Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Emross Empire : (moved)

🇮🇩Ucha_14
--
chs / week
--
NOT RATINGS
34.5k
Views
Synopsis
sorry .. due to a technical error, this story I moved to another account named Shiro_MSFA or can be checked in the review of this novel, there will be uploaded every day. Please support. The story begins when Shiro a 17-year-old teenager is finally able to buy a popular game chip from the results of his savings for 1 and a half years. because of a mysterious event that happened in the real world, the system from EEWAO forcibly updates and closes the server. Shiro and millions of other players are trapped in a game world and cannot return. they tried to get used to surviving in this world. Shiro who had the ambition to rule the world struggled to catch up and challenge the top players to prove his strength. Meanwhile... something mysterious has happened in the real world. the gathering force is preparing to do a soul harvest! a weak young man went to the game world and returned to the real world with a power that exceeded the strength of the world emperors. on arrival in the real world, Shiro Lighters who was nicknamed as Hakaishin had a new obsession to defeat a rebel leader titled Shiroyasha, a true demon king who became ruler of hell. publish every Sunday, Monday, Tuesday, Thursday and saturday (If there are many people who like it, I will publish a new chapter every day.) I made a video on YouTube, on the Shiromsfa channel. EEWAO with an audio version with a female voice and some effects like songs and so on. in the video there are also illustrations of characters, monsters and places in the EEWAO novel. please support so that maybe I can make the comic. Instagram: @EEWAO_NOVEL                     @Shiromsfa Line: qyo25 email: sirojuddinmusyafa@gmail.com

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - announcement

Di suatu malam di wilayah Nusantara bagian tengah, sebuah perang sedang berkecamuk.

Di sebuah jembatan baja yang menjadi penghubung kota Kretek dan kota Ukir, peperangan sengit antara para pemberontak melawan tentara pemerintah dunia yang sudah berlangsung selama berjam-jam mendadak terhenti ketika sebuah bola api raksasa menyelimuti langit.

Bagaikan sebuah matahari yang menyinari kegelapan malam, bola api raksasa yang terus semakin membesar itu membuat malam yang ricuh menjadi terang benderang layaknya siang hari. Baik dari pihak tentara maupun para pemberontak hanya bisa mendongak keatas dan tertegun, seakan tidak percaya dengan apa yang sedang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri.

Walaupun bola api raksasa itu berada di ketinggian lebih dari 100 meter dari permukaan tanah, namun suhu panas yang dipancarkan oleh bola api raksasa itu mampu membakar pepohonan di area sekitar, membuat para prajurit dan para pemberontak tunggang langgang karena panik. Mereka tunggang langgang dan bergegas untuk melarikan diri dari jembatan. Beberapa dari mereka ada yang melarikan diri menggunakan kendaraan, dan ada juga yang melompat turun ke sungai untuk menjauhi pusat dari medan pertempuran.

"Semoga sang api membimbing kalian ke neraka." Seorang wanita paruh baya bergaun merah yang melayang di udara mengayunkan kedua tangannya ke arah jembatan, membuat bola api raksasa yang memiliki diameter melebihi luas pulau Java itu perlahan bergerak menghantam ke tanah.

{-Mimpi buruk-}

14 September 2009...

*Kring- Kring- Kring....* Dering suara alarm.

Di pagi hari yang dibasahi hujan rintik-rintik, seorang remaja terbangun dari mimpinya.

"Bisakah aku sekali saja bermimpi makan sesuatu yang enak?" kata remaja tersebut dengan raut wajah malas.

"Shiro, bangunlah! Apa kau tidak pergi sekolah hari ini?" terdengar seruan suara lembut seorang wanita paruh baya dari ruang sebelah.

"Iya, aku sudah bangun!" saut Shiro yang kemudian beranjak untuk bangun dari tempat tidur.

"Cerita yang di awali dengan mimpi buruk... Apa alurnya bisa lebih buruk lagi? Kenapa ceritanya tidak di mulai dengan seorang MC yang di bangunkan oleh seorang adik imut? Atau bangun di sebelah gadis cantik? Atau mungkin di mulai dengan sebuah kecelakaan, seperti mati tertabrak becak dan menuju ke isekai untuk bertemu gadis gadis cantik?" gumam Shiro sambil merapikan tempat tidurnya.

"This is bullshit." keluh Shiro, selesai merapikan tempat tidurnya.

"Cepatlah pergi mandi. Ibu telah membuatkan singkong goreng kesukaanmu." seru ibu Shiro, terdengar seperti sedang menyiapkan makanan.

Shiro memakai mantel kusamnya seraya berkata, "Aku harap nasibku dapat berjalan semulus nasibnya Lighter."

"Kau tidak mandi terlebih dulu?" tanya sang ibu, penasaran melihat Shiro yang berjalan keluar kamar sudah mengenakan mantel.

"Ini lagi musim hujan bu, apa gunanya mandi jika harus basah lagi?" kata Shiro, mengambil 2 potong singkong yang tersaji di atas meja makan.

"Setidaknya kau akan terlihat lebih tampan." kata sang ibu, tersenyum menggoda putranya.

"Itu tidak perlu. Aku sudah terlahir tampan. Aku berangkat sekarang, bu." kata Shiro, berjalan keluar rumah.

"Hati-hati di jalan, dan jangan lupa mencari sayur untuk makan malam nanti!" teriak sang ibu.

Shiro tidak mendengar apa yang telah ibunya katakan karena hujan deras dan suara gemuruh petir yang menyambar. Ia terus melangkahkan kaki seraya berkata pelan, "Kapan kota ini akan berhenti menangis?"

Di perjalanan menuju ke sekolah, Shiro melihat kerumunan orang yang sedang berdemo di tepi jalan.

"Mereka merampas hasil panenku!" seru salah seorang warga.

"Mereka membunuh anak laki-lakiku dan menculik istriku!" sahut warga lainnya dengan penuh amarah.

"Mereka memperkosa anak gadisku dan sekarang dia bunuh diri karena rasa malu!"

"Anakku sakit keras dan butuh dokter!"

Seseorang yang membawa pengeras suara berkata, "Aku mengerti penderitaan kalian! Mereka juga telah membunuh kedua orang tuaku tepat di depan mataku, dan aku hanya bisa menggigil ketakutan! Tapi itu 8 tahun yang lalu!!" Sesaat setelah para demostran sedikit tenang, pria tersebut melanjutkan pidatonya. "Sudah cukup kita menderita! Kita tidak bisa terus membiarkan kebrutalan mereka merajalela! Kita harus melakukan sesuatu! Kita harus melawan! Kita harus mengambil alih balai kota!!"

"Ayo kita pergi ke balai kota!!"

"Yeah!!" teriak para orang-orang dalam kerumunan itu secara bersaut-sautan.

"Ayo kita rebut balai kota dan mengakhiri zaman perbudakan ini!!"

Shiro sama sekali tidak memperdulikan para demostran itu dan terus melangkahkan kaki melewati kerumunan sembari memakan singkong buatan ibunya.

"Bodoh sekali. Apanya yang melawan balik?! Merebut balai kota?! Hmph! Buang-buang waktu saja! Memangnya apa yang bisa mereka lakukan!!" gumam Shiro, merasa kesal dengan para demostran tadi.

Namaku Toushiro Al Brightlight, 17 tahun. Aku hidup berdua dengan ibuku. Kami tinggal di sebuah gubuk kecil di desa Sumber, kota Kretek. Walaupun kami hidup dalam kemiskinan, namun aku dan ibuku selalu bersyukur menjalani kehidupan.

Bukan hanya aku, hampir seluruh rakyat di negeri ini hidup dalam kemiskinan. Kecuali mereka yang bergabung dengan militer dan mengabdikan hidupnya kepada pemerintah dunia.

Ya, benar. Aku hidup di dunia dimana hanya ada satu kepemerintahan yang menguasai dunia. Dan nama dari pemimpin tertinggi dari organisasi itu adalah 'Kamisama', sosok misterius yang kabarnya mempunyai kehidupan abadi.

Dahulu kala, peperangan terjadi di seluruh pelosok dunia dan berlangsung selama ribuan tahun lamanya. Perebutan wilayah kekuasaan dan perbedaan keyakinan menjadi salah satu penyebab kenapa perang tidak kunjung berakhir. Sampai akhirnya, 'Kamisama' muncul dan mengakhiri perang di seluruh penjuru dunia seorang diri.

Sejak perang berakhir, 'Kamisama' membentuk suatu organisasi kepemerintahan yang mengatur seluruh wilayah di penjuru dunia. Dan sejak itu pula, manusia kehilangan kebebasannya. Setidaknya, begitulah apa yang selalu di ceritakan oleh ayahku sewaktu aku masih kecil dulu.

.

Beberapa langkah setelah Shiro memasuki gerbang sekolah. Seorang gadis cantik berambut hitam panjang menyapanya.

"Selamat pagi, Shiro-kun. Kenapa kamu tidak membawa payung?" sapa Dara, tersenyum manis menyambut Shiro. Dara adalah salah satu gadis tercantik di kota. Postur tubuhnya yang ideal, kulitnya yang putih dan bersih, ditambah lagi mata biru langitnya yang indah membuat Dara dikagumi oleh banyak pria di kota Kretek.

==============

Name : Dara Skyler

Birthday : Negara Ombak, 25 Januari 1994

==============

"Bukannya setiap hari dia memang suka mandi di jalan?" sahut Cindy, seorang gadis cantik berambut pirang pendek dengan mata merah cerah. Cindy adalah teman masa kecil Shiro yang mempunyai sifat agak tomboi.

==============

Name : Cindy Dewi Tsuki

Birthday : Kota Kretek, 1 mei 1994

==============

"Yo." kata Shiro, melewati Dara dan Cindy dan terus melangkahkan kaki menyusuri lorong kelas.

"Katakan sesuatu yang agak panjang sedikit kenapa?!" seru Cindy yang terlihat sangat kesal. "Seperti biasa, dia orang yang sangat menyebalkan." keluh Cindy, memandangi Shiro berjalan menjauh.

"Apa dia sedang marah?" tanya Dara kepada Cindy.

"Hmm? Bukankah dia memang selalu terlihat seperti itu? Kusut tanpa semangat." jawab Cindy.

Di depan kelas..

"Berikan makananmu!" kata seorang preman sekolah, mencoba merebut makanan yang dibawa oleh seorang siswa culun berkacamata.

"Tapi hari ini aku belum makan apapun." kata siswa culun tersebut, mencoba untuk menolak memberikan jatah makannya kepada preman sekolah itu.

"Apa kau pikir kami peduli?!" seru preman kedua, yang kemudian memukul wajah siswa culun tersebut.

Saat Shiro hendak masuk ke kelas, ia melihat seorang murid yang sedang di bully oleh beberapa preman sekolah.

"Hmm..? Akmal?" kata Shiro dalam hati. Shiro mempercepat langkah kakinya menghampiri mereka seraya berkata, "Hoy, apa yang sedang kalian lakukan?!"

Para preman sekolah itu menoleh ke belakang dan terkejut melihat Shiro yang datang mendekat. "Shi.. Shiro?!" Mereka bergegas mengembalikan makanan siswa tadi dan kemudian tunggang langgang melarikan diri karena ketakutan.

"Apa kau tidak apa-apa?" tanya Shiro kepada Akmal, teman masa kecilnya yang juga tinggal di desa Sumber.

"Iya, terimakasih. Untung saja kau datang." kata Akmal, merasa lega.

==============

Name : A. Akmal

Birthday : Kota Kretek, 25 September 1993

==============

"Jatah makan hari ini terlihat enak. Biar aku mencicipinya, aku lapar." Shiro merebut jatah makan Akmal dan langsung memakannya.

"Aaarrrrgghhh!!" teriak Akmal histeris. "Kau tidak ada bedanya dengan mereka tadi! Aku akan mati kelaparan!!" kata Akmal kesal, merebut kembali makanannya.

"Kenapa kau cerewet sekali? Aku hanya minta sedikit." kata Shiro, acuh tak acuh berjalan memasuki ruangan kelas.

"Kau juga dapat bagian kan?! Kenapa masih minta punyaku!" gumam Akmal jengkel, berjalan memasuki kelas.

"Ahh.. Diamlah! Berhentilah merengek seperti seorang wanita tua. Itulah sebabnya kau sering di bully." keluh Shiro, duduk di barisan meja paling belakang.

"Dan orang yang selalu membully aku adalah kau." kata Akmal dengan raut wajah datar. Ia kemudian duduk di meja sebelah Shiro dan menaruh jatah makannya di laci. "Sebenarnya aku tahu jika kau selalu memberikan jatah makan dari sekolah untuk ibumu dirumah." kata akmal dalam hati, tersenyum tipis.

.

.

Beberapa waktu kemudian pada jam pelajaran kimia. Seluruh murid kelas 2A sudah pergi ke laboratorium sains. Sedangkan Shiro masih berada di dalam kelas dan tertidur.

*zzzzzzzzz*

"Bangunlah, dasar pemalas!" sentak Cindy yang kemudian menampar punggung Shiro dengan cukup keras.

*Slap!*

Seketika Shiro pun terbangun karena kaget. "Sudah waktunya untuk pulang?" guman Shiro, mengucek matanya.

Cindy menghela nafas dan duduk di sebelah Shiro. "Sebenarnya untuk apa kau datang kesini kalau seharian hanya tidur di dalam kelas?" keluh Cindy, merasa jengkel dengan kebiasaan Shiro tersebut.

"Agar dapat jatah makan tentunya. Gadis kaya sepertimu mana mungkin mengerti betapa beratnya perjuanganku untuk mencari makan." gumam Shiro, masih sedikit mengantuk.

"Dengan mendaftar wajib belajar dan tidur seharian di kelas??!" sahut Cindy yang terlihat semakin jengkel dengan jawaban Shiro.

"Well, setidaknya aku berusaha. Kemana para teman sekelasku?" kata Shiro, melihat ke sekitar.

"Uhm.. Tadi aku melihat Akmal di lantai 2. Aku rasa mereka sedang pergi ke laboratorium." jawab Cindy.

"Oh. Lalu kenapa kau kemari?" tanya Shiro, memeriksa laci Akmal.

"Dara khawatir denganmu. Katanya kau terlihat berbeda hari ini. Ada apa? Apa bibi baik-baik saja?" tanya Cindy.

"Ehm. Tidak. Ibuku baik-baik saja. Aku hanya merasa sedikit kesal melihat para demostran pagi tadi." jawab Shiro, sedikit memakan jatah makan Akmal lalu mengembalikannya ke dalam laci.

"Aku rasa pemberontakan di kota ini hanya tinggal menunggu waktu. Aku khawatir dengan Dara." kata Cindy, termenung.

"Dia akan baik-baik saja." kata Shiro, masih mengunyah makanan.

"Dan Shiro.. Rumahku masih terbuka untuk kau dan bibi. Kau tahu itu kan?" kata Cindy, menatap wajah Shiro.

