Aku menggenggamnya. Bejana kaca ini. Dengan serbet kering, tanganku mengusapnya. Pelan, pelan, hingga bersih. Yah, paling tidak itu menurutku.
Kuletakan benda itu, bersama benda serupa, ditempatnya. Mereka tersusun rapi di rak-rak yang berdiri merapat dinding.
Aku suka ketenangan. Itu membuatku merasakan hal serupa. Kepalaku juga terasa lebih cair. Memproses lebih cepat, merespon lebih tanggap. Walau, yah, tetap saja terlihat lamban.
Itu menurut mereka. Menurutku, itu hemat energi. Tidak, aku bukan pemalas. Aku hanya bertindak efisien, dan taktis. Sayang jika waktu terbuang begitu saja, sia-sia.
Baiklah, bejana-bejana ini selesai. Aku beranjak dari tempatku.
Selanjutnya!
Sempat mataku melirik penunjuk waktu, sekilas. Belum, masih 30 menit lagi, sekarang masih pukul 4.30pm. Langkahku terhenti, aku telah sampai ditujuan berikutnya. Kuraih gagang nakas diatasku, dan membukanya. Menurutku, ritual yang dimulai setengah jam lagi itu, bukan acara penting. Aku hanya menghormatinya. Dia, sahabatku, beserta tabiatnya.
Mata, dan tanganku mencari, sesuatu di dalam nakas.
Ketemu!
Nampan logam yang terasa dingin. Aku sedang mempersiapkan segala keperluan ritual, bersama peralatanya.
Tidak buruk menurutku, bahkan aku suka itu. Gadis taktis, dan secara bersamaan menyukai 'ritual'. Itu bagus bukan.
Nakas aku tutup, lalu nampan aku taruh diatas meja. Aku bergerak ke arah rak terdekat. Aku mengambil lima cawan, dan lima bejana. Lalu aku menyusunya diatas nampan.
Suara bising menyumbat telingaku. Suara yang serupa bunyi peluit, tapi yang ini terdengar lebih panjang, dan lebih kuat. Lokomotifku berteriak, dia tidak suka didiamkan terlalu lama. Bergegas, aku berjalan kearahnya.
Hawa sejuk dari pendingin ruangan, membelai kulitku, dan juga wajahku. Iya, aku tahu. Udara diluar juga tak jauh beda. Biasanya, udara akan jatuh perlahan, perlahan, di musim gugur seperti saat ini.
Aku sampai. Ini lokomotifku. Dia sedang terduduk diatas tungku berapi. Aku matikan, api itu. Sebelum tangan lain melakukanya. Benar, aku lebih cepat darinya, dan aku memang tidak sendirian diruangan ini. Kenapa, menyukai ketenangan, tidak berarti aku juga suka menyendiri, bukan. Itu dua hal yang berbeda.
Aku lihat, dia, temanku, batal melakukan gerakan mematikan tungku itu. Kembali, melakukan kegiatanya lagi, saat melihatku datang. Aku sempat melirik kearahnya. Ingin tahu yang dia lakukan.
"Semuanya sudah kau persiapkan."
Dia terlihat memotong sesuatu. Tanpa melihatku, aku tahu dia berbicara padaku.
"Sudah."
Aku membuka atap lokomotif ini, hati-hati.
"Semua aku letakan diatas nampan."
Sedikit mundur, menghindar dari hawa panas. Bersamaan, uap putih, bening, nyaris transparan, menyeruak.
Sekilas, aku melihat. Dia melihat ke arah nampan, mengangguk tanda puas, dan kembali melanjutkan pekerjaanya. Memotong cake.
Benda itu matang, baru saja.
"Aku bisa minta tolong, Medina?"
Menunggu semua cake itu mendingin.
"Tentu saja. Kita hanya berdua saja disini, Chelsea. Apa yang bisa aku bantu."
Seketika, seluruh ruangan, tercium aroma harum cake terbakar.
Selai aprikot teroles, diatasnya. Tentu saja setelah dirasa cake cukup dingin.
"Tolong, tuangkan air panas dalam ketel itu."
Chelsea menunjuk lokomotifku dengan pisau.
"Ke dalam teko kaca disana."
Benda itu, Chelsea menunjuk dengan dagunya. Aku mengikuti. "Aku telah memasukan daun teh merah kering. Rasanya akan lebih keluar jika diseduh dengan air mendidih."
Menangkup kedua cake, dan mengiris, menjadi bagian-bagian lebih kecil.
"It shall be done, Your Majesty."
Aku sedikit membungkuk sembari memegang ujung rok. Reaksi berantai setelahnya yang kusukai.
Yes, dia tertawa!
Puas kami bercanda, aku melakukan permintaanya. Menuangkan air panas ke dalam teko. Sedangkan Chelsea menyusun potongan cake diatas cawan besar. Sepertinya, sebelum ini, benda itu telah disiapkan.
Teko kututup.
