Chereads / Secangkir Teh di Kedai Kopi / Chapter 3 - Cangkir ke-2 : Khidmat

Chapter 3 - Cangkir ke-2 : Khidmat

Aku tak menyangka, dari balik jeruji pagar lapangan luar, aku dapat melihat orang-orang yang seumuranku sedang berjejer rapi, berbaris memanjang memenuhi panjang lapangan, dengan memakai satu setelan pakaian yang sama. Baju kemeja lengan panjang berwarna putih yang ditutupi dengan jas almamater, ditambah bawahan kain berwarna hitam.

Semua orang terdiam khususnya orang-orang yang ada dibagian paling depan, mendengar pidato seorang bapak-bapak ditengah lapangan. Seruan-seruan mahasiswa ia sebutkan, seolah senang dengan kegiatan pada pagi hari ini, ia berucap dengan gembira. Tetapi, orang yang berada dibagian dibelakang, berbanding terbalik dengan yang ada didepan, ada yang saling berbicara dengan orang disebelahnya, ada yang mengeluarkan hpnya untuk dimainkan, bahkan ada yang tertidur dalam posisi berdiri.

Tak berapa lama kemudian, kulihat bapak yang ada didepan berhenti bicara dan melangkah mundur.

Sudah selesai kah?

Itu artinya.... aku sudah sangat datang terlambat.

Hatiku berdegub kencang, hari pertamaku diawali dengan keterlambatan, ini terulang lagi seperti di SMA. Padahal aku ingin mengubah hidupku, menjadi anak rajin yang selalu datang tepat waktu, tapi semua gagal diawal-awal.

Daripada semakin terlambat, aku mencoba melangkahkan diri menuju ke pintu masuk.

Dari kejauhan kulihat ada juga orang yang berpakaian sama denganku.

Ternyata ada juga yang terlambat, ucapku dalam batin.

Syukurlah, ternyata aku tak sendiri.

Mereka berjalan rapi meleati gerbang satu persatu, kenapa begitu?

Karena seorang mas mbak penjaga yang ada didepan pintu menarik card holder mereka dan membolonginya menggunakan Perforator.

Meski aku tak tahu apa maksudnya, aku cukup yakin itu sebuah tanda penalti.

Kalau begitu, aku juga akan dihukum dong?

Ah, bagaimana ini.

Meski aku tak tahu efeknya apa nanti, pastinya bukan sesuatu yang mengasikkan.

Tak ada pilihan lagi, lebih baik aku bersembunyi sampai orang-orang keluar lapangan.

Kupikir itu adalah ide bagus, yah sangat bagus.

Aku berjalan mundur perlahan. Melangkah berjinjit, menghindari suara yang keluar dari sepatu.

Satu langkah.

Dua langkah.

*Bruk*

Sesuatu yang ada dibelakangku, padahal kuyakin sebelumnya tidak ada apapun dibelakang.

"Hei..." Suara asing muncul dari belakangku.

*Puk* Suara tepukan tangannya ketika menyentuh pundakku.

"Apa yang kau lakukan disini? Apa kau mahasiswa baru?"

Mampus aku.

Aku ketahuan.

Perlahan aku mencoba menengok, mencoba mencari tau sumber suara tersebut.

Yang kudapati adalah seorang pria yang berambut pendek dan berkacamata. Tampak kacatamanya silau-silau kehijauan. Dari balik lensanya terpancar irisnya yang berwarna cokelat.

Tingginya tak jauh beda dariku, jika disejajarkan maka aku tepat dipundaknya.

Ia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dibalut oleh jas almamater berwarna biru polos, didadanya terpampang jelas logo dan nama perguruan tinggi, lengkap dengan celana panjang kain hitam.

Dilengan kirinya, aku melihat armband yang berlambangkan tanda plus seperti negara swiss.

Di tangan kanannya tergenggam segelas teh kotak yang sudah ditusuk sedotan, seolah baru saja ia teguk. Sedangkan ditangan kirinya terdapat 3 kresek putih besar yang terisi penuh dengan berbagai macam benda, jika kulihat-lihat yang tampak dipermukaan sepertinya adalah roti-roti dan nasi bungkus.

Matanya menyipit, seolah memfokuskan pada card holder yang ada di dadaku.

"Maba?"Ucapnya tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan.

Sudah kuduga, dia pasti senior.

"Nama?" Tanyanya singkat.

"Aira" Jawabku singkat juga.

"Lengkapnya?" Seakan tak puas dengan jawabanku, ia bertanya lagi.