Perkataan Cindy membuat Shiro termenung. Sejenak, suasana terasa canggung. Hingga suara gebrakan pintu memecah keheningan dan mengagetkan mereka.

"Shiroo!!!!" Segerombolan siswa bertampang seram berjalan memasuki kelas.

"Bertarunglah denganku 1 lawan 1! Kita buktikan siapa boss yang sebenarnya di sekolah ini!" seru seorang pria gundul, menantang Shiro dengan penuh semangat.

"Uhm, bisakah kalian melakukan itu nanti saja?" kata Cindy, merasa sedikit panik.

"Jangan berisik kau, wanita! Tinggalkan tempat ini jika kau tak mau terluka." sentak preman botak itu.

"Shiro, lakukanlah sesuatu!" kata Cindy pelan, bersembunyi di belakang bahu Shiro.

"Apa potongan rambut gundul sedang tren saat ini?" tanya Shiro kepada Cindy.

"Huh?" kata Cindy, tidak mengerti.

"Aku rasa kemarin juga ada seorang pria gundul yang menantangku." kata Shiro pelan, sedikit menoleh ke belakang ke arah Cindy. "Dan hari-hari kemarinnya juga." imbuhnya.

"Cih!" Merasa terhina, tanpa pikir panjang si preman gundul pun berlari menyerang Shiro seraya berteriak, "Hoorrrrraa!!"

"Ey, aku masih disini!!" teriak Cindy, berlari menjauhi Shiro.

Dengan cukup tenang, Shiro menghindari pukulan si preman gundul, dan dengan cepat memukul perutnya dengan tangan kiri dan kemudian melancarkan pukulan keras tepat ke wajah preman gundul tersebut, membuatnya pingsan seketika.

"Aw.. Lemah sekali!" kata Cindy terkejut.

"Boss!!" Teman-teman dari si preman gundul panik melihat pimpinan mereka tumbang. Mereka bergegas menghampiri preman gundul tersebut yang terkapar tepat di hadapan Shiro.

"Minggir! Kalian menghalangi jalanku!" sentak Shiro.

"Maafkan kami!!" seru para preman tersebut, membungkuk ke Shiro. Para teman-teman si preman gundul itu kemudian bergegas menyeret pemimpin mereka dari hadapan Shiro untuk memberikan jalan kepadanya.

"Hey, jangan tinggalkan aku!" seru Cindy, berjalan menyusul Shiro keluar ruangan kelas.

"Jangan mengikutiku. Gadis tomboy bukanlah tipeku." kata Shiro, terus berjalan menjauh.

"Aku masih belum selesai berbicara denganmu! Shiro!" Karena Shiro sama sekali tidak menggubrisnya, Cindy pun mulai berhenti mengejar Shiro. "Dasar pria menyebalkan!" keluh Cindy pelan, memandangi Shiro berjalan menjauh.

Di atap gedung sekolah, salah satu tempat favorit Shiro untuk menenangkan diri disaat istirahat ataupun jam kosong.

Shiro berdiri di belakang pagar pembatas dan memandangi kerumunan siswa yang sedang berlalu-lalang di bawahnya. "Bagaimana bisa mereka menjalani hari dengan setenang itu?" kata Shiro lirih.

Saat Shiro sedang termenung memandangi pemandangan di bawahnya, datang seorang pria berbadan kekar menghampirinya. "Sudah kuduga kau ada disini. Sedang memikirkan nasib negara?" kata pria tersebut, berdiri di sebelah Shiro dan menawarkan rokok kepadanya.

==============

Name : Mike Hanger

Birthday : Kota Kretek, 5 Juli 1985

Bounty : 5.000.000 Doku

==============

"Mike? Apa yang kau lakukan disini?" tanya Shiro, penasaran. Ia kemudian mengambil sebatang rokok yang Mike tawarkan dan kemudian menyalakannya.

"Aku tadi ada urusan di dekat sini, lalu berpikir untuk sejenak mengobrol denganmu." kata Mike, memperhatikan pemandangan di sekitar.

"Oh.. Ngomong-ngomong, berapa harga rokok ini? Ini terasa lebih beraroma dibandingkan dengan yang biasanya kau berikan kepadaku." kata Shiro, menikmati rokok yang ia hisap.

"50.000 Doku." jawab Mike.

*Uhuk*

*Uhuk*

Jawaban singkat Mike membuat Shiro tersedak hingga batuk.

"Per bungkus?? Dengan 50.000 aku bisa bertahan hidup selama satu Minggu!!" seru Shiro, sulit percaya. "Harga yang sangat mahal untuk lintingan daun kering seperti ini. Pantas saja para tuan tanah di desa Colo hidup mewah bergelimpangan harta." imbuhnya.

"Benar. Dan rakyat kecil seperti kita harus mengais sampah mereka untuk dapat bertahan hidup." kata Mike, meremas bungkus rokok yang ia genggam.

"Mmaa.. Kalau sudah terbiasa, kau juga pasti akan dapat menikmatinya." kata Shiro, mencoba untuk menenangkan Mike yang terlihat sedikit terbawa emosi.

"Jangan bercanda! Hampir setiap hari ada warga yang meninggal karena kelaparan! Kau sendiri juga pasti telah menyadari jika keadaan kota ini sudah semakin kacau kan?! sentak Mike, semakin terbawa emosi.

"Ya.. Tadi pagi aku juga melihat para demonstran yang terlihat semakin memanas. Aku rasa akan ada perang saudara di kota ini." jawab Shiro, termenung memandangi kerumunan murid yang ada di bawah.

"Oleh sebab itu, Shiro... Bergabunglah dengan kami. Teman-teman pasti akan sangat senang jika kau mau bergabung." kata Mike, mencoba membujuk Shiro untuk bergabung dengan Dagelans.

Dagelans sendiri merupakan sebuah kelompok geng yang beranggotakan para berandalan kota Kretek. Walaupun kebanyakan dari mereka sering membuat resah para warga, namun Dagelans mendapat dukungan penuh dari para warga yang kontra terhadap pemerintah dunia.

Bagi para warga miskin, Dagelans merupakan sekelompok pahlawan. Mereka merampok para tuan tanah yang kikir dan membagikan hasil rampasan kepada para warga miskin. Hal tersebut membuat Mike selaku pimpinan Dagelans menjadi buronan pemerintah tingkat pulau. Poster buron Mike pun telah disebar di seluruh penjuru kota Kretek dan kota-kota tetangga dengan imbalan sebesar 5 juta Arto bagi siapapun yang berhasil menangkap Mike dalam keadaan hidup ataupun mati. Sebuah imbalan yang sangat menggoda bagi para warga kota Kretek untuk menghianati Mike, mengingat betapa kerasnya kehidupan mereka saat ini.

"Bukankah sudah kubilang jika aku sama sekali tidak tertarik. Aku dan ibuku sudah cukup bahagia menjalani kehidupan kami yang sekarang. Lagipula kenapa juga preman kampung sepertimu pergi ke lingkungan sekolah hanya untuk menyuapku sebungkus rokok setiap minggunya?! Apa kau lupa jika kau ini seorang buronan??" Karena tidak ingin ambil pusing, Shiro pun berjalan meninggalkan Mike. "Pergilah bersembunyi dan lupakan rencana kalian untuk bunuh diri" imbuhnya seraya terus berjalan.

Mike menghela nafas dan mencoba untuk berfikir jernih. Ia masih tidak menyerah dan sekali lagi mencoba untuk membujuk Shiro dengan cara menyulut emosinya. "Apa kau pikir, kau bisa terus-terusan hidup seperti ini di dunia yang sudah sekarat ini?! Lagipula kenapa kau buang-buang waktu mendaftarkan diri untuk ikut wajib belajar?! Kalau kau dan ibumu butuh sesuatu untuk di makan, kenapa kau tidak bilang saja kepadaku!"

Mendengar perkataan pedas Mike membuat Shiro menghentikan langkah seketika. "Apa kau pikir aku dan ibuku terlihat seperti pengemis bagimu?!"

"Apa aku salah? Daripada berjuang untuk kebebasan kita, kau lebih memilih menjadi budak pemerintah dunia saat kau sudah lulus nanti!" ucap Mike dengan tegas.

"Apa yang kau tahu tentang keluargaku?!" sentak Shiro, menghampiri Mike dengan penuh amarah.

"Setidaknya, aku tau Abbas Brightlight bukanlah pengecut sepertimu." jawab Mike, masih terlihat cukup tenang.

"Diamlah!!!" Shiro yang sudah tidak mampu membendung emosinya pun menarik kerah baju Mike dan memukulnya tepat di wajah. "Jangan pernah menyebut nama itu di hadapanku!!" teriak Shiro, terus menghajar Mike secara brutal.

Mike yang sadar jika perkataannya mampu memancing emosi Shiro pun hanya bisa menahan hujan tinju yang ia terima tanpa sedikitpun usaha untuk mengelak.

Setelah puas menghajar Mike, Shiro pun melepaskan Mike tergeletak di lantai dan mencoba untuk mengontrol emosinya.

"Apa kau pikir... Apa kau pikir ibumu akan bangga kepadamu jika kau bekerja untuk organisasi yang telah membantai keluargamu?!" ucap Mike sambil berdiri perlahan. Mike lalu memegang kedua pundak Shiro dan kembali berkata, "Jika kau memang ingin membahagiakan ibumu.. Maka berjuanglah!!!" Dengan sangat keras Mike membenturkan kepalanya ke kepala Shiro, membuat mereka berdua tumbang dan tergeletak di lantai.

Saat Shiro dan Mike sedang terkapar di lantai dan merintih kesakitan, tiba-tiba sebuah suara ledakan yang sangat keras menggelegar di arah selatan.

*Dduuuuuaaaaaarrrrr*

Suara ledakan yang menggelegar tersebut mengejutkan semua orang. Kepulan asapnya menggelembung tinggi di langit, membuat semua orang terdiam menatap kearah selatan tepat dimana ledakan tersebut terdengar.

Beberapa saat kemudian, suara jeritan karena rasa panik mulai terdengar bersahutan. Sedangkan Shiro dan Mike yang masih terkapar di lantai hanya melirik sedikit ke arah selatan.

"Aku mendengar kabar bahwa para pemberontak berjubah hitam telah sampai di kota Atlas." ucap Mike yang berusaha untuk berdiri. "Kalau mereka berhasil mengambil alih kota itu, kemungkinan mereka akan sampai disini minggu ini." imbuhnya.

Mike membersihkan darah di bibirnya dan meludah ke arah kiri. "Sialan! Gigiku copot lagi. Aku selalu penasaran, apa kau ini benar-benar seorang manusia?"

"Jam 3 sore nanti, bersama dengan para warga, Dagelans akan mengambil alih balai desa Salam. Jika kau memang Shiro Al Brightlight yang dulu kami kenal, maka datanglah. Ajak teman-temanmu bergabung bersama kami untuk merebut kembali kebebasan kita." kata Mike yang kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Shiro yang masih tergeletak di lantai.

"Dasar bodoh.. Seharusnya kau tahu jika temanku hanyalah Akmal dan kau saja." ucap Shiro lirih, memandang ke arah langit dan menghiraukan kekacauan yang sedang terjadi dibawah.

Beberapa saat kemudian, di tengah-tengah kekacauan yang sedang terjadi, terdengar suara teriakan yang memanggil-manggil nama Shiro.

"Shiro, keluarlah!!!"

Shiro berdiri dan perlahan berjalan ke tepi pagar untuk melihat siapa yang sedang memanggilnya.

"Anak tukang sayur, dimana kau?! Masalahku denganmu belum selesai!" teriak si preman gundul yang tadi telah dihajar oleh Shiro.

"Mungkin dia sudah pergi untuk mengungsi, boss. Sebaiknya kita juga bergegas." kata salah satu orang yang memanggil Shiro.

"Aarhh.. Kenapa para berandalan itu muncul di saat seperti ini. Menyebalkan sekali!" keluh Shiro, terlalu malas untuk meladeni kemauan mereka.

Karena tidak mau ambil pusing, Shiro pun berencana untuk mengelabui mereka dan pulang lewat pintu belakang. Namun sesaat setelah ia berjalan menuruni anak tangga di lantai kedua, ia melihat Akmal yang sedang berlari menghampirinya.

"Shiro!! Aku mencarimu kemana-mana!!" seru Akmal, terengah-engah karena kelelahan.

"Hey, kau tidak perlu sepanik itu. Ledakan tadi berasal dari tempat yang jauh dari sini." kata Shiro, mencoba menenangkan Akmal yang terlihat sangat panik.

"Bukan itu! Lihatlah keluar kearah timur!!" teriak Akmal yang kemudian berlari menuju jendela. "Luapan asap itu berasal dari desa!!" seru Akmal, menunjuk ke arah timur.

Melihat gumpalan asap yang meluap di langit timur membuat Shiro tercengang. Raut wajahnya seakan menunjukkan ekspresi tidak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Shiro kemudian bergegas berlari keluar melewati pintu belakang yang kemudian diikuti Akmal yang berlari menyusulnya.

Dara yang kebetulan sedang berada di ruangan sebelah telah mendengar pembicaraan mereka. Tanpa sedikitpun keraguan, Dara pun mulai berlari keluar mengejar mereka berdua.

Di sebuah jalan pedesaan, desa Sumber. Terlihat pemandangan yang sangat mengerikan di sudut-sudut desa. Mayat-mayat bergelimpangan di jalanan. Beberapa kendaraan tentara juga terlihat hangus terbakar.

"Shiroo... Tunggu aku!!" teriak Akmal yang tertinggal jauh di belakang.

Akmal yang sudah tidak mampu lagi untuk berlari pun berhenti sejenak untuk bernafas. Dan tidak lama kemudian, terdengar suara Dara yang memanggilnya.

"Akmal!!" teriak Dara, berlari mendekat.

Mendengar suara teriakan Dara, Akmal pun menengok ke belakang. Ia nampak terkejut saat melihat Dara yang sudah sangat kelelahan berlari mengejarnya.

"Dara, apa yang kau lakukan disini?!" kata Akmal, terbata-bata karena kelelahan.

"Aku mendengar apa yang kalian bicarakan saat di sekolah tadi. Karena penasaran, jadi aku memutuskan untuk mengikuti kalian berdua. Lalu dimana Shiro-kun?" tanya Dara, terengah-engah karena kelelahan.

"Dia sudah berlari jauh di depan. Aku sudah tidak mampu lagi untuk berlari." kata Akmal, menunduk kelelahan.

Dara melihat sekitar dan melihat ada sepeda yang tergeletak di depan rumah tepat di samping mereka. Tanpa pikir panjang, Dara pun kemudian berlari mengambil sepeda tersebut.

"Aku pinjam sepedanya sebentar pak, bu!!" teriak Dara, mengayuh sepeda tersebut menjemput Akmal.