"Bagaimana resepnya?"
Aku melihatnya, wajah sumringah Chelsea. Ya, cake itu memakai resepku.
Dia mengangguk-angguk. Reaksi yang baik.
"Aku pikir, kau hanya peduli dengan komposisi alkimia saja, tanpa peduli komposisi rasa makanan."
Chelsea berhenti mengiris. Mengambil potongan cake acak, dan menggigit. Mengunyah, mengangguk-angguk, mulutnya tak berhenti bergumam.
"Um, um. Ini enak sekali. Um, um, bagaimana kau membuatnya. Oh, ini tak bisa aku hentikan. Sungguh, ini enak, um, um."
Melihatnya, aku tertawa kecil. Dia puas, aku tahu itu. Terima kasih pujianya, Chelsea. Namun, aku lebih memilih kepalaku tergeleng. Ucapan itu, kutelan lagi.
Aku kembali mendudukan ketel diatas tungku. Ya, lokomotifku.
"Heii, kau yang membuatnya. Kalau kau lupa itu. Lagipula, resep terbaik tidak akan menjadi sesuatu yang berguna jika tidak berada ditangan yang tepat."
Sepertinya dia setuju. Walau tanpa kata, mulutnya masih sibuk mengunyah. Beberapa saat, aku melihat dia menelanya.
Mengelap tanganya dengan serbet.
"Aku mau membersihkan kekacauan ini."
Cawan besar beserta potongan cake didalamnya, Chelsea serahkan padaku.
"Tolong, taruh piring cake ini, dan teko itu, bersama cangkir, dan alasnya di nampan itu."
Dengan dagu, Chelsea menunjuk nampan.
Kuikuti arahnya. Ah, cawan, bejana, dan nampan yang itu.
"Baik."
Kepala mengangguk, piring cake kuterima. Lupakan cawan besar, benda ini adalah piring.
Aku berbalik, langkah kakiku menjauh. Aku mendengar bunyi gemericik air. Itu pasti ulah Chelsea.
Aku taruh piring, nampan kutata. Alas, dan cangkir juga. Belum, masih kurang.
Pandangan kulayang. Benar kata Chelsea, tempat ini lumayan kacau. Ulah kami yang harus dibereskan. Sayangnya, sekarang itu bukan tujuan. Kubantu Chelsea nanti.
Setelah mencari, akhirnya kudapatkan. Setoples gula pasir, lima buah sendok teh, dan kutata diatas nampan.
Selesai!
Ok, ok. Bukan bejana, dan cawan. Melainkan cangkir, dan alasnya. Yah itu kebiasaanku. Menyebut benda-benda dengan nama lain. Terutama yang ada hubungan dengan alkimia.
Asal tahu saja, resep cake hari ini, aku gunakan perhitungan alkimia.
Belum lagi, aroma terapi tempat ini. Hirup udaranya dalam-dalam.
Rasakan!
Bagaimana!?
Tercium aroma kue, bukan. Itu aku yang buat.
Berjalan, aku hendak membantu Chelsea. Tapi, sejenak aku berhenti. Tiga pisau tertancap, di atas meja kayu, tak jauh dariku.
Kudekati, dan kucabut ketiganya. Aku menghampiri Chelsea. Membantunya membereskan kekacauan ini.
Sebenarnya ini masih lumayan bersih. Aku teringat, kacaunya tempat ini saat itu. Waktu pertama kali, dapur asrama kami pakai. Sungguh, itu sangat berantakan.
"Aku yakin, benda ini punyamu."
Tiga buah pisau, aku sodorkan.
Chelsea melihat tanganku.
"Ah, ya. Benar, itu memang punyaku."
Air terpercik, saat tangan Chelsea terkibas.
"Dimana kau menemukan ini?"
Tangan Chelsea mengambil pisau, dariku. Tanpa kata, aku menunjuk dengan dagu. Menoleh, mengikuti arah, Chelsea mengangguk. Gadis itu menyimpan pisaunya kembali.
Itu, pisau lempar Chelsea. Tersimpan dibalik rok miliknya. Entah berapa pisau dibawanya, sekarang.
Kalau tidak salah. Satu lusin ditiap paha. Setengah lusin di lengan atas. Belum lagi yang lain. Ah, entahlah.
Dapur kami rapikan dari kekacauan. Loyang dengan bekas adonan, jelaga di oven, beserta barang kotor lain. Kini telah bersih, dan kembali ketempatnya.
Mengedar pandang, terlihat puas.
"Selesai sudah."
Chelsea menatap diriku, lagi.
"Kali ini, lokasinya gazebo taman belakang, bukan?"
Aku mengangguk. Itu memang tempat ritualnya.
"Aku akan membawa nampanya"
"Tidak perlu, Medina."
Chelsea berjalan, menghampiri nampan.
"Akan kubawa."
Tanpa bisa dicegah, chelsea mengangkat nampan. Bahu kugidik, terserah dia sajalah. Lebih baik aku juga bersiap.