"Aira Nabila Tanisha."

"Asal?"

"kota Syura kak."

"Kelompok?"

"Kelompok 14 kak"

"oh" Satu kata, mengakhiri pembicaraan kami.

Astaga, Semua kata yang terucap semuanya satu kata. Sikapnya dingin sekali.

Kami berdua terdiam. Tak ada lagi yang membuka mulutnya, ia hanya menatapku dengan sinis.

"Telat?" Ternyata, dia lagi-lagi bertanya.

"I-iya" Aku takut mengatakannya, tapi aku tak bisa mengelak lagi.

"Oh" Kata yang mengakhiri percakapan lagi.

"Ini." Bersamaan dengan ia mengambil memberikan dua kresek besar yang ada ditangan kirinya seusai memindahkan satu kresek ke tangan kanannya.

"Maksudnya apa ya kak?"

"Sssstttt. Diam" Ucapnya, menandakan aku tak boleh bertanya lebih jauh lagi.

Aku mencoba menurutinya, aku menutup mulutku, berharap diberi jawaban. Apakah aku diberi hukuman disuruh membawakannya barang-barangnya? Ataukah ada hal lain?

Tetapi, yang kudapat adalah ia berjalan menjauhiku dan berjalan ke arah gerbang.

Tunggu, aku masih belum paham maksudnya.

Ia berjalan beberapa langkah, kemudian menoleh kearahku kembali.

"Sini."

Aku terdiam, masih berdiri ditempat.

"Cepet"

Dua langkah dengan pemenggalan kata ditengahnya dan perbedaan nada.

Aku yang kaget dengan bentakannya memberanikan diri untuk mengikutinya.

Aku berjalan tepat dibelakangnya, menahan beratnya kresek yang ada dikedua tanganku.

Kami berjalan mendekati pintu masuk, dengan santainya ia berjalan melewati orang yang berjaga.

"Pagi mas." Ucap mereka memberi salam padanya.

"Iya..." Balasnya singkat.

"Eittss... tunggu dulu, kamu!, maba." Seru mbak yang ada didepan.

"Sa-saya kak?" Aduh, hatiku berdegub.

"Iyalah, siapa lagi."

"Tau gak, lo salah apa?" Tanya mas yang ada disebelahnya.

"Ehm... telat kak?"

"nah, tuh tau. Sebagai hukumannya--" Ia mengambil card holderku yang tergantung.

Duh, tuhkan kena hukuman. Ucapku didalam batin.

Aku pasrah, menutup mata dengan apa yang akan terjadi.

Belum sempat ia membolongi card holderku, ada celetukan yang terdengar.

"Eits, sorry dek, dia telat soalnya aku pinjem bentar tadi. Staf yang lain udah pada standby. Dan ini perlu dianter secepatnya."

Aku membuka mataku, ternyata mas yang memergokiku yang berbicara.

Mas yang memegang card holderku menurunkan niatnya dan melepaskannya.

"Oh.. siap mas.. tapi mas--" belum sempat ia selesai berbicara, ia memotongnya sekali lagi.

"sorry ya aku lancang minjem maba, habisnya aku gak tau klo barangnya banyak."

"Oh oke" ucapnya singkat mengakhiri pembicaraan, sehingga kami dapat melanjutkan berjalan.

Aku terus mengikutinya sampai di tempat yang beralaskan terpal, dan ada beberapa tenda lipat disebelahnya, disitu terdapat beberapa orang yang memakai armband yang sama dengan mas ini.

Ia memanggil salah dua orang yang ada disana, dan memberikan kreseknya ke dia. Lalu menyuruhku juga memberikan kresek yang ada ditanganku.

"Terima kasih kak."

"Wah, kak kadiv emang baik deh. Makasih kak."

Ucap mereka.

"Iya-iya, sudah sana, aku nganterin maba ini dulu."

Oooohhh, jadi namanya kadiv, ucapku dalam hati. Kukira dia orang yang jahat. Aku salah sangka.

Ia melambaikan tangannya bersamaan dengan berjalan kembali, menuju ke tumpukan tas yang ditengahnya ada papan yang bertuliskan angka 14, disebelahnya ada kak Nia, kakak pendamping kelompok 14, atau nama lainnya adalah fasilitator.

Setiap kelompok diberikan 2 fasilitator untuk mendampingi para mahasiswa baru, sebagai orang yang mengarahkan mau dibawa kemana kami ini.