"Akmal, ayo buruan!" kata Dara, berhenti di samping Akmal.

"Hah? Sepeda siapa itu?!" tanya Akmal penasaran.

"Sudahlah, ayo buruan! Nanti Shiro-kun semakin jauh!" kata Dara, menatap gumpalan asap di arah yang sedang mereka tuju.

"Ba-Baiklah." kata Akmal, bergegas duduk di kursi belakang.

.

.

Sementara itu, Shiro sudah sampai di perumahan tempat dia tinggal. Dia terlihat sangat panik melihat hampir seluruh rumah terlahap kobaran api. Selain itu, tidak seperti di perbatasan desa yang di penuhi mayat yang bergelimpangan di jalanan. Di sepanjang jalan yang ia lewati, ia tidak melihat satupun mayat di sekitarnya.

"Tuhan, aku mohon... Semoga ibuku masih dalam keadaan baik-baik saja." ucap Shiro di dalam hati sambil terus berlari menuju ke rumahnya.

Sesampainya di rumahnya, Shiro pun langsung mendobrak pintu depan tanpa mempedulikan atap rumahnya yang sudah mulai terbakar.

"Ibu!!" teriak Shiro, menelusuri ruangan rumah.

"Ibu, dimana kau?!" Shiro mencari ibunya di semua sudut rumah. Hingga akhirnya ia sampai di dapur dan terkejut melihat ibunya dan 2 orang tentara terkapar di tanah yang digenangi oleh lumuran darah.

"Ibu, bertahanlah!!" teriak Shiro, memegang pipi ibunya. "Ibu!!"

Shiro mencoba segala cara agar dapat menyadarkan ibunya, namun dia tetap tidak dapat merasakan denyut nadi ibunya berdetak. Sampai dia mengangkat kepala ibunya dan membuatnya tersadar jika di belakang kepala ibunya terdapat luka yang sangat parah.

Shiro pun mendadak terdiam, memandangi wajah ibunya dengan penuh kesedihan. Hingga sebuah suara piring terjatuh dari meja yang terbakar mengalihkan perhatiannya. Shiro melirik ke arah suara tersebut dan melihat sebuah kue yang telah jatuh di tanah dengan lumuran darah.

Tanpa ia sadari, Shiro pun meneteskan air mata karena teringat percakapan dengan ibunya beberapa hari yang lalu.

"Ibu, sebentar lagi aku ulang tahun. Apa ibu tidak berencana untuk membuatkanku sesuatu yang lezat?" canda Shiro pada ibunya.

"Kalau begitu, ibu akan membuatkanmu singkong goreng yang sangat besar agar bisa kau nikmati bersama dengan Akmal dan pacarmu si gadis pirang." sahut ibunya, terkekeh.

"Aku sangat yakin jika Cindy pasti akan mengira kalau itu hanyalah sebongkah akar besar yang dibumbui." kata Shiro tertawa terbahak-bahak.

Karena tak kuasa menahan kesedihannya, Shiro pun memejamkan mata dan berteriak dengan suara yang sangat lantang.

"Aaarrrrgghhhh!!!!!"

"Kenapa!!!"

"Kenapa kau meninggalkanku bu." ucap Shiro pelan, memeluk erat jasad ibunya.

Disaat Shiro sedang dalam keadaan sangat terpukul, tiba-tiba datang 6 orang tentara kerajaan yang tadi mendengar suara teriakannya.

"Angkat tanganmu!!" sentak salah satu tentara, menghunuskan pedangnya ke arah Shiro. "Apa kau anggota Crowz?!"

"Apa, hanya anak kecil?" sahut tentara lain.

"Bunuh saja dia. Dia mungkin hanyalah seorang penduduk desa. Aku akan menyiapkan wadahnya." kata salah satu tentara lain yang terlihat sedang mengeluarkan sebuah kristal dari tas yang ia bawa.

"Crowz?" ucap Shiro lirih, perlahan menurunkan kepala ibunya.

Sementara itu, Dara dan Akmal akhirnya sampai di perumahan tempat Shiro tinggal dan bergegas menuju ke rumah Shiro.

"Panas sekali! Apa kau yakin ini rumahnya?!" tanya Dara kepada Akmal, bersiap memasuki rumah Shiro yang hampir habis ditelan api.

"Tentu saja!" Tanpa sedikitpun keraguan, Akmal berlari menerobos masuk rumah yang kemudian diikuti oleh Dara di belakangnya.

Kembali ke tempat Shiro di dapur rumahnya.

"Hey, singkirkan mayat-mayat yang masih utuh dan bawa mereka semua ke truk!" Terdengar suara tentara lain yang berada di halaman belakang.

"Jawab pertanyaanku!! Apa kau pasukan Crowz?!!" teriak sang tentara yang bersiap memenggal kepala Shiro dari belakang.

*Brrrruuaaaakk!* Suara atap bangunan yang roboh.

"Dara, cepat bantu aku!!" teriak Akmal, mendorong batang kayu yang jatuh di depan mereka.

"Apa kau dengar pertanyaanku!!" sentak tentara tersebut.

"Sudahlah, bunuh saja dia!" kata tentara lain yang mulai kesal menunggu.

Shiro mencabut pedang yang menusuk mayat seorang tentara yang terbakar di sampingnya dan kemudian mengayunkan pedangnya kebelakang dengan gerakan memutar, menebas dua tentara yang berdiri di belakangnya sekaligus.

Satu dari tentara tersebut mati seketika karena wajahnya terbelah. Sedangkan satu tentara lainnya sekarat dan tergeletak di kaki Shiro.

Shiro menggenggam erat pedangnya, membuat sorot matanya berubah menjadi merah membara seperti sebuah nyala api yang berkobar.

"To..Tolong aku." kata tentara yang terkapar di kaki Shiro.

Shiro menancapkan pedangnya tepat di kepala tentara tersebut dan seketika mengakhiri penderitaannya.

Shiro mengorek pedangnya ke kanan untuk memperbesar lubang di wajah tentara yang sudah mati tersebut dan berkata, "Dimana para Crowz itu?"

Para tentara lain yang sedari tadi tercengang dengan serangan dadakan Shiro pun akhirnya memutuskan untuk langsung membunuh Shiro.

"Tembak! Bunuh dia!!" teriak salah satu tentara, menembak Shiro tepat di bahu kirinya.

"Shiro!!" teriak Akmal yang baru saja sampai di depan pintu dapur bersama dengan Dara.

Walaupun ia tertembak, Shiro tetap berdiri tegak dengan sorot mata yang terlihat semakin membara. "Aku tanyakan sekali lagi. Dimana para Crowz sialan itu!!"

"Apa yang kalian tunggu!! Tembak dia sampai mati!!" teriak salah seorang tentara yang kemudian bersiap untuk menembak.

"Tembak!!"

"Shiro!!!" Dara dan Akmal berlari ke arah Shiro dan mencoba untuk menyelamatkannya dari tembakan para tentara.

Sementara itu Shiro menghiraukan Akmal dan Dara dan langsung melesat ke arah para tentara tersebut tanpa menghindari tembakan mereka. Dan pada jarak 1 meter dari hadapan para tentara tersebut, Shiro mengayunkan pedangnya menyamping, memunculkan kobaran api merah membara, lebih terang dan lebih pekat dari api biasa.

3 dari para tentara tadi terbakar hangus seketika. Bahkan tembok yang terbuat dari kayu yang ada di belakang para tentara tadi pun terbakar lenyap tanpa bekas.

Sedangkan satu tentara lain yang tadinya bersandar di balik tembok pun selamat dari maut. Akan tetapi dia terluka sangat parah akibat bertabrakan dengan tengkorak teman-temannya yang sedang terbakar dan terlempar keluar ke halaman belakang.

Dara dan Akmal hanya bisa tertegun menyaksikan kejadian tidak biasa yang baru saja mereka lihat. Sementara itu, Shiro perlahan berjalan menghampiri tentara terakhir dengan menyeret pedangnya di tanah, meninggalkan kobaran api di jejaknya.

"Hentikan! Kumohon!" teriak sang tentara, merangkak mundur menjauhi Shiro.

Shiro sama sekali tidak menghiraukan permohonan tentara tersebut dan terus berjalan menghampirinya.

"Teman-teman, dimana kalian!! Tolong aku!!" Sang tentara berteriak meminta tolong. Akan tetapi tidak ada satupun orang lain disana, dikarenakan para tentara lain sedang memindahkan mayat para warga ke kendaraan mereka.

*Dor*

*Dor*

*Dor*

Tentara tersebut melepaskan beberapa tembakan ke arah shiro. Namun Shiro sama sekali tidak bergeming seolah dia tidak merasakan apapun. Tubuhnya pun melepaskan asap panas yang keluar dari luka-lukanya, seakan organ-organ di dalam tubuhnya sedang terbakar dan menguap.

"Dasar monster!!!" teriak sang tentara ketakutan.

Tepat di hadapan tentara tersebut, Shiro mengangkat tinggi pedangnya dan bersiap menebas tentara tersebut.

Sang tentara memandangi Shiro yang berdiri tegak di hadapannya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Mengetahui ajalnya sudah dekat, tentara tersebut pun meneteskan air mata.

"Matilah." kata Shiro pelan dan kemudian membelah tubuh tentara tersebut menjadi dua.

Dampak api yang muncul dari tebasan pedangnya kali ini jauh lebih dahsyat dari yang tadi, membuat hutan yang ada di belakang tentara malang tersebut pun terbakar seketika.

Sesaat kemudian Shiro pun mulai kehilangan keseimbangannya dan terjatuh. Sedangkan Dara dan Akmal yang sedari tadi hanya bisa tertegun pun bergegas berlari menghampiri Shiro.

"Shiro-kun, bertahanlah!!" teriak Dara, menepuk pipi Shiro pelan. "Tubuhnya panas sekali. Apa yang harus kita lakukan??" tanya Dara, merasa panik.

Shiro yang masih sedikit membuka matanya pun mulai kehilangan kesadarannya dan pingsan.

"Kalau kita tetap disini, para tentara pasti akan datang dan menangkap kita. Dara, tolong gendong bibi. Aku akan menggendong Shiro. Kita bersembunyi dirumahku." kata Akmal, berusaha untuk menggendong Shiro seorang diri.

"Baiklah. Tapi apakah rumahmu belum terbakar?" tanya Dara.

"Api berasal dari utara. Aku rasa api tidak akan sampai ke rumahku. Cepatlah!"

Akmal dan Dara bergegas membawa Shiro dan ibunya ke rumah Akmal. Mereka berdua mengambil jalan memutar melewati sungai untuk mengecoh para tentara.

Sementara itu, melihat kobaran api baru di hutan, para Tentara yang tadinya sedang memindahkan mayat pun bergegas menuju ke rumah Shiro.

"Apa-apaan ini!! Siapa tulang belulang ini?!!" seru sang kapten, terkejut melihat tengkorak-tengkorak membara yang bergeletakan.

"Kapten, aku rasa mereka adalah pasukan kita." kata tentara lain.

"Crowz, kah?" kata sang kapten pelan. "Ayo cepat pergi dari tempat ini!!" seru sang kapten, memberikan Komando.

Di depan rumah Akmal yang berada di sebelah barat rumah Shiro. Akmal terlihat sedang bersembunyi di semak-semak, mengamati daerah sekitar untuk memastikan keadaan. Sepanjang mata memandang, ia tidak melihat tanda-tanda akan kedatangan para tentara di tempat tersebut. Hal tersebut dikarenakan rumah Akmal yang berada di seberang sungai, terpencil dari perumahan para warga yang lainnya.

"Aku rasa para tentara tidak mengetahui tempat ini. Aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda kedatangan mereka." kata Akmal, mengendap-endap menghampiri Dara yang sedang bersembunyi di sungai. "Ayo kita bawa Shiro ke dalam. Dia harus cepat mendapatkan perawatan." imbuhnya, mencoba menggendong Shiro di bahunya.

Sesaat setelah mereka membawa masuk Shiro kedalam rumah, Akmal bergegas mengambil semua peralatan medis yang dapat mereka digunakan.

"Aku... Aku rasa kita perlu membawanya ke rumah sakit." kata Dara, agak gugup. Walaupun tangannya terus gemetaran karena gerogi melihat darah terus mengucur dari luka-luka Shiro, namun ia menguatkan diri untuk tetap dapat membersihkan tubuh Shiro.

"Rumah sakit terdekat hanya ada di kota atlas. Apakah kau tidak melihat ledakan tadi?! Kemungkinan besar itu berasal dari kota atlas!" kata Akmal, menaruh semua peralatan medis yang ia punya di atas meja. "Kita lakukan saja apa yang bisa kita lakukan!" imbuhnya, bergegas mengambil air bersih.

"T-Tapi aku belum pernah melakukan operasi medis sebelumnya!" kata Dara, semakin gugup melihat darah yang terus mengalir keluar dari tubuh Shiro.

"Saat ini nyawa Shiro bergantung pada kita!!" seru Akmal, bergegas menaruh ember berisi air di sebelah Dara. Ia kemudian memegang pundak Dara dan berkata, "Aku sudah hidup sendiri sejak kecil. Shiro dan bibi sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri. Dan sekarang bibi sudah meninggal. Aku tidak mau kehilangan Shiro juga!" kata Akmal, mencoba membujuk Dara untuk memberanikan dirinya.

"Ba-Baiklah.. Aku akan mencobanya." kata Dara yang kemudian menarik nafas untuk menenangkan dirinya.

Pada pukul 13:10, operasi pun dimulai dengan peralatan seadanya. Mereka berdua berjuang untuk menyelamatkan nyawa Shiro hingga semalaman suntuk. Dan tepat pada jam 4 pagi, akhirnya operasi pun selesai.

"Apa yang kita lakukan sudah benar?" tanya Dara, memandangi tubuh Shiro yang terbalut perban.

"Aku tidak tahu. Setidaknya kita telah berusaha. Berapa banyak peluru yang sudah kita keluarkan?" tanya Akmal.

"6, 7.. 8." jawab Dara, menghitung peluru yang tersebar di atas meja.

Sejenak mereka termenung. Suasana pun menjadi terasa tenang. Suara gerimis dan nyanyian katak yang saling bersaut-sautan membuat rasa lelah dan kantuk yang mereka rasakan semakin terasa berat.

"Tidak ada pilihan lain, kita hanya bisa menunggu. Sebaiknya kau istirahat. Aku yakin Shiro pasti akan segera pulih." kata akmal, mencoba untuk menghibur Dara yang terlihat begitu lesu.

"Nah, Akmal... Kenapa Shiro-kun terlihat sangat membenci Crowz?" tanya Dara, memandangi wajah Shiro.

"Membenci, kah?" ucap Akmal lirih. "Bagiku, dia hanya terlihat iri." imbuhnya.

"Iri? Kenapa?" tanya Dara penasaran.

Akmal mengehela nafas dan kemudian mulai menceritakan alasan kenapa Shiro begitu membenci sesuatu yang berhubungan dengan Crowz.

"Well.. Ayahnya adalah seorang komandan Crowz. Sejak Shiro kecil, ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Shiro menyalahkan ayahnya karena meninggalkan istri dan anak-anaknya hidup menderita. Tapi bagi kami, ayah Shiro merupakan sosok seorang pahlawan yang sangat kami hormati. Setiap ayah Shiro pulang, dia selalu membawa harta dan makanan yang berlimpah untuk dibagikan kepada warga. Hingga dulunya desa kami terkenal sebagai desa yang paling makmur di tanah Java karenanya. Sampai pada 10 tahun yang lalu, 14 September tahun 1999. Pasukan kekaisaran datang ke kota ini untuk menangkap ayah Shiro. Walaupun jumlah pasukan kekaisaran 10 kali lipat dari jumlah pasukan pemberontak yang ada di kota, namun Ayah Shiro dan para bawahannya melawan mereka dengan gagah berani."

Sejenak Akmal memandangi wajah Shiro dan termenung.

"Pada malam yang kacau itu, Shiro dan saudaranya yang tadinya sudah berada di camp pengungsian pergi ke kota untuk mencari ayahnya. Dan beberapa jam kemudian setelah mereka pergi, terjadi sebuah peristiwa luar biasa yang tidak akan pernah dapat kami lupakan. Langit yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang karena sebuah bola api raksasa yang tiba-tiba muncul dan semakin kian membesar. Sangking besarnya bola api tersebut, aku dan para penduduk kota lainnya sampai mengira jika itu adalah matahari yang muncul di malam hari. Semua orang terlihat putus asa melihat matahari tersebut yang semakin kian membesar. Mereka sadar jika hari itu adalah hari terakhir kehidupan mereka. Namun disaat para warga sudah sangat pasrah dengan nasib yang akan menimpa mereka, sebuah keajaiban pun terjadi. Dari kejauhan yang mungkin berasal dari kota, terlihat sebuah kegelapan yang melahap matahari tersebut. Dan seperti tidak ada yang telah terjadi, langit pun kembali terlihat gelap gulita. Para warga bersorak kegirangan mensyukuri keajaiban yang telah terjadi. Namun kengerian malam itu tidak berhenti disitu saja. Hanya selang beberapa menit, dari arah barat kota, sebuah ombak tsunami setinggi 50 meter terlihat kian mendekat."

Akmal menunduk dan menguatkan kepalan telapak tangannya.

"Pada hari itu, pulau Java kehilangan hampir 70% populasi. Pada hari itu juga.. Kedua orangtuaku meninggal. Beberapa minggu setelah semuanya berakhir, para warga yang selamat dari bencana itu pergi untuk mencari keluarga mereka masing-masing. Aku menemukan jasad kedua orangtuaku dalam keadaan membusuk di sebuah reruntuhan bangunan. Pada hari yang sama, ayah Cindy yang sudah lama tidak pulang tiba-tiba muncul, menggendong Shiro yang sedang tidak sadarkan diri dan membawa satu lengan kanan saudaranya. Dari ayah Cindy pula kami mengetahui informasi tentang ayah Shiro yang dilaporkan telah meninggal dengan satu lengannya yang hilang. Aku rasa itulah sebabnya Shiro sangat membenci ayahnya, seorang komandan Crowz yang menurutnya adalah penyebab bencana yang terjadi 10 tahun yang lalu. Dan tepat 10 tahun kemudian dari bencana tersebut, di tanggal yang sama di hari ulang tahunnya, Shiro juga kehilangan ibunya."

Akmal tersenyum tipis mengingat kenangan masa lalu dimana Shiro dan saudaranya selalu bertingkah seperti ayahnya, sosok yang mereka kagumi.

"Setidaknya itulah yang aku tahu, kenapa Shiro sangat membenci apapun tentang Crowz. Karena dia merasa iri sosok ayah yang ia kagumi lebih memilih Crowz dari pada keluarganya sendiri." kata Akmal lirih, menutup ceritanya.

Dara yang sedari tadi mendengarkan cerita Akmal dengan seksama pun terisak-isak karena tangis. Ia tidak mampu membayangkan kepedihan yang mereka bertiga telah lalui selama ini. Dalam hatinya, Dara berjanji kepada dirinya sendiri disaat Shiro bangun nanti, ia akan melakukan apapun untuk dapat membuat Shiro bahagia dan bersemangat untuk menjalani kehidupannya.

Beberapa hari berlalu. Setelah perang saudara pecah, kondisi di kota Kretek terasa semakin suram. Keadaan menjadi semakin parah ketika para tentara kerajaan di kota Atlas kalah melawan pasukan Crowz, membuat mereka terpaksa untuk mundur ke beberapa kota terdekat yang salah satunya adalah kota Kretek. Mereka menduduki beberapa wilayah strategis di kota guna mempersiapkan strategi untuk menyambut pasukan Crowz yang juga sedang menuju ke kota Kretek.

Sementara itu di balai desa Salam, Dagelans dan beberapa rakyat lainnya telah berhasil mengambil alih balai desa. Namun Rencana mereka untuk menggulingkan balai kota gagal karena kedatangan para tentara kerajaan di kota Kretek membuat mereka tidak bisa berkutik untuk sementara waktu.

.

Di halaman balai desa, terlihat Mike dan beberapa orang lainnya yang sedang menikmati keheningan senja yang diiringi rintik hujan yang mengguyur pelan.

"Sial, kita hampir kehabisan persediaan makanan." kata salah seorang anggota Dagelans yang baru saja keluar dari dalam balai desa dan kemudian duduk di depan api unggun bersama dengan yang lainnya.

"Kurangi jatah kalian untuk anak-anak." sahut Mike, menanggapi keluhan pria tadi.

"Kita sudah melakukannya. Tapi persediaan kita masih tidak cukup." jawab pria tadi.

"Aku rasa kita hanya bisa bertahan sampai akhir pekan." sahut pria lain.

"Apa kita harus pergi keluar lagi? Sangat banyak tentara kerajaan yang berkeliaran di luar sana." bisik para anggota Dagelans pelan.

Merasa jengkel dengan keluhan para anggotanya, Mike pun berdiri dan mengambil parang. Ia kemudian mengejar beberapa kucing yang sedang berkeliaran dan menyembelihnya.

"Apa yang sedang ia lakukan?" tanya salah satu anggota Dagelans, penasaran kenapa Mike tiba-tiba membunuh kucing-kucing yang berkeliaran di sekitar.

"Kita sedang dalam kondisi perang! Panggang kucing sialan ini dan berhenti mengeluh!" sentak Mike, melemparkan beberapa bangkai kucing yang ia bunuh ke api unggun.

Mike menancapkan parang yang ia pegang di tanah dan kemudian berjalan keluar gerbang. Sedangkan Para anggota Dagelans hanya terdiam, memandangi kucing-kucing malang tersebut yang perlahan terbakar di tengah api unggun yang membara.

Di sebuah jembatan kecil, Mike berhenti untuk menenangkan diri. Ia menyalakan sebatang rokok dan menatap arus sungai yang mengalir. "Shiro... Dimana kau?" kata Mike pelan.

.

Sementara itu di rumah Akmal, Shiro yang masih belum sadarkan diri sedang mengalami mimpi buruk.

{Sebuah mimpi buruk}

Di sebuah jembatan gantung bernama Kaligelis, perang sedang berkecamuk.

"Bakar mereka semua!" seru seorang wanita berambut merah dan berpakaian serba merah, memberikan komando kepada para pasukannya.

==============

Name : Azuna Agni Flameheart

Birthday : Amazon, 7 April 1970

Rank : Emperor of Wonderland

==============

"Wanita sialan!! Jangan ikut campur di wilayahku!!" Seorang pemuda yang sedang berdiri di atas sungai terlihat sangat marah.

==============

Name : Banyu Tirta Poseidon

Birthday : Atlantik, 20 Juli 1980

Rank : Emperor of Oceania

==============

"Seharusnya kau berterimakasih karena 'Kamisama' telah mengutusku untuk membantu bocah pemalas sepertimu!" kata Azuna, berjalan dengan santai menuju ke jembatan dan kemudian memulai menyerang.

*Firestorm* Azuna mengangkat tangan kanannya ke depan, mengeluarkan semburan api yang sangat besar yang membakar apapun yang ada di hadapannya.

Di jembatan yang membentang sepanjang 300 meter itu, teriakan pilu manusia yang terbakar hidup-hidup mulai terdengar. Beberapa dari mereka berlarian dan meronta-ronta, sedang beberapa lainnya terlihat mencoba untuk melompat terjun ke sungai.

Sesaat sebelum semburan api sampai di ujung jembatan, seorang pria yang datang entah darimana tiba-tiba muncul dan menghadang semburan api tersebut. Ia mengibaskan pedangnya menyamping, memadamkan Firestorm dengan tebasan api hitam pekat. Api hitam yang keluar dari serangan tersebut membakar apapun yang dilewatinya. Bahkan tali-tali besi yang menjadi tumpuan ketegangan jembatan pun putus dan perlahan merobohkan jembatan tersebut.

Tebasan pria misterius tersebut meluas hingga menuju ke hadapan Azuna, membuatnya terpaksa untuk melompat terbang ke langit menghindari serangan tersebut.

Sementara itu di bagian selatan jembatan, air sungai tiba-tiba naik dan membentuk sebuah ombak tenang setinggi 5 meter. "Oho! Ternyata rumor itu memang benar. Akhirnya kau muncul, dasar pencuri!" seru Banyu yang terlihat berdiri di atas ombak.

"Cih! Kali ini akan ku pastikan kau mati terbakar!!" Di ketinggian 20 meter, Azuna terlihat melayang di udara dengan kedua kakinya yang terus menyemburkan api. Ia kemudian mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, memusatkan seluruh energinya untuk sebuah serangan andalannya.

Tidak lama kemudian, tepat di atas kepala Azuna, muncul sebuah bola api yang terus membesar.

*Solar Eclipse... Apocalypse!!* seru Azuna, bersiap melancarkan serangan.

"Hoy, hoy, hoyy!! Apa kau bercanda?!" seru Banyu, terlihat sangat panik melihat bola api raksasa yang kian membesar hingga menutupi langit malam. "Apa kau sudah gila, hentikan!!!" teriak Banyu, mencoba untuk menghentikan niat Azuna membumi hanguskan seluruh pulau Java.

"A-Apa itu??"

"Apa aku sedang bermimpi?"

"Azuna-sama! Hentikan!! Kami masih ada disini!!"

"Azuna-sama, kami mohon!! Tolong hentikan!!"

Baik dari pihak pasukan Crowz maupun tentara kekaisaran terlihat sangat panik. Mereka tunggang-langgang berusaha untuk melarikan diri dari tempat tersebut. Namun diantara ribuan manusia yang sedang berada di medan perang malam itu, banyak dari mereka yang hanya bisa termenung dan pasrah akan nasib yang akan menimpa. Mereka sadar, jika usaha untuk melarikan diri akan berakhir sia-sia.

"Dasar wanita gila! Tunggu saja pembalasanku!" Banyu melarikan diri menaiki gelombang ombak dan menuju ke lautan.

Sementara itu...

Di tengah-tengah kekacauan yang sedang terjadi, di hadapan dua orang anak kecil, sang pria misterius tadi terlihat tersenyum. Dia adalah Abbas Al Brightlight, komandan dari divisi 10 pasukan Crowz.

"Jangan pernah kalian redup. Terangilah dunia yang kelam ini dengan sinarmu." kata Abbas tersenyum, mengelus kepala kedua anak tersebut.

"Semoga sang api membimbing kalian semua ke neraka." kata Azuna pelan, melemparkan bola api yang memiliki diameter sebesar ratusan kilometer ke arah pria misterius tersebut.

Abbas bergegas berjalan meninggalkan anak-anak tersebut dan kemudian melompat ke atas tiang jembatan. Ia mengangkat tangan kirinya dan bersiap untuk menghentikan bola api raksasa tersebut.

*Black hole* Dari telapak tangan kiri Abbas, muncul sebuah lubang hitam kecil yang terlihat bergejolak seperti sedang dialiri sebuah aliran listrik.

*Stars eater!!* Lubang hitam kecil tersebut membesar seketika dan melahap bola api raksasa yang ada di atasnya.

Untuk sesaat, dari dalam lubang hitam yang sedang melahap bola api raksasa itu, terlihat badai petir yang menyambar dan saling bersautan. Namun hal tersebut hanya berlangsung sekian detik hingga akhirnya lubang hitam tersebut berhasil melahap seluruh bola api raksasa tadi hingga tidak tersisa.

Tidak lama kemudian, lubang hitam tersebut pun lenyap dalam sebuah ledakan keheningan.

"Ayah!" Kedua anak itu berlari menghampiri Abbas yang terjatuh karena kelelahan.

"Pergilah dari sini dan kembalilah ke tempat pengungsian." kata Abbas, berdiri perlahan dan kemudian mencoba untuk membuka sebuah portal dimensi.

Di ruang kosong tepat di hadapan mereka, sebuah portal dimensi tiba-tiba muncul. Namun tidak lama kemudian gerbang portal tersebut menghilang tanpa jejak. Abbas berusaha untuk membuka kembali portal tersebut, namun usahanya selalu gagal karena dia benar-benar kehabisan tenaga.

Tidak lama kemudian, mereka merasakan sebuah getaran bumi yang terasa semakin dahsyat. Abbas menoleh ke arah barat dan tertegun melihat ombak tsunami setinggi lebih dari 50 meter yang kian datang mendekat.

Karena tidak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk menghentikan bencana kedua, Abbas merangkul kedua anak tersebut erat dan melindungi mereka dari terjangan ombak yang datang menghantam.

Setelah melalui masa kritis selama berhari-hari, Shiro akhirnya membuka matanya.

"....."

"Bangun tidur di sebelah gadis blesteran yang sexy. Ini yang aku sebut opening cerita yang bagus." kata Shiro pelan, perlahan mengedipkan matanya.

"Hmm... Dara?! Kenapa dia ada disini? Apa aku masih bermimpi?" kata Shiro dalam hati, baru menyadari jika gadis yang sedang tertidur di sebelahnya adalah Dara.

Shiro beranjak bangun dan menepuk pipinya beberapa kali untuk memastikan jika dia sudah benar-benar bangun. "Ini bukan mimpi. Aku sudah bangun." Ia kemudian menoleh ke samping dan memandangi Dara yang sedang tertidur.

Melihat tubuh sexy Dara, membuat Shiro mulai berpikiran mesum. Tanpa sepatah katapun, dengan perlahan Shiro mencoba untuk menyentuh payudara Dara dan meremasnya.

"Tehee.. Sensasi nyaman apa ini????" teriak Shiro dalam hati, merasa kegirangan. Detak jantungnya pun berdetak dengan sangat cepat hingga membuatnya merasa sangat gugup.