Aku menuju ke satu sudut ruangan. Kuambil tas slempangku, dan memakainya. Kusambar beberapa serbet kering.
Chelsea berjalan. Dia menuju pintu, hendak keluar.
"Chelsea, apa ada yang ingin kubawakan untukmu?"
Itu tawaran dariku. Tanganya yang sedang mengangkat nampan, pasti merepotkan.
"Tidak, Medina. Ini saja sudah cukup." Katanya.
"Hanya saja, nanti aku mau kembali ke kamar, sebentar saja. Ada beberapa barang yang tertinggal."
Dahiku berkerut.
"Sekarang?"
Chelsea menoleh kearahku. Wajahnya terlihat berkata, Medina, please.
"Tentu saja tidak sekarang. Kuambil nanti, setelah mengantar nampan ke gazebo di taman belakang."
Namun, dia terdiam beberapa saat, tampak berpikir.
"Dan, Medina. Maukah kau menungguku di gazebo. Janji, aku tidak akan lama."
Oh, God. Apa-apaan dia. Tentu saja aku mau. Kuanggukan kepala, pelan. Lagipula, ritual ini favoritnya. Itu satu jaminan dia akan kembali.
Puas akan jawaban dariku, wajahnya sumringah. Chelsea berjalan keluar pintu. Sekilas kulihat petunjuk waktu, sebelum mengekor Chelsea.
Bagaimana, seperti kataku tadi, bukan. Suhu diluar sini, serupa suhu penyejuk ruangan di dalam. Bedanya, disini udara sangat dinamis. Berbeda dengan di dalam. Disana, udara sangat statis.
Dan membuat kulit mengering. Apa, kenapa. Oh ayolah, aku ini perempuan, juga seorang putri. Tentu saja, menyukai alkimia bukan berarti penampilan kuabaikan. Lebih baik aku kelaparan, ketimbang tampil buruk. Percayalah itu bencana.
Langkah Chelsea kujajari. Dia nampak tak kerepotan membawa nampanya. Padahal, aku berani jamin, teko kaca berisi penuh air teh seduh, pasti berat.
Tapi, coba lihat dia. Gesturnya tidak terlihat kerepotan. Justru sebaliknya, gerakanya masih luwes, langkahnya masih anggun, bahkan sempat-sempatnya dia menyibak rambut dengan gerakan kepala ringan. Aku juga ikut, menyibak rambut, dengan jemariku.
"Aaahhh, lega."
Ada apa denganya. Kenapa menghela napas sedalam itu.
"Berada di dalam ruangan dengan bau harum roti sebagai aroma terapi. Benar-benar bencana."
Oh, itu masalahnya.
"Kenapa, bukanya itu bagus?"
"Ah, awalnya itu yang aku pikirkan."
Aku mendengarkan.
"Tapi Medina, coba kau rasakan sendiri. Saat kau lapar, atau sedang ketagihan makan manis. Masuk ke dapur dengan aroma seperti itu. Bisa kau bayangkan penyiksaan itu. Sungguh, bencana."
Kulihat petunjuk jalan sekilas. Diujung jalan nanti, kami belok ke kiri.
"Artinya itu bagus."
Chelsea menoleh, cepat. Alisnya terangkat. Sebelum kembali, melihat jalan.
"Kita berdua penguasa mutlak dapur itu."
"Kenapa begitu?"
"Seperti katamu tadi. Orang lapar, tersiksa masuk ke sana. Dari kita berlima, hanya aku, dan kamu yang dapat mengolah makanan. Kau tahu, kenapa dapur asrama kita bersih? Itu karena mereka tidak akan ke dapur saat lapar. Kalaupun tidak, aroma itu yang akan membuat mereka lapar. Bagaimana menurutmu?"
Tidak lupa, aku senyum penuh kemenangan.
Aku mendengar Chelsea tertawa geli, tubuhnya sedikit berguncang. Sebaliknya, kepalanya tergeleng, rambut panjang miliknya sampai bergoyang. Reaksi orang merasa tidak habis pikir.
"Oh, bagus. Tidak mungkin mereka memakan tepung begitu saja. Itu licik sekali. Kupikir, orang tenang sepertimu, tidak akan melakukanya."
Chelsea kembali tertawa, geli.
"Aku menyebutnya, berpikir taktis."
Senyumku lebih lebar dari sebelumnya.
Kami berjalan di alam terbuka. Petunjuk kami, hanya jalan terpasangi conblock saja, tapi itu sudah cukup. Akhir koridor beratap, saat belok ke kiri, tadi. Di kiri, dan kanan, vegetasi banyak terhambur. Tanaman perdu, atau rambat. Bunga mekar aneka warna. Pohon-pohon berkayu seperti Willow, Mahoganey, atau Mapel. Kami sudah masuk taman belakang sekolah.
Udara disini segar sekali!
*******