Kak kadiv memberi salam ke kak Nia. Kak Nia membalas salam. Aku juga memberika salam ke kak Nia, Kak Nia juga membalas salam.

Kemudian, aku menaruh tasku di tumpukan tas yang ada. Dan memohon ijin untuk ke barisanku. Ketempat teman-temanku berada.

"Iya dek, hati-hati." Ucap Kak Nia.

"Iya kak, trima kasih." Ucapku lalu segera berlari.

Tapi, baru 3 langkah, aku mendengar kak Nia memanggilku kembali.

"Kenapa kak?" Tanyaku.

"Almetmu mana?"

Oh iya, astaga....

Aku baru menyadari aku tak memakai almamater.

Aku shock seperempat mati.

Berharap ada didalam tas, aku berlari menuju tasku, aku mengobrak-abrik isi tasku, tapi aku tak menemukannya.

Tidak ada, aku tak dapat menemukannya.

Baru saja lolos dari hukuman di pintu masuk, tak kusangka ada cobaan lain.

Tetapi....

Secara mendadak, mataku tertutup secara tiba-tiba, pandanganku gelap.

Aku mencoba menyingkirkan apa yang ada didepan mata.

Kudapati sebuah almamater ada ditanganku. Aku menoleh kebelakang.

Aku melihat hanya ada kak kadiv dan kak nia. tidak ada yang salah, bedanya aku tak melihat kak kadiv memakai almamaternya. Mungkinkah?

"Nih, kupinjemin, nanti kembalikan."

"Eh?" Aku bingung harus berkata apa.

"Sana, kembali kebarisan." Tak sempat aku berterima kasih, aku telah diusir.

"Eh, ah iya. Siap."

"eh, maksudku terima kasih."

Dengan terburu-buru, segera kuberlari menuju barisanku, sedikit kumelirik ke belakang, aku melihat arah matanya tertuju padaku.

Kuberdiri dibarisan paling belakang. berdiri dibelakang temanku.

Otakku mencoba mencerna semua kejadian hari ini.

Aku berusaha menangkan diri.

Menarik napas panjang.

Sembari aku berpikir, aku tidak tahu, ternyata upacara pembukaan masih berlangsung lama sekali. Bapak yang ada didepan sebelumnya, digantikan oleh Bapak yang lain untuk berpidato.

Jadi begini ya rasanya kuliah, diperkuliahan aku masih bisa bertemu upacara, katanya anak kuliahan sudah tidak ada upacara lagi selain upacara pembukaan untuk mahasiswa baru, maka bisa jadi ini adalah terakhir kalinya aku mengikuti upacara.

Padahal, sebenarnya masih ada upacara peringatan besar lainnnya, tapi tak diselenggarakan untuk semua mahasiswa, hanya perwakilan mahasiswa saja.

Nasionalisme yang ditanam dan dipupuk susah payah dari SD hingga SMA perlahan luntur. Walaupun memang tak ada jaminan peserta upacara akan memiliki rasa nasionalisme tinggi. Namun setidaknya ada upaya untuk mencintai tanah air.

Karena itu aku mencoba mengkhidmatkan diri dalam upacara.

Sama seperti khidmatnya upacara-upacara yang lainnya, seperti upacara hari senin ataupun upacara 17 agustus.

Namun, badanku sulit untuk diam alias grusak-grusuk.

Bunyi Perutku seakan sedang mengadakan pertunjukan band, ini pasti efek belum sarapan.

Terus berdiri di lapangan, berusaha untuk tetap kuat. Menahan tubuh agar tidak goyah, serta dari teriknya sinar mentari.

Tidak sedikit kulihat banyak yang telah tumbang, secara mendadak jatuh. Diikuti suara keras ketika mereka membenturkan diri dengan tanah.

*bruk* seperti suara simponi, secara bergantian orang-orang berjatuhan.

Untungnya, dengan sigap kakak-kakak yang berjaga di pinggir lapangan berlari, menggotong dan membawanya menggunakan tandu lipat.

Kudengar ada langkah kaki yang kearahku.

"Kamu gak papa?" Tanyanya.

Mukaku memucat, katanya

"Ah, mas yang tadi."

"enggak papa kok." Jawabku singkat agar tak membuatnya khawatir.

Aku tak mendengar jelas apa lagi yang ia katakan, suara gemuruh menghampiri telingaku, pandangan memudar, memutih seakan kanvas putih yang baru dibeli.

Pikiranku kosong dan yang kuingat hanya wajah kak kadiv yang baru saja kulihat.

***