"Aaahhh.." Tiba-tiba Dara mendesah dan sedikit menggeliat, membuat Shiro langsung melepaskan payudara Dara karena terkejut setengah mati.

"Hey, Dara! Aku menemukan singkong di hutan. Shiro pasti akan senang jika..." Akmal berjalan memasuki kamar dan terkejut melihat Shiro yang sudah sadarkan diri.

"ketek kuda..!! Jangan mengagetkanku!! Aku bisa mati terkena serangan jantung!" sentak Shiro dalam hati, terkejut melihat Akmal yang tiba-tiba datang.

"Shiro!! Syukurlah!! Aku sangat cemas. Kau tidak sadarkan diri selama 1 minggu." teriak Akmal, berlari menghampirinya. "Tapi apa yang barusan kau lakukan?" imbuhnya, menatap Shiro dengan pandangan penuh curiga.

"Apa??? Aku pingsan selama satu minggu penuh?!" teriak Shiro, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Karena Suara Akmal dan Shiro terdengar cukup kencang, Dara pun terbangun. "Shiro....kun?" Dara terlihat terkejut melihat Shiro yang sudah sadarkan diri.

"Yo!" sapa Shiro dengan senyuman.

Tanpa sepatah katapun, Dara langsung memeluk Shiro dengan sangat erat. "Syukurlah, aku sangat takut kau tidak kembali." kata Dara, terisak bahagia.

"Maafkan aku karena telah membuat kalian khawatir." kata Shiro, mengelus kepala Dara dengan lembut. "Aku sudah disini. Jadi berhentilah menangis." imbuhnya, mencoba menenangkan Dara yang sedang tersedu.

Perlahan Dara pun melepaskan pelukannya dari Shiro dan mencoba untuk menahan tangis. Ia kemudian memandangi Shiro dan tersenyum manis.

"Hentai!" gumam Akmal dengan raut wajah sinis.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini? Kenapa kita ada di kamar lusuh ini?" tanya Shiro penasaran.

"Setidaknya kamarku jauh lebih bersih dari kamarmu." sahut Akmal, sedikit merasa kesal. "Apa kau sama sekali tidak ingat apa-apa?" tanya Akmal, menyimpan singkong di sudut ruangan.

Sejenak Shiro terdiam, mencoba untuk kembali mengingat-ingat apa yang telah terjadi kepadanya. "Hal terakhir yang aku ingat adalah.. Ibuku."

Suasana menjadi hening seketika ketika Shiro akhirnya mengingat kejadian yang menimpanya.

"Aku akan menjelaskannya kepadamu." kata Akmal, mencoba untuk mencairkan suasana yang terasa canggung.

"Kamu pasti lapar. Aku akan pergi memasak singkong itu untukmu." kata Dara, beranjak dari tempat tidur dan mengambil singkong di sudut ruangan lalu kemudian berjalan ke dapur.

Tidak lama kemudian, Akmal mulai menceritakan apa yang telah terjadi selama Shiro tidak sadarkan diri satu minggu ini.

Beberapa waktu kemudian di makam ibu Shiro yang terletak di sebelah rumah Akmal.

"Jadi seperti itulah... Maafkan aku karena telah memakamkan bibi tanpamu." kata Akmal, memandangi makam ibu Shiro.

"Kenapa kau meminta maaf. Seharusnya aku berterimakasih karena kalian telah merawat ibuku." kata Shiro, termenung memandangi makam ibunya.

"Tentu saja. Aku sudah menganggap bibi sebagai ibuku sendiri. Kau tau itu." jawab Akmal pelan.

"Terimakasih... Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku kehilangan segalanya dan tidak bisa berbuat apa-apa." Shiro menundukkan wajahnya dan menggenggam erat kedua telapak tangannya, berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis.

"Apa yang kau katakan? Bukankah masih ada aku disini? Selain itu, kamu juga masih memiliki orang-orang yang mencintaimu. Dara merawatmu siang dan malam. Dia terus berdoa agar kau dapat cepat pulih dan kembali seperti dulu lagi." kata Akmal, mencoba untuk menyemangati Shiro yang terlihat begitu depresi.

"Kau benar." kata Shiro, mencoba menahan kesedihannya.

Kembali ke dalam rumah...

Dara datang membawa 1 piring singkong bakar dan 2 gelas minuman.

"Shiro-kun, makanlah ini. Kamu harus bisa cepat pulih." kata Dara, menaruh singkong tersebut di atas meja di sebelah tempat tidur.

"Dara.. Kau masih belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Shiro, memandangi Dara yang duduk di sebelahnya.

"Hey, bukankah aku sudah menjelaskan semuanya kepadamu?" sahut Akmal, menyela perkataan Shiro.

"Diamlah! Aku bertanya kepada Dara. Bukan kau." sentak Shiro pelan. "Keluargamu pasti mencarimu. Kau sebaiknya pulang."

Dara terlihat agak terkejut mendengar Shiro yang tiba-tiba menyuruhnya pergi. Akan tetapi dia hanya bisa terdiam tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Shiro! Apa kau tidak bisa sedikit mengerti perasaan Dara?!" Karena kesal, Akmal pun berdiri memarahi Shiro.

"Aku.. Aku tidak tahu. Aku hanya.." Dengan gugup Dara mencoba untuk menyampaikan maksudnya. Namun Shiro menyela perkataannya dengan tegas.

"Kalau begitu pulang lah! Kau tidak perlu lagi repot-repot merawat ku. Sebelum semuanya terlambat, pulanglah!" sentak Shiro, memandangi Dara yang nampak takut akan ucapan tegasnya.

Sementara itu, Akmal yang berusaha untuk menangkap maksud tujuan dari perkataan Shiro hanya terdiam dan terlihat sedikit kesal.

"Dara?! Apa kau mendengarkanku?" tanya Shiro dengan tegas.

Karena terus-terusan didesak oleh Shiro, Dara pun akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Aku hanya ingin selalu berada di sisimu!! Aku memang khawatir dengan keluargaku! Aku juga ingin pulang! Tapi... Tapi tidak tahu kenapa aku merasa jika aku pergi sekarang, aku akan kehilangan kamu selamanya! Dan aku tidak mau itu terjadi.." teriak Dara, menangis mengungkapkan perasaannya.

Sejenak Shiro termenung memandangi Dara. Apa yang dikhawatirkan oleh Dara memang benar. Jika saat ini tidak ada Dara dan Akmal yang sedang bersamanya, Shiro pasti sudah pergi memburu para tentara kerajaan seorang diri. Dan dengan kondisinya yang saat ini, besar kemungkinan ia akan mati.

Shiro beranjak berdiri dan kemudian mengambil beberapa singkong bakar yang tersaji di atas meja. Ia melahap habis singkong-singkong tersebut dan kemudian meminum habis 2 gelas air yang tersaji.

Shiro kemudian memakai mantel dan mengambil pedangnya yang ada di sudut ruangan.

"Mau kemana kau?" tanya Akmal.

"Pergi ke kota. Aku akan menghentikan pemberontakan." jawab Shiro sambil berjalan mengambil pedangnya.

"Dengan kondisi tubuh seperti itu?! Jangan bodoh! Kita ini bukan dokter. Lukamu bisa terbuka kapan saja." kata Akmal, mencoba melarang Shiro untuk pergi.

Shiro berhenti di belakang pintu masuk dan berkata, "Lalu apa aku harus bersembunyi dan menunggu mereka untuk mati? Aku tidak ingin orang yang kucintai merasakan kepedihan sama seperti yang aku rasakan."

Mendengar apa yang dikatakan oleh Shiro membuat Dara terkejut dan seketika berhenti menangis. "Tapi Shiro-kun, kamu baru saja bangun dari koma!" teriak Dara yang terlihat khawatir.

Shiro termenung memandang keluar rumah. Sesaat kemudian ia berkata, "Saat kau jatuh, bangkitlah! Tahan tangismu! Tahan amarahmu! Kuatkan tekadmu! Selamatkan apa yang masih bisa kau selamatkan. Demi apapun yang masih tersisa darimu, berjuanglah! Jangan pernah kau redup. Terangilah dunia yang kelam ini dengan sinarmu!"

Shiro menoleh ke belakang ke arah Dara dan Akmal. "Itu adalah kata-kata yang sering diucapkan oleh orang yang paling aku benci di dunia ini. Aku tidak sudi menuruti perkataannya. Akan tetapi, Dara... Aku tidak ingin melihatmu bersedih."

Dara memandangi Shiro dengan sorot mata yang berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus merasa senang ataupun sedih. Karena jika memang Shiro berniat untuk menghentikan pemberontakan untuknya, sudah dipastikan jika Shiro pasti akan kembali terluka.

"Karena suatu saat nanti, aku ingin meremas gunung itu lagi!" ucap Shiro lirih, terkekeh mesum dan menggenggam erat telapak tangan kanannya.

"Heh...?" Dara terlihat agak bingung melihat Shiro yang tiba-tiba mengubah ekspresi seriusnya menjadi sedikit aneh.

Akmal menghela nafas dan berkata pelan, "Hentai!" Ia kemudian mengambil singkong bakar yang tersisa dan memakannya dengan lahap. "Dara, berdirilah. Aku akan mengantarkanmu pulang." kata Akmal, dengan mulut yang penuh dengan singkong.

"Kenapa kau malah ikut-ikutan pergi?" tanya Shiro.

"Karena aku khawatir jika kau mengantarkan dia pulang seorang diri!" kata Akmal, berjalan keluar melewati Shiro.

"Hah?! Dasar mata empat! Kau meragukan kekuatanku?!" sentak Shiro, merasa jengkel.

"Tidak. Bukan itu. Tapi pelecehan seksual akan terjadi!" kata Akmal, yang mulai berjalan meninggalkan rumah. "Dara ayo berangkat!" seru Akmal, menoleh ke belakang.

"Bodoh!! Jangan buat dia salah paham!" teriak Shiro, berlari mengejar Akmal.

"Apanya yang salah paham?! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Apa aku perlu menunjukkan fotonya kepadamu?" kata Akmal, terus berjalan meninggalkan rumah.

"Eh, kau memotretnya?!! Tidak mungkin. Kau kan tidak punya kamera. Kau pasti berbohong! Benar kan, Akmuaal-chan?!" seru Shiro, mempercepat langkahnya untuk mengejar Akmal.

Dara bergegas memakai mantel dan mulai berlari menyusul mereka. "Tapi aku tidak keberatan kok jika itu Shiro-kun!" seru Dara dengan senyuman.

Karena terkejut mendengar ucapan yang baru saja Dara ucapkan, Shiro dan Akmal pun mendadak berhenti dan menoleh kebelakang.

"Really??" teriak Shiro, kegirangan.

"Dara, apa kepalamu baik-baik saja?" tanya Akmal.

"Iya beneran. Walau aku tidak tahu pasti apa yang sedang kalian bicarakan." Dara terkekeh dan terus berjalan meninggalkan mereka berdua.

"Dara, apa kau serius?!" seru Shiro, berlari mengejar Dara dan masih tidak percaya dengan keberuntungannya.

"Yap! 50% polos dan 50% bodoh." kata Akmal, perlahan melangkahkan kaki menyusul Dara dan Shiro.

Di senja dengan hujan gerimis yang rintik-rintik, tanpa disadari Shiro pun melangkahkan kakinya memulai petualangan panjangnya.

20 September, jam 7 malam. Di balai kota...

Setelah mendapat kabar jika para pemberontak berhasil mengambil alih beberapa desa di kota Kretek, Baron kota Kretek memutuskan untuk mengevakuasi para tuan tanah ke balai kota yang di jaga ketat oleh pasukan polisi.

Walaupun sang Baron mengetahui tempat persembunyian dari para pemberontak, namun ia lebih memilih untuk mempertahankan ibukota daripada harus mengirim pasukan untuk membasmi mereka. Ia juga menolak usul dari para kapten tentara kerajaan yang memintanya untuk menyerahkan kasus pemberontakan yang terjadi dengan maksud untuk melindungi rakyatnya.

Di ruangan tengah balai kota. Beberapa orang sedang melakukan musyawarah.

"Sudah 3 hari para pemberontak tidak menunjukkan pergerakan. Apa yang harus kita lakukan?" ucap tuan tanah desa Sumber.

"Kita harus merebut kembali balai desa!!" teriak tuan tanah desa Dawe.

"Tuan-tuan, tenanglah." Seorang polisi mencoba menenangkan mereka.

"Bagaimana kami bisa tenang?! Para berandalan kampung sedang berkeliaran di kediaman kami dan menghabiskan makanan kami!!" sentak tuan tanah desa Salam.

"Kalian polisi yang payah. Lakukanlah sesuatu!!" sahut tuan tanah desa Prambatan.

Saat suasana menjadi ricuh, tiba-tiba datang seseorang yang berjalan memasuki ruangan.

"Diamlah, orang-orang tua payah!! Tuan Baron juga belum menemukan anak semata wayangnya! Lakukan musyawarah dengan tenang!" kata seorang kepala polisi, yang kemudian berjalan memasuki ruangan sebelah.

"Tuan, para kapten tentara kerajaan datang lagi. Apa yang harus saya lakukan?" tanya sang kepala polisi kepada sang Baron yang terlihat sedang duduk menghadap ke jendela. "Apa kita harus menyerahkan masalah pemberontakan ini kepada mereka?" imbuhnya, sedikit ragu.

Sang Baron tidak menjawab pertanyaan sang kepala polisi dan hanya termenung memandangi keluar jendela.

.

.

Sementara itu di suatu jalanan di tengah persawahan, terlihat Shiro, Dara dan Akmal yang sedang berjalan menuju ke kota.

"Dapat dari mana kau senapan itu?" kata Shiro, bertanya kepada Akmal yang sedari tadi sibuk mengotak-atik senapan.

"Halaman belakang rumahmu. Aku menemukannya saat sedang memeriksa keadaan. Kupikir bisa berguna jadi aku mengambilnya." jawab Akmal, masih sibuk mengotak-atik senapan yang ia pegang.

"Lalu... Apa kau tau bagaimana cara menggunakannya?" kata Shiro, agak cuek.

"Tentu saja. Kemarin aku berlatih menembak dengan berburu babi di hutan." jawab Akmal, dengan sigap menodongkan senapannya ke depan.

"Kau memberi makan Dara dengan daging babi hutan??!" sentak Shiro, menoleh ke arah Akmal.

"Tentu saja tidak! Aku hanya berlatih menembak." kata Akmal, dengan tegas.

"Ehm, kalau begitu tidak masalah." Shiro menoleh ke arah Dara dan berkata, "Nah, Dara.. Kenapa kau tidak bersama Cindy?"

"Uhm, saat kekacauan mulai terjadi, Cindy-chan langsung pulang untuk menghubungi ayahnya. Dia memintaku untuk mencari kalian, dan kebetulan aku menemukan kalian di tangga." jawab Dara.

