Chereads / Because of Vietnam / Chapter 3 - C H A P T E R 2

Chapter 3 - C H A P T E R 2

Camille meringis saat Daxler membopongnya keluar dari kamar mandi dan mendudukkannya di atas kasur. Kejadian di kamar mandi membuat Camille dua kali lipat lebih malu untuk bertatapan dengan Daxler sedangkan Daxler hanya menampilkan wajah datarnya seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi.

Camille meraba kepalanya yang sedikit mengeluarkan darah. Benturan tadi membuat kepalanya sedikit pusing dan berdenyut. Sepertinya terjadi luka kecil di kulit kepalanya, tidak terlalu parah karena hanya mengeluarkan sedikit darah.

Tiba-tiba Daxler duduk dihadapan Camille, menatap Camille sejenak lalu beralih menatap bathrobe yang dikenakan Camille. Daxler memperbaiki bagian atasnya yang hampir terbuka dan kembali menguatkan ikatan di sekitar pinggang Camille.

Camille hanya diam saat Daxler melakukannya. Ia bahkan tidak berusaha menolak padahal pria dihadapannya adalah orang asing dan bisa saja Daxler tiba-tiba menyerangnya namun Camille hanya termangu dan menahan nafasnya saat Daxler memperbaiki letak bathrobe-nya. Ini sungguh gila. Dia ingin membuatku gila. Batin Camille gusar sembari menelan ludahnya dengan susah payah.

"Kamu punya obat untuk luka ?" tanya Daxler membuat Camille termangu lagi. Camille bingung ia harus menjawab apa. Tenggorokannya tercekat.

Akhirnya Camille hanya menggeleng tanda ia tidak ada. "Aku akan mengambilnya di bawah. Tunggu di sini." Daxler berlalu dari kamar Camille dan pada saat itu juga Camille menghembuskan nafasnya dan kembali mengatur nafasnya yang tidak beraturan saat ini. Daxler memberikan efek yang tidak baik untuk kesehatannya. Jantung Camille berdetak tidak karuan saat Daxler berada di dekatnya dan juga Camille rasanya ingin mati saat ia menahan nafasnya karena tidak mampu bernafas saat Daxler berada di dekatnya. Mungkin Daxler akan memberikan efek lain lagi jika di hari-hari berikutnya Camille berdekatan dengannya.

Tak lama Daxler kembali dengan membawa kotak obat-obatan. Daxler membukanya dan mengeluarkan sebuah cairan berwarna coklat dan sebatang cotton bud lalu menuangkan cairan tersebut di cotton bud.

"Biar aku obatin sendiri aja," sergah Camille seakan tidak kuat lagi jika Daxler terus berada di dekatnya.

Daxler tersenyum miring, "Susah kalau obatin sendiri karena kamu nggak tau tepat letaknya," ucap Daxler membuat Camille diam lalu berbalik dan membiarkan Daxler mengobati luka di kepalanya.

"Usahakan jangan cuci rambut dulu untuk beberapa hari ke depan."

Camille mengangguk.

"Kamu sudah terbiasa kayak gini ya ?" tanya Camille memecahkan keheningan.

Daxler mengernyitkan dahinya, "Maksudnya ?"

"Eh ? Nggak. Lupain."

Maksudnya sudah terbiasa berduaan gitu ya sama cewek. Habis mukanya datar-datar aja daritadi. Rutuk Camille dalam hati. Apa memang cuman Camille yang merasa tidak nyaman harus berduaan di kamar dengan pria asing ?

"Selesai." Daxler menyimpan kembali obatnya ke dalam kotak dan membuang cotton bud ke tong sampah. Daxler bangkit dari duduknya, "Goodnight. See you."

"Thankyou again," balas Camille sembari membungkuk sebelum akhirnya Daxler pun berlalu dari hadapannya. Camille segera menutup pintunya karena ia takut tidak bisa menahan diri dan takut kejadian beberapa jam yang lalu kembali terulang.

Huft. Banyak kejadian yang terjadi hari ini dimana belum tepat satu hari Camille di Vietnam. Semuanya membuatnya bingung. Terutama Daxler. Siapa dia ? Mengapa bisa membuat hati seorang Camille yang sedang hancur berubah menjadi berbunga-bunga ?

