luar, saat Eruin hendak masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka, dia berhenti. Bagas sedikit terkejut dengan perilaku tiba-tiba itu. Lalu, tanpa aba-aba, Eruin melesat ke tubuh Bagas dan memeluknya.
Dalam momen yang mengejutkan itu, Bagas tak memiliki pilihan lain selain membalas pelukan ke kekasihnya yang entah kenapa menjadi manja.
Dari dalam mobil, sang supir menghitung sampai sepuluh detik dengan jarinya yang sengaja diperlihatkan ke Bagas. Hal itu memberi Bagas tanda seberapa lama dia boleh membiarkan momen itu terjadi.
Setelah sepuluh detik berlalu, Bagas melepaskan pelukan Eruin pelan-pelan.
"Udah gih, malu entar dilihatin orang."
Bagas membujuk Eruin. Meskipun begitu Eruin entah bagaimana masih merasa belum puas dengan apa yang mereka lakukan.
Eruin perlahan-lahan melepaskan kedua tangannya dari pelukan. Dia melakukan hal itu sambil menunduk, seperti ada perasaan yang ingin dia sembunyikan agar Bagas tak melihatnya.
"Dah pulang sana. Besok kita cari minuman yang enak lagi."
Bagas yang tak peka dengan hal itu menuntun Eruin masuk ke dalam mobil. Eruin tak membalas sampai dia duduk dengan benar di dalam. Setelahnya dia menunjukkan wajahnya yang berekspresi cukup rumit dan membalas.
"Oke."
Dengan balasan singkat itu, Bagas memberikan senyuman manis lalu menutup pintu mobil.
Mobil yang membawa Eruin mulai berangkat dan pergi jauh dari pandangan. Melihat hal itu membuat hati Bagas cukup sedih. Karena selama masuk ke perguruan tinggi, mereka jadi jarang bertemu. Kalaupun bertemu mereka hanya memiliki waktu sebentar untuk bersama.
Jiwa bucinnya hampir meronta.
Sesaat setelah dia menyapu perasaan negatif itu, sebuah mobil pribadi datang mendekat. Bagas berhenti dan hanya melihat supir dari mobil itu membuka pintu depan untuk penumpang. Supir itu memakai jas dan kacamata hitam, kelihatannya salah satu dari pengawal Eruin.
"Tuan Askara, Pak Direktur memanggil anda untuk datang menemuinya."
"Pak Direktur?"
Pak Direktur. Ayah dari Eruin. Pemilik salah satu perusahaan terbesar di kota. Bagas cukup mengenali sosok yang akan menjadi mertua masa depannya itu. Tetapi,
"Ada apa sampai menjemputku segala?" tanyanya sambil masuk ke dalam mobil.
Pertanyaan itu hanya ditujukan ke dirinya sendiri. Pengawal yang mengendarai mobil mengerti hal itu dan hanya melakukan tugasnya dengan senyap.
-
Sesampainya di tempat yang dijanjikan, sebuah hotel mewah yang Bagas tak tahu kenapa tempat pertemuannya harus di tempat seperti itu, hanya bisa menganga sambil menyesali keputusannya.
"Harusnya aku minta diantarkan pulang dulu. Mandi dan ganti baju. Baru setelah itu pergi ke sini."
Seorang mahasiswa yang baru saja pulang dari kampus. Mengenakan pakaian biasa dan wajahnya juga cukup berantakan bila dibandingkan dengan pengunjung hotel yang ada di dalam.
Kalau tempat pertemuannya di tempat seperti itu, hanya ada satu kemungkinan yang bisa terpikirkan.
-
"Pak James, kenapa harus di hotel mewah segala begini sih?"
Bagas yang dipaksa masuk oleh pengawal tak memiliki pilihan lain selain langsung mendatangi orang yang ingin menemuinya.
Seorang pria berumur lima puluh tahunan. Pria berkewarganegaraan inggris dengan rambut yang masih berwarna coklat mengkilap. Wajahnya pun masih sedikit memiliki keriput. Orang-orang yang baru bertemu dengannya pasti berpikir kalau dia masih berada di kisaran umur empat puluh.
Memakai jas hitam beserta penampilan yang rapi. Seseorang yang berkelas dan tahu tempat dimana dia harus berpenampilan seperti apa.
Lalu seorang pemuda yang duduk bersamanya di kursi sebelah cukup mengganggu pemandangan. Pemuda yang berpikir kalau tempat mewah seperti itu bisa dibandingkan dengan kafe yang sering dia kunjungi.
"Pak James?"
Bagas sudah duduk di depan meja yang sudah penuh dengan makanan. Seseorang yang dia panggil sejak tadi masih menikmati makan malamnya. Namun karena Bagas terlalu ribut dia menghentikan makannya sejenak untuk membalas.
"I am not your father, yet. Stop calling me that."
Dengan logat british nya yang terdengar nyelekit namun rendah, James Brown meladeni Bagas sejenak menggunakan bahasa inggris.
James sudah beberapa kali memberitahu Bagas kalau dia belum menjadi ayahnya, jadi jangan panggil dia dengan sebutan 'pak'. Namun tentu saja, pemuda asli jawa seperti Bagas cukup mustahil untuk memanggil seorang tua hanya dengan namanya saja.
"M – maaf. Tapi yang lebih penting, kenapa ketemuannya harus di restoran mahal begini?"
"You haven't gotten your dinner yet, right. Now eat before we going to talk."
Pria yang sebenarnya tak sedingin itu hanya ingin Bagas diam dan menikmati makan malam mereka bersama. Dengan etika yang baik tentu saja. Meskipun begitu, Bagas yang masih belum diberitahu untuk apa mereka bertemu merasa cemas.
Bagas ingin membalas dengan memaksa sedikit James memberitahunya alasan pertemuan kali itu. Tetapi sebelum dia bisa melakukannya, James kembali memasukkan makanan ke dalam mulut.
Kalau sudah begitu, yang ada James akan marah padanya karena dia tak tahu etika di depan meja makan.
Cukup terpaksa memang. Tetapi Bagas harus memulai makan malamnya sebelum mereka mulai bicara. Lagipula dia juga merasa lapar.
Satu piring dengan sepasang sendok dan garpu sudah tersedia. Tisu yang digunakan untuk melindungi paha dari makanan yang mungkin jatuh dia pakai. Lalu dengan etika yang baik Bagas mulai makan makanan enak di restoran hotel.