"Kalau begitu baguslah. Dia akan aman di rumahnya." kata Shiro, lega.

"Sebenarnya.. Dia memintaku untuk mencari kalian agar kita bisa segera pergi ke rumahnya." sahut Dara, merasa bersalah karena tidak memberitahu mereka lebih cepat.

"Jadi kemungkinan besar dia kembali ke sekolah untuk mencari kita?!" sahut Shiro, merasa sedikit kesal akan sifat Cindy yang sudah dapat ia tebak.

"Benar." jawab Dara lirih, merasa khawatir dengan keadaan Cindy.

"Tenang saja. Cindy pasti akan baik-baik saja. Kita akan mencarinya." ucap Akmal, menepuk pundak Dara. "Kalau dia memang kembali ke sekolah, maka aku yakin jika saat ini dia pasti masih ada di sana. Karena lingkungan sekolah memiliki bangunan-bangunan terbesar di kota, dan disana juga terdapat banyak fasilitas untuk bertahan." imbuhnya, menjelaskan.

"Kalau begitu kita pergi ke sekolah terlebih dahulu untuk mencari sang putri yang hilang." kata Shiro, memberikan solusi.

"Menurutku, kalian berdua terlihat begitu akrab dengan Cindy-chan." kata Dara, kembali membuka pembicaraan.

"Tentu saja. Kita sudah berteman sejak kecil. Lagipula ayahnya sibuk karena pekerjaan dan membuatnya jarang sekali pulang ke rumah. Jadi dia sering pergi ke rumah Shiro dan menghabiskan waktunya bermain bersama kita." jawab Akmal. "Walau sebenarnya dia datang hanya karena ingin bertemu dengan kakak Shiro." imbuhnya, sedikit tertawa.

"Eeeh... Cindy-chan juga pernah merasakan indahnya jatuh cinta yaa?" kata Dara, sedikit terkagum. "Tapi kalau tidak salah, dia pernah bilang kepadaku jika ayahnya bekerja untuk negara."

"Iya, kau benar. Ayahnya adalah orang yang sangat hebat." jawab Akmal, menunjukkan ekspresi wajah kagum. "Tapi apa kau tau jika Cindy juga pernah hampir jadi adik tiri Shiro loh!" bisik Akmal.

"Heh, benarkah?? Bagaimana bisa?!" tanya Dara, terlihat sangat penasaran.

"Ayah Cindy pernah ingin menikahi bibi, tapi bibi menolaknya karena bibi tidak ingin Cindy menjadi saudara tiri Shiro." jawab Akmal, mencoba untuk menahan tawa.

"Kenapa??" tanya Dara, semakin penasaran dengan cerita Akmal.

"Karena bibi tahu jika Shiro menyukai Cindy!" kata Akmal, tertawa terbahak-bahak.

Shiro yang sedari tadi hanya terdiam dan terus berjalan tiba-tiba menendang bokong Akmal dari belakang dan berkata, "Jangan menceritakan hal-hal bodoh kepadanya!"

"Ehh, jadi itu benar, Shiro-kun?" kata Dara, menoleh kearah Shiro.

"Tentu saja benar. Aku tidak mungkin berbohong! Tapi Cindy lebih menyukai kakaknya dari pada Shiro. Kasihan sekali dia. Hahahaha." seru Akmal, terkekeh keras.

"Eehh.. Triangle love, kah? Indah sekali." kata Dara, memandangi Shiro dengan wajah cemburu.

Shiro yang tidak tahu harus berkata apa saat melihat Dara yang sedang cemberut pun berlari mengejar Akmal dan berteriak, "Mata empat, kubunuh kau!!"

"Dara, selamatkan aku!!" teriak Akmal, berlari menjauh dari kejaran Shiro.

.

.

Sementara itu di desa Sumber. Sekelompok misterius yang mengenakan jubah hitam dan topeng iblis terlihat sedang mencari sesuatu.

"Aku tidak dapat menemukan pedang itu." kata Veho, berjalan keluar dari rumah Shiro.

"Tentu saja. Apa kau tidak melihat api ini? Seseorang pasti telah mengambilnya." kata Shimo, duduk santai di tanah.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi disini?" kata Veho, mencoba menginjak abu para tentara yang masih terbakar api.

"Ey, jangan sentuh abu yang terbakar itu! Api itu tidak bisa padam dan akan membakarmu hingga mati." seru Marie.

"Jin-san, kita terlambat. Pedang itu pun sudah tidak ada lagi disini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" kata Barg, berjalan menghampiri Jin.

"Persiapkan diri kalian untuk mati. Karena komandan pasti akan membunuh kita." kata Jin, berdiri di hadapan hutan yang habis terbakar, namun kobaran apinya masih terus membara membakar tanah.

.

Beberapa waktu kemudian, Shiro dan yang lainnya sudah sampai di depan gerbang sekolah. Suasana di wilayah sekitar yang sangat gelap dan sunyi membuat mereka penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Sunyi sekali. Aku bahkan bisa mendengar suara tikus yang berdecit di dalam got tepi jalan." kata Akmal.

"Apa-apaan ini? Tidak ada bedanya dengan di desa. Apa pemerintah sudah semiskin Akmal hingga tidak mampu membayar tagihan listrik?" kata Shiro, berdiri di tengah jalan raya dan melihat ke sekitar.

"Apa kau lupa jika kau itu juga miskin?" sahut Akmal, sedikit kesal.

"Lihat itu! Ada cahaya di lantai 2!" seru Dara, menunjuk bangunan yang di maksud.

Akmal melihat bangunan tersebut dan berkata, "Kalau tidak salah, tempat itu adalah...."

"Kantin!!" seru Shiro, kegirangan. "Ayo kita ke sana." kata Shiro, bergegas berlari menuju ke bangunan tersebut.

"Hey, tunggu aku!" teriak Akmal, berlari menyusul Shiro.

Sejenak Dara melihat ke arah barat. Ia termenung dan terlihat cemas. Hingga tidak lama kemudian ia pun mulai berlari menyusul Shiro dan Akmal yang terlihat sudah memasuki gerbang sekolah.

Di perjalanan menuju ke kantin, Shiro melihat ke halaman sekolah dari lantai ke dua. Ia melihat beberapa mayat yang tergeletak di beberapa tempat. Namun ia terus berjalan tanpa mengatakan sepatah katapun, takut jika hal tersebut dapat membuat Dara merasa semakin khawatir.

Setibanya di depan kantin, tanpa pikir panjang Shiro langsung membuka pintu masuk dan berjalan masuk. Namun... Baru satu langkah Shiro berjalan masuk, ia tiba-tiba dihajar habis-habisan oleh orang-orang yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu kantin.

"Shiro!!" teriak Akmal yang masih berdiri di luar kantin. Panik melihat Shiro dihajar habis-habisan, ia pun mengacungkan senjatanya dan bersiap untuk menembak.

"Shiro?? Suara itu... Tunggu dulu, hentikan!!" teriak Cindy, bergegas berlari menuju pintu masuk.

Orang-orang yang menghajar Shiro berhenti seketika dan mencoba untuk memperhatikan orang yang telah mereka hajar hingga terkapar di lantai. "Shi... Shiro?!!" seru orang-orang tersebut, terkejut melihat orang yang mereka hajar ternyata adalah Shiro.

"Heeeehh???!!" seru Cindy, terkejut melihat Shiro tergeletak di lantai. "Kalian bodoh sekali! Kenapa kalian tidak memastikan orang yang akan kalian hajar terlebih dahulu." imbuhnya, memarahi orang-orang yang telah menghajar Shiro.

"Apa yang kalian lakukan?!! Aku hampir saja menembak kalian!!" teriak Akmal, menurunkan senjatanya.

Shiro mencoba untuk berdiri perlahan seraya berkata, "Keparat sialan! Jadi ternyata kalian bisa memukul dengan benar, hah?" Shiro tersenyum bengis dan memegang pundak salah satu orang yang telah menghajarnya, membuat orang tersebut ketakutan setengah mati. Namun tidak lama kemudian, Shiro tiba-tiba roboh dan langsung pingsan.

"Shiro-kun!!" teriak Dara dari luar kantin.

"Dara?? Kau baik-baik saja? Syukurlah!!" Cindy terkejut melihat Dara yang sedang berdiri di balik tembok. Ia pun bergegas menghampiri Dara dan langsung memeluknya.

"Cindy-chan, aku baik-baik saja! Tapi Shiro-kun... Dia sedang terluka parah. Lihatlah!" seru Dara, terlihat sangat cemas.

Cindy melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah Shiro yang sedang terkapar di lantai. Ia terlihat sangat terkejut melihat ada darah menggenangi tubuh Shiro. "Hheeeee??!! Bagaimana dia bisa mendapatkan luka separah itu?!!"

"Ayo cepat obati dia!" teriak Akmal, mencoba untuk mengangkat tubuh Shiro.

Beberapa waktu kemudian.

"Kalian kemana saja? Aku sangat khawatir. Disaat kerusuhan seperti ini, kalian menghilang begitu saja. Lalu apa yang telah terjadi? Bagaimana Shiro bisa sampai cidera separah ini??" tanya Cindy, merasa sangat kebingungan.

Akmal mulai menceritakan apa yang mereka alami selama 1 minggu terakhir. Sedangkan Dara dan beberapa siswi lainnya mengobati luka Shiro yang sedikit terbuka akibat kesalahpahaman tadi.

"Jadi seperti itulah. Setelah itu, kami memutuskan untuk mencarimu dan kemudian pergi kerumah Dara." tutur Akmal, menjelaskan apa yang telah terjadi.

"Aku... Aku tidak tahu harus bilang apa saat dia bangun nanti. Hal ini pasti sangat berat baginya." Kata Cindy, sangat sedih memandangi Shiro.

"Untuk saat ini, aku rasa kita perlu fokus untuk masalah yang sedang terjadi. Cindy, berapa banyak orang yang ada di lingkungan sekolah?" tanya Akmal, mengalihkan pembicaraan agar Cindy tidak terlarut dalam kesedihan.

"Kalau di gedung ini, ada sekitar 100 orang perempuan dan 30 orang laki-laki. Tapi masih ada banyak orang lain di bangunan lainnya. Mereka tidak berani keluar karena para tentara sering datang kesini." jawab Cindy.

"Kenapa para tentara datang kesini?" sahut Dara penasaran, menaruh handuk basah di dahi Shiro.

"Saat pertama kali mereka datang, mereka hanya mencari sesuatu untuk dimakan. Tapi lama-lama, mereka mulai menculik para gadis-gadis dan di bawa entah kemana." jawab Cindy menjelaskan.

"Dan.... Tidak ada seorangpun yang melawan?" Tanya Akmal.

"Mereka membawa pedang dan senapan!! Kau pikir ada yang berani melawan mereka?!" Cindy terlihat sangat kesal mendengar pertanyaan Akmal tersebut.

"Hey, tenanglah. Aku hanya bertanya." kata Akmal, mencoba menenangkan Cindy.

"Beberapa pria yang tidak rela pacarnya diculik mencoba untuk melawan. Tapi mereka semua mati terbunuh. Apa kau tidak lihat, ada banyak mayat di bawah sana?" kata Cindy, menjelaskan dengan lebih tenang.

"Di luar sana gelap gulita. Tapi memang benar, saat melewati halaman depan, aku mencium bau busuk yang sangat menyengat." kata Akmal, memegang dagunya.

"Kalian pasti telah mengalami hari yang sangat berat." sahut Shiro, mencoba untuk berdiri.

"Shiro... Kau sudah sadar. Syukurlah!" kata Cindy, merasa lega melihat Shiro yang sudah sadarkan diri.

"Shiro-kun, sebaiknya kamu jangan terlalu banyak bergerak. Aku khawatir lukamu akan kembali terbuka lagi." kata Dara, membantu Shiro untuk bangun.

"Tidak apa, aku sudah agak mendingan sekarang." kata Shiro, tersenyum ke Dara. "Cindy.. Maafkan aku.. Aku tidak bisa menyelamatkanmu dari keganasan para pria mesum itu." kata Shiro, menatap Cindy dengan sorot mata sedih.

"Yang di culik bukan aku, dasar mesum!!" Cindy melempar kotak tisu yang ada disampingnya ke arah Shiro. "Tapi aku sangat senang. Kau datang untuk mencari ku." imbuhnya, tersenyum manis.

"Senyumanmu menakutkan, hentikan!" Shiro melihat Cindy dan berlagak ketakutan.

"Errghh... Kubunuh kau, dasar bodoh!" kata Cindy, kesal. Dia mengambil sapu dan bergegas menghampiri Shiro. "Aku sangat menyesal telah mengkhawatirkan orang menyebalkan sepertimu!"

"Cindy! Tenanglah!" seru Akmal, menahan kedua bahu Cindy dari depan.

"Nah, wajah itu lebih cocok untukmu." kata Shiro, meledek Cindy sambil bersembunyi di belakang bahu Dara.

Melihat tingkah mereka berdua yang memang tidak pernah bisa akur, Dara pun hanya bisa terkekeh kecil.

Saat keadaan sudah sedikit tenang, Akmal pun melepaskan tangannya dari bahu Cindy.

"Dari dulu kau sama sekali tidak pernah berubah. Itulah sebabnya aku membencimu. Kau selalu saja menanggung semuanya sendirian, seperti tidak ada orang lain yang mau peduli kepadamu." kata Cindy, berjalan mengambil minum. Sesaat setelah selesai minum, Cindy kembali berkata, "Aku hanya ingin kau mengerti jika kau itu tidak sendirian. Kau masih punya teman yang akan membantu menanggung beban-bebanmu itu. Jadi berhentilah bersikap egois!"

Karena tidak tahu harus berkata apa, Shiro pun hanya bisa menunduk dan terdiam mendengarkan perkataan Cindy. Hingga akhirnya suara gemerisik siaran radio mulai terdengar dan mengalihkan perhatian semua orang.

*Zzzrrrttttt.....*

"Selamat malam saudara-saudaraku warga kota kretek. Bahan makanan dan obat-obatan di camp pengungsian sudah habis. Anak-anak kelaparan dan mulai terjangkit penyakit. Kita tidak bisa menunggu lagi."

*Zzzrrrttttt.....*

"Maka dari itu, tengah malam nanti, kami akan melancarkan serangan terakhir. Kami akan mengambil alih balai kota dan merebut kembali kebebasan kita."

*Zzzrrrttttt.....*

"Kami mohon bagi siapapun yang mendengarkan siaran ini.. Bergabunglah dengan kami! Mari kita sama-sama merebut kembali kebebasan kita."

"Pada pukul 11 malam nanti, Zzzzrtt... 3000 warga... Zzzzrrrtttt.. Balai kota.. Zrrrttt... Kita berjuang bersama-sama.....Zrrrttttttt." Siaran radio tersebut terdengar putus-putus dan akhirnya berakhir.

"Bukankah itu tadi suara Mike-san?" kata Akmal.

"Apa yang sedang dipikirkan oleh Mike? Seorang anak kepala polisi malah memimpin pemberontakan! Apa dia sudah kehilangan akal sehatnya?!" kata Cindy, merasa sangat kesal.

"Cindy!" seru Akmal, menegur Cindy.

"Ehm, Dara, maafkan aku. Aku tidak bermaksut untuk...." Cindy terlihat menyesal telah mengungkapkan kekesalannya tanpa memikirkan Dara yang terlihat sangat cemas.

Sedangkan Shiro yang sedari tadi memandangi Dara yang terlihat sangat gelisah pun mulai beranjak berdiri dan berkata, "Dara... Jangan khawatir. Bukankah aku sudah berjanji kepadamu kalau aku akan menghentikan mereka?"

Mendengar orang yang ia sayangi mencoba untuk menenangkan hatinya, Dara pun tersenyum tipis memandangi Shiro.

"Apakah ada mesin penyiar di sekolah ini?" tanya Shiro kepada seluruh orang yang berada di dalam kantin.

"Di laboratorium teknologi di lantai 3 bangunan ini, ada mesin penyiar." jawab seorang wanita yang berdiri di belakang meja.

"Tapi generatornya rusak. Kami sudah memeriksanya beberapa hari yang lalu." sahut seorang pria di sebelah wanita tadi.

"Akmal, apa kau bisa memperbaikinya?" tanya Shiro kepada Akmal.

"Aku akan mencobanya." kata Akmal sambil berdiri.

Tiba-tiba, seseorang berlari dengan mengendap-endap memasuki ruangan kantin. Ia nampak panik dan berteriak pelan, "Gawat! Para tentara datang lagi!"

Mendengar kabar dari pria tersebut, Shiro meminta Akmal untuk bergegas melakukan tugasnya. "Cepatlah pergi!"

"Baiklah!" Dengan mengendap-endap, Akmal bergegas berlari keluar ruangan.

"Matikan lilinnya dan cepatlah pergi sembunyi!" kata seseorang di samping Jendela.

"Kalau begitu aku akan pergi membantu Akmal!" kata Dara, beranjak berdiri.

"Dara, apa kau baik-baik saja?" tanya Cindy, khawatir.

"Selamatkanlah apa yang masih bisa kamu selamatkan. Demi apapun yang masih tersisa darimu, berjuanglah!" kata Dara dengan senyuman, yang kemudian bergegas berlari keluar dengan mengendap-endap.

Cindy hanya terdiam memandangi Dara pergi meninggalkan ruangan. Ia sedikit heran dengan sifat Dara yang tidak seperti biasanya. "Apa yang sebenarnya telah terjadi 1 minggu terakhir ini?" kata Cindy, melihat Shiro.

"Well, kita berdua tidur satu ranjang, dan dengan tidak sengaja aku meremas payudaranya. Empuk sekali, seperti agar-agar." kata Shiro dengan raut wajah datar.

Cindy yang tidak mempercayai perkataan Shiro pun menghela nafas dan berkata, "Aku masih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Dara bisa menyukai orang mesum sepertimu."

Dari gedung depan, suara teriakan seorang gadis memecahkan keheningan. Mendengar suara teriakan tersebut, Shiro pun berjalan keluar ke tepi balkon untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Shiro, apa yang kau lakukan? Cepatlah sembunyi!" Kata Cindy, menarik lengan Shiro.

Di halaman depan sekolah, terlihat beberapa gadis yang sedang di seret oleh para tentara.

"Kyaaaa!!" Para gadis itu berteriak histeris, mencoba untuk melepaskan diri dari para tentara yang menangkap mereka.

"Tolong lepaskan adikku!" teriak seorang laki-laki yang tiba-tiba berlari keluar dari dalam gedung.

Tanpa banyak basa-basi, salah seorang tentara yang melihat pria tersebut berlari mengejar mereka pun menembaknya tepat di bahu kanannya.

Pria tersebut tumbang dan meronta kesakitan. Namun dia masih belum menyerah untuk dapat menyelamatkan adiknya. "Aku mohon! Lepaskan adikku!!" teriak pria tersebut, merangkak di tanah.

"Cih! Menyebalkan sekali!" Salah seorang tentara lain yang merasa kesal menembak pria tersebut tepat di kepalanya, membuatnya mati seketika.

"Tidak!!! Kakak!!!" Salah satu gadis yang diculik oleh para tentara menangis histeris melihat kakaknya mati tepat di hadapan matanya.

Sementara itu, Shiro yang melihat kejadian itu dari balik dinding balkon terlihat sangat kesal dengan tindakan para tentara yang sewena-wena. Ia kemudian berjalan memasuki ruangan kantin dan berkata, "Apa kalian akan membiarkan mereka diculik oleh para tentara begitu saja?!"

"Tentu saja. Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka." kata salah seorang laki-laki yang bersembunyi di belakang meja.

"Bagaimana kalian tahu? Apa kalian pernah mencobanya?" Shiro bertanya kepada pria tersebut.

"Tapi Shiro, mereka membawa senjata. Kita tidak akan bisa berkutik melawan mereka." kata seorang pria yang berdiri di hadapannya.

==================

Name : Amer Kip

Birthday : Kota Kretek, 2 April 1992

==================

"Shiro, aku mohon. Kau sedang terluka parah. Ayo kita sembunyi saja." kata Cindy, menarik lengannya dan mencoba untuk membujuk Shiro.

"Jumlah kalian jauh lebih banyak dari pada mereka. Jika kalian takut hanya karena mereka membawa senjata, bukankah disini ada banyak senjata yang bisa kita gunakan?!" kata Shiro membentangkan tangannya. "Jika kalian tidak mau menolong orang lain saat mereka membutuhkan bantuan, bagaimana jika kalian berada di posisi mereka? Apa kalian juga akan mengharapkan bantuan dari orang lain?!" tegas Shiro, mencoba untuk menyakinkan para siswa untuk bertindak. "Aku memang orang yang sangat egois yang tidak peduli dengan orang lain. Akan tetapi aku masih seorang manusia yang tidak sanggup melihat orang lain menderita di hadapanku!" Shiro mengambil pedangnya dan kemudian berjalan keluar ruangan.

"Shiro... Kenapa kau menyebalkan sekali." Cindy mengambil nafas dalam-dalam dan menghela nafas. "Teman-teman, ayo kita bantu mereka!" kata Cindy, mencoba untuk membujuk para siswa yang ada di kantin.

"Apa kau sudah gila?!" teriak salah seorang laki-laki yang ada di pojok ruangan.

"Mungkin. Tapi setidaknya, aku tidak mau hanya menunggu giliranku untuk diculik tanpa berbuat apapun." kata Cindy, yang kemudian berjalan keluar kantin.

Melihat keberanian Cindy dan Shiro, Amer pun tergugah hatinya untuk membantu mereka. Dengan santai, dia berjalan keluar meninggalkan kantin seraya berkata, "Kalau kalian takut, sembunyilah! Akan tetapi jika kami mati.. Jangan pernah harap akan ada orang yang akan menolong kalian di saat giliran kalian datang nanti."

"Cih! Apa-apaan si Amer sialan! Berlagak sok keren!!" kata seorang pria, merasa terhina.

"Bahkan si mata empat yang sering kita bully setiap hari pun tidak terlihat takut dengan para tentara." kata pria lain, menundukkan wajahnya karena malu. Seketika ruangan kantin terasa sangat hening. Mereka terdiam dan menundukkan wajah mereka karena rasa malu.

Sedangkan di sudut pojok lorong lantai 2, Shiro berdiri di tepi balkon, bingung memikirkan cara untuk melawan para tentara. Tidak lama kemudian Cindy dan Amer datang menghampirinya.

"Lalu... Apa yang harus kami lakukan?" tanya Cindy, berjalan menghampiri Shiro.

"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya Shiro.

"Aku terbawa suasana dan terlanjur mengatakan hal keren kepada mereka. Hehehe." kata Amer, menggaruk-garuk kepalanya dan sedikit terkekeh.

Cindy menghela nafas, kemudian membuang muka ke samping dan berkata, "Tidak ada pilihan lain. Aku tidak mau lagi merasakan kepedihan yang aku rasakan 10 tahun yang lalu."

Shiro tersenyum tipis dan berkata, "Maafkan aku, karena telah membuat kalian harus membantu menuruti egoku."

"Iya, iya.. Jika semua ini sudah berakhir, pastikan saat ulang tahunku datang nanti, kau memberiku kado ulang tahun yang lebih wajar dari biasanya." kata Cindy, tersenyum memandangi Shiro.

"Aku akan coba untuk mengingatnya." jawab Shiro, tersenyum. "Sekarang, aku ingin kalian membantuku mengangkat kursi dan meja dari ruangan kelas menuju kesini." imbuhnya, berjalan menuju ke tangga.

Disaat Shiro sedang menjelaskan rencananya kepada Amer dan Cindy, tiba-tiba datang rombongan siswa yang membawa berbagai jenis senjata, mulai dari pisau, sapu, balok kayu potongan kursi dan sebagainya.

"Biarkan kami ikut mendengar rencanamu itu." kata salah satu orang di rombongan tersebut.

Shiro, Cindy dan Amer yang merasa senang akan kedatangan mereka hanya dapat tersenyum. Dan tanpa membuang waktu lagi, Shiro kembali menerangkan rencananya kepada mereka.

"Mereka mempunyai senjata api. Walaupun kita unggul dalam jumlah, kita tidak bisa menyerang mereka secara terang-terangan seperti yang Genzie dan kawan-kawannya sering lakukan. Aku ingin mengurangi jumlah korban di pihak kita. Maka dari itu, aku ingin kalian memblokade tangga ini untuk mengulur waktu." kata Shiro, menjelaskan rencana pertamanya.

"Tapi bukankah kita akan membuang keunggulan kita dalam jumlah jika bertarung di lorong sempit seperti ini?" kata Amer, terlihat kurang paham dengan rencana Shiro.

"Mungkin, tapi setidaknya mereka tidak akan bisa menggunakan senjata api disini." kata Shiro.

"Apa maksudmu?" kata pria yang berdiri di depannya.

"Bawa semua tabung gas yang ada di kantin dan tempatkan di seluruh lorong kelas. Setelah itu, buka tutup tabungnya. Dengan begitu mereka tidak akan berani menggunakan senjata api dan terpaksa hanya menggunakan pedang untuk melawan kita." kata Shiro.

"Aku mengerti. Tapi walaupun mereka hanya menggunakan pedang, tidak merubah kenyataan bahwa mereka masih lebih unggul dibandingkan dengan kita yang hanya menggunakan alat-alat kebersihan." kata Amer.

Mendengar pertanyaan Amer yang terdengar agak lucu, Shiro tersenyum dan berkata, "Aku tahu itu. Serahkan saja sisanya kepadaku. Cepatlah pergi!"

Dengan begitu, mereka semua menyebar untuk melakukan rencana tersebut. Para siswa pria maupun wanita bergotong royong memindahkan bangku dan kursi dari dalam kelas ke tangga yang menjadi penghubung lantai pertama dan kedua.

Sementara itu, Cindy yang masih berdiri di hadapan Shiro bertanya kepadanya, "Apa sebenarnya rencanamu? Aku tidak ingin kau memaksakan dirimu."

Shiro menepuk kepala Cindy dan tersenyum. "Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan kalian bersedih meratapi kematianku." kata Shiro yang kemudian berjalan menuju ke tepi balkon untuk melihat pergerakan para tentara.

(Flashback)

10 tahun yang lalu setelah pemakaman saudara Shiro. Terlihat Cindy dan Akmal yang sedang menangis di pemakaman.

Tidak lama kemudian, Shiro yang baru saja sadarkan diri datang menghampiri mereka dan berkata, "Hey, berhentilah menangis! Bukankah kita masih ada disini?! Kita akan terus berlatih dan menjadi lebih kuat! Apapun yang terjadi, kita akan melindungi kalian berdua! Dan kita tidak akan pernah membiarkan kalian menangis lagi karena kehilangan orang yang kita sayangi!" seru Shiro, mencoba menyemangati mereka berdua.

"Janji?" kata Cindy, tersedu dan mencoba menahan tangis.

"Tentu saja, kita berjanji!" seru Shiro, menepuk kepala Cindy sambil tersenyum.

Sekilas, Cindy seperti melihat sosok saudara Shiro di dirinya. Ia pun tersenyum dan dengan penuh semangat berkata, "Kalau begitu jangan kecewakan aku, karena kau sudah berjanji!"

Teringat kenangan yang terjadi di masa lalu, Cindy pun tersenyum memandangi Shiro berjalan menjauh.

Beberapa waktu kemudian, para tentara keluar dari gedung yang berbeda dan terlihat membawa beberapa gadis lagi. Merasa jika sudah cukup mendapatkan gadis baru untuk pasukan mereka, para tentara berencana untuk menyudahi operasi kali ini dan kembali ke markas.

"Cepatlah! Aku akan menarik perhatian mereka!" kata Shiro, panik melihat para tentara yang sudah ingin pergi.

"Sebentar! Kami belum melepaskan tutup tabung-tabung gasnya." kata Amer sambil berlari menuju ke lorong kelas.

Melihat para tentara yang bersiap untuk pergi, Shiro bergegas menarik kursi yang ada disampingnya dan melemparkannya ke bawah.

*Brrruuaaaakk* Suara kursi yang menghantam tanah.

Para tentara yang sudah memasuki kendaraan mereka terkejut dengan suara tersebut.

"Apa itu tadi?!" kata salah seorang tentara.

"Sersan! Aku melihat ada orang di bangunan itu!" teriak salah seorang tentara, menyoroti bangunan yang ia maksudkan.

"Yo, para tikus kecil! Datanglah kesini dan akan ku hajar kalian semua!" seru Shiro, memancing para tentara untuk menangkapnya.

"Sersan, apakah kita perlu memanen mereka?" tanya seorang kopral.

"Merepotkan sekali. Kita tidak sedang menjalani misi untuk membantu MEREKA. Bunuh mereka semua!!" kata sang sersan, memberikan komando kepada kelompok pertama untuk menggrebek gedung tersebut.

Sementara itu, Shiro yang merasa telah berhasil memancing sebagian dari para tentara tersebut pun mulai mempersiapkan rencana mereka.

"Suruh para gadis bersembunyi di lantai 3, dan kemudian kalian bersembunyilah di ruangan yang berbeda-beda. Aku akan memancing mereka menuju ke ujung lorong. Saat aku memberikan aba-aba, keluarlah kalian untuk menyergap mereka." kata Shiro, memberikan intruksi.

Sesaat kemudian mereka mulai berpencar untuk melaksanakan rencana. Namun saat Shiro hendak bersiap menuju ke posisinya, ia terkejut melihat Amer yang masih diam di tempat tepat di belakangnya.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Shiro.

"Aku tidak pandai bertarung, tapi aku akan membantumu memancing mereka." kata Amer, menatap tajam mata Shiro.

"Terserah kau saja. Asal kau tidak mati sia-sia." kata Shiro, yang kemudian berjalan menuju ke tangga.

Beberapa saat kemudian, mulai terdengar suara berisik para tentara yang sedang membersihkan kursi yang memblokade tangga.

"Hey keriting, menurutmu berapa banyak jumlah mereka?" tanya Shiro kepada Amer.

"Keriting? Namaku Amer. Kau bahkan tidak mengetahui nama teman sekelasmu sendiri!" kata Amer, sedikit jengkel. "Aku melihat ada 4 mobil truk dan aku rasa jumlah mereka ada sekitar 20an, mungkin lebih. Sedangkan jumlah kita adalah 31 orang, termasuk kau dan aku." imbuhnya.

"Baiklah. Sepertinya mereka hampir selesai." kata Shiro, berdiri di depan tangga untuk menyambut para tentara.

Sambil mencabut pedangnya Shiro berkata, "Jangan sampai kau mati konyol." Shiro kemudian melemparkan sarung pedangnya ke Amer dan berkata, "Gunakan itu untuk memukul mereka."

"Wow! Ini berat sekali. Apa benda ini terbuat dari baja?!" keluh Amer yang tadinya kesulitan untuk menangkap sarung pedang tersebut.

Para tentara yang berhasil naik ke lantai dua tertawa melihat Shiro dan Amer yang sudah menanti kedatangan mereka di muka tangga.

"Lihatlah, bocah-bocah bodoh ini telah menyambut kedatangan kita. Bwahaha.." kata salah satu tentara, menertawakan Amer dan Shiro.

Shiro mengorek lubang telinganya dan sama sekali tidak memperdulikan perkataan dari para tentara tersebut.

Mereka berhenti tertawa seketika saat salah seorang tentara mulai menyadari ada yang tidak beres dengan udara yang ia hirup. "Bau apa ini?!" seru salah satu tentara yang terlebih dahulu mencium bau gas yang telah Shiro dan teman-temannya siapkan.

"Sialan, ini adalah bau gas!" kata tentara lainnya, menutup hidungnya.

"Akhirnya kalian menyadarinya juga. Jika kalian tidak ingin menjadi singkong bakar, maka buanglah senjata kalian!" kata Shiro, mengancam para tentara.

"Jangan sombong kau, bocah sialan!!" sentak salah seorang tentara, mencabut pedangnya dan menyerang Shiro.

Shiro mampu dengan mudah menangkis serangan tentara tersebut dengan pedangnya. Namun seketika ia termenung sejenak seperti menyadari akan sesuatu.

"Nah, Shiro-kun, Shiro-kun.. Setelah kupikir-pikir, bukankah gesekan antara dua pedang juga bisa menimbulkan percikan api?" kata Amer, terlihat sedikit panik.

"Ehm.. Yah, sebenarnya aku juga memikirkan hal yang sama barusan." kata Shiro, juga merasa panik.

Mendengar percakapan mereka berdua, prajurit yang menyerang Shiro pun ikut merasa panik.

Melihat kelengahan sesaat dari para tentara, Shiro menendang tentara yang menyerangnya sehingga jatuh menimpa tentara-tentara lain yang masih berdiri di tangga.

"Kabur!!!" teriak Shiro, bergegas berlari meninggalkan tempat tersebut.

"Oi!! Tunggu aku!!" teriak Amer, bergegas berlari menyusul Shiro.

"Sial! Bunuh mereka!" teriak salah seorang prajurit, mencoba untuk berdiri. "Tapi jangan sampai menimbulkan percikan api!" imbuhnya, mulai berlari mengejar Shiro.

Sesaat Shiro dan Amer hampir sampai di ujung lorong kelas, mereka tiba-tiba berhenti berlari dan berbalik arah.

"Sekarang!!" Shiro berteriak memberikan aba-aba, dan kemudian berlari menebas 2 tentara yang ada di barisan paling depan.

Para murid yang sedari tadi bersembunyi di dalam ruangan-ruangan kelas berbondongan keluar dan mengeroyok para tentara yang ada di lorong. Sedangkan para tentara yang tidak menyangka akan ada kelompok siswa yang menyergap mereka dari dalam ruangan-ruangan kelas pun kewalahan menghadapi serangan dadakan tersebut.

Dengan cukup mudah Shiro dan siswa lainnya melumpuhkan ke 13 tentara yang menyerang mereka. Tidak ada korban jiwa di kedua belah pihak. Namun terdapat 2 tentara dan 8 siswa yang terluka parah karena tebasan pedang.

"Cepat, ambil senjata mereka!" kata Amer, menahan salah satu tentara dengan kakinya.

Shiro menendang wajah seorang tentara yang mencoba untuk melarikan diri dan kemudian berkata, "Keriting, pergilah panggil para gadis untuk membantu kita."

"Baiklah. Kalian, awasi tentara ini!" kata Amer yang kemudian berlari menuju ke lantai 3.

Menyadari akan sesuatu yang tidak beres telah terjadi, sang sersan yang menunggu dibawah menyuruh anak buahnya membawa salah seorang gadis yang mereka culik. "Keluarlah atau kutembak gadis-gadis ini!!" seru sang sersan, menodongkan senjata ke arah salah satu gadis.

Gadis-gadis yang mereka culik yang tadinya sudah lelah meronta kini kembali berteriak histeris untuk meminta tolong.

"Apakah ada yang bisa menggunakan senjata-senjata ini?" tanya Shiro.

"Aku rasa tidak." kata salah satu dari mereka.

"Kalau begitu, ikat dan kumpulkan mereka di dalam kelas. Aku serahkan sisanya kepada kalian." kata Shiro yang kemudian bergegas menuju ke lantai satu.

Beberapa saat setelah Shiro pergi, para gadis datang untuk membantu.

"Dimana Shiro?" kata Cindy yang baru saja sampai di ruangan tempat mereka menahan para tentara.

"Aku rasa dia pergi menemui para tentara dibawah." kata salah satu pria yang sedang mengikat para tentara yang mereka tangkap.

Cindy mengambil salah satu senjata api yang tergeletak di lantai dan kemudian berkata, "Kalian pergilah bantu Shiro. Kami akan mengawasi mereka!"

"Baiklah, ayo kita pergi!" Amer dan yang lainnya mengambil pedang para tentara dan bergegas menuju ke tempat Shiro.

Di balik pintu masuk bangunan, Shiro terlihat masih kebingungan menemukan cara untuk dapat mendekati para tentara. Tidak lama kemudian, Amer dan yang lainnya pun datang.

"Bagaimana keadaan di atas?" tanya Shiro.

"Sudah terkendali. Kita fokus saja menyelamatkan para gadis itu." jawab Amer.

"Aku hitung sampai sepuluh! Apabila kalian tidak menunjukkan diri kalian! Aku akan membunuh semua gadis manis ini!!" teriak sang sersan.

"Satu!!"

"Baiklah, kita harus cepat. Mereka berjumlah 9 orang. Untuk dapat mendekati mereka, aku tidak tahu akan ada berapa banyak korban yang akan jatuh di pihak kita." kata Shiro, menatap wajah teman-temannya.

"Dua!!!"

"Beberapa dari kalian, pergilah ke lantai 2 dan lemparkanlah kursi menuju ke arah yang berbeda-beda. Dan ketika perhatian mereka teralihkan, kami akan berlari keluar secara terpisah."

"Tiga!!!"

"Tentu saja seperti yang aku bilang, pasti akan ada korban yang jatuh sebelum kita sempat mendekati mereka. Jadi, apa kalian siap?" tanya Shiro, mengakhiri penjelasan rencananya.

"Baiklah, ayo kita mulai!" kata Amer dengan penuh semangat.

"Kalau begitu, kami akan pergi ke atas! Kami akan menyusul kalian keluar saat tugas kami sudah selesai!" kata salah seorang siswa yang kemudian bergegas berlari menuju lantai dua bersama dengan beberapa orang lainnya.

"Empat!!!"

Beberapa saat kemudian setelah mereka semua siap di posisi masing-masing.

"Sembilan!!!"

*Bruuaaakk!* Suara kursi yang menghantam tanah.

Karena terkejut mendengar suara yang tiba-tiba terdengar, beberapa tentara mengalihkan sorotan senter mereka ke arah jatuhnya kursi.

"Pergilah!!" teriak Shiro, memberikan aba-aba.

Empat orang siswa bergegas berlari keluar dan menuju ke arah yang berbeda-beda. Mereka kemudian bersembunyi di berbagai tempat untuk berlindung dan menunggu teman-teman mereka yang lainnya.

"Dasar bodoh!! Apa yang kalian lihat! Mereka berlari keluar!!" teriak sang Sersan.

"Dimana mereka?" kata salah satu tentara, mengacungkan senapannya ke sekitar.

Amer menarik nafas dalam-dalam dan kemudian berlari keluar bersama 5 orang siswa lainnya.

"Mereka keluar lagi!! Tembak!!"

Para tentara menembaki Amer dan kawan-kawannya. 4 orang tumbang terkena tembakan. Sedangkan Amer dan 1 orang lainnya yang selamat bergegas mencari tempat persembunyian di balik gedung terdekat.

Kelima orang siswa yang bertugas melemparkan kursi bergabung dengan Shiro di pintu masuk. Disaat para tentara hendak menembak mati 4 orang yang tumbang tadi, Shiro dan 12 orang lainnya serentak berlari keluar mengalihkan perhatian mereka.

Shiro dan para siswa lainnya berlari dengan zig-zag dan meluas, membuat para tentara kebingungan untuk dapat menembaki mereka. Walaupun begitu satu persatu diantara mereka pun tumbang karena tembakan. Sedangkan mereka yang masih bisa berlari, terus berlari menyerbu para tentara.

Sementara itu, Amer dan 5 orang lainnya yang tadinya bersembunyi tiba-tiba menampakkan diri dan menyergap para tentara dari arah kanan dan kiri. Shiro dan yang lainnya memanfaatkan kesempatan saat perhatian para tentara teralihkan kelompok Amer yang menyerbu dari samping. Mereka pun berhasil mendekat dan menebas 4 orang dari para tentara. Namun malangnya, Amer dan 5 orang lainnya yang menyerang dari samping kanan dan kiri tertembak dan gagal untuk melancarkan serangan.

Shiro dan yang lainnya mendadak berhenti menyerang ketika mereka melihat para tentara menodongkan senjata ke arah teman-teman mereka yang sedang terkapar di tanah.

"Letakkan senjata kalian!!" sentak sang Sersan, menodongkan sawed-off shotgun ke kepala salah satu siswa yang terbaring di tanah.

"Bunuh saja mereka!!" teriak pria yang kepalanya ditodong oleh sang sersan.

Tanpa sebuah peringatan, sang sersan langsung menembak kepala pria tersebut hingga hancur. Ia kemudian menodongkan senjatanya ke Amer dan berkata, "Aku bilang jatuhkan senjata kalian!!"

"Bajingan kau!!" teriak pria di belakang Shiro, murka karena melihat temannya mati mengenaskan tepat di hadapannya. Ia hendak menyerang para tentara tersebut, namun Shiro menghalanginya.

"Tenangkanlah diri kalian." kata Shiro, membentangkan tangannya untuk menghentikan para siswa yang hendak menyerang para tentara. "Kau! Lawanlah aku. Dan jika aku menang, kalian harus pergi dari sini." imbuhnya, menantang sang sersan untuk berduel satu lawan satu.

"Shiro, jangan bodoh! Kenapa kau malah mengajaknya berduel disaat kita dalam posisi unggul?!" sentak salah seorang yang berdiri di sampingnya, tidak menyutujui ide Shiro untuk melakukan duel.

"Diamlah." kata Shiro, cuek dengan pendapat siswa tersebut.

Sementara itu, di ruangan kelas tempat para gadis mengawasi para tentara yang telah mereka tangkap.

"Aku tidak percaya mereka menyuruh gadis-gadis kecil ini menjaga kita. Hey, kenapa kau tidak kesini dan bersenang-senang dengan kita." kata salah seorang tentara, menggoda salah seorang gadis yang bertugas mengawasi mereka.

"Diamlah atau akan kutembak kau!!" teriak seorang gadis lain. Dengan tubuh yang sedikit gemetaran, ia menodongkan senjata ke arah tentara tersebut.

Sang tentara yang menyadari jika senjata yang dibawa oleh gadis itu sedang dalam keadaan terkunci pun tersenyum dan berkata, "Jika kau ingin menjadi seorang pembunuh, maka coba saja tarik pelatuknya."

Gadis tersebut terlihat sangat kesal. Ia menarik pelatuk senapannya secara berulang-ulang, namun tidak ada satupun peluru yang dapat keluar.

"Dor!!!" teriak tentara lain, mengagetkan gadis tersebut hingga terjatuh ke belakang.

Para tentara tertawa terbahak-bahak melihat gadis tersebut yang kaget dan ketakutan. Sementara itu Cindy yang merasa kesal pun beranjak berdiri dari tempat duduknya. Tanpa sepatah katapun, ia memukul kepala tentara tersebut dengan senapannya, membuat tentara itu pingsan seketika.

"Ternyata senapan ini juga ampuh digunakan untuk memukul." kata Cindy, merasa jijik melihat bekas darah di gagang senjatanya.

"Wanita jalang!! Jangan pikir kalian bisa lolos dari ini!! Sersan akan membunuh teman-teman kalian dan akan menjadikan kalian budak kami!!" teriak salah seorang tentara, mengancam Cindy.

"Benar sekali!! Sersan adalah orang yang kuat. Aku pernah dengar jika kekuatannya bisa dibandingkan dengan 5 prajurit! Teman-teman kalian akan segera menemui ajalnya." kata tentara lainnya.

"Diamlah!! Jangan buat aku membungkam mulut kalian seperti yang telah aku lakukan kepada prajurit ini!" sentak Cindy, kesal. "Asal kalian tahu saja! Di pihak kami, kami juga punya tukang tidur yang 1 juta kali lebih kuat dari sersan bodoh kalian itu!" imbuhnya, masih merasa jengkel.

Kembali ke halaman depan sekolah dimana Shiro sedang menantang sang sersan untuk berduel.

"Hmph! Ternyata kau punya nyali, bocah!" kata sang sersan, memandang rendah Shiro. "Baiklah kalau begitu. Akan ku buat kau menyesal karena telah meremehkan kami!"

Sang sersan mencabut pedang dengan tangan kiri dan melangkahkan kakinya menghampiri Shiro. Namun baru beberapa langkah sang sersan melangkahkan kakinya, tiba-tiba ada seseorang yang menusuknya dari belakang.

"Kau tidak punya hak untuk melawannya, karena kau bukanlah siswa di sekolah ini." Orang yang menikam sang sersan membisiki pelan telinganya.