"Fokus, Cam!" lirih Camille dengan nafas terengah-engah. Entah apa yang terjadi pada Camille setelah bertemu Daxler. Mulai dari detakan jantungnya yang sering berdetak tak karuan dan juga dirinya yang lupa bernafas.

Camille segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri sembari menghentak-hentakkan kakinya kesal atas apa yang terjadi hari ini.

°•°•°

Camille baru selesai membersihkan diri dan berniat untuk langsung istirahat karena badannya terasa akan remuk jika ia sambung membereskan bajunya ke dalam lemari. Camille pun mengambil remote AC dan menghidupkannya.

Ya, hidup tetapi tidak ada angin yang keluar. Pada saat itu juga rasanya Camille ingin menangis. Apa ia harus kembali menyulitkan pria tadi ? Ah tidak. Lebih tepatnya apa ia harus kembali bertemu dengan pria tadi ? Ini sudah pukul setengah satu.

Apa besok aja ya ? Tapi aku nggak tahan kalau nggak pakai AC! Bisa-bisa besok pas bangun kasurnya basah! Jerit Camille dalam hati.

Camille memutuskan untuk turun ke bawah dan melihat kondisi di bawah sana. Camille masuk ke lift dan menekan lantai satu.

Ting!

Lift terbuka dan ya keadaan di lantai satu lebih gelap dari saat ia datang namun beberapa lampu masih tetap hidup agar tidak terlalu gelap.

Camille memberhentikan langkahnya saat ia melihat seseorang tidur di atas sofa panjang. Bukankah dia Daxler, pria tadi ? Camille sangat yakin bahwa itu Daxler setelah ia menajamkan pandangannya jadi ia memutuskan untuk tidak menganggunya. Ya, mungkin besok kasurnya akan basah oleh keringatnya.

Camille berbalik dan berniat kembali masuk ke dalam lift.

"Apa kamu butuh sesuatu ?"

Camille menghentikan langkahnya saat mendengar suara itu. Ia berbalik dan melihat Daxler dengan keadaan setengah duduk sedang mengacak-ngacak rambutnya.

"Ah, tidak. Maaf telah menganggu tidurmu."

"Tidak apa-apa. Katakan saja."

Camille ragu harus langsung naik atau mengatakannya. Jika ia langsung naik itu akan terlihat tidak sopan. Jika ia mengatakannya itu juga terlihat hmm sangat tidak baik untuk kesehatannya.

"Emm itu. Aku menghidupkan AC-nya tetapi tidak ada angin yang keluar," ucap Camille akhirnya setelah berlarut dalam pikirannya, harus mengatakannya atau naik.

"Oh, baik. Mari." Mereka masuk ke dalam lift dan kembali menuju lantai sepuluh. Camille menjadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Ayah dan kakaknya, Carlson bahkan Cassie, mereka sangat cerdas dalam hal teknik seperti memperbaiki radio yang rusak dan bahkan ketiganya pernah memperbaiki televisi bersama-sama. Tetapi kenapa hanya Camille sendiri yang tidak mendapat gen itu ? Jika ia mempunyai kemampuan seperti itu ia tidak perlu merepotkan pria ini.

Camille menghentikan lamunannya saat lift sudah sampai di lantai sepuluh. Wait, sepertinya ada yang kurang saat mereka sudah sampai di depan pintu. Kartunya ? Oh shit! Ketinggalan di dalam. Aduh, gimana ini, Cam ?!

"Ma-maaf. Kartunya ketinggalan di dalam."

Daxler terkekeh lalu mengeluarkan sebuah kartu dari saku celananya dan pintu pun terbuka. Camille mengernyitkan dahinya dan Daxler hanya menatapnya dengan senyum miring yang tercetak di bibirnya.

Daxler masuk ke dalam kamar dan mengambil remote AC kemudian disusul Camille yang baru tersadar dari kebingungannya. "Tunggu selama dua menit setelah kamu menghidupkannya lalu tekan tombol powerful. Mengerti ?"

"Mengerti, terima kasih."

Daxler meletakkan remote-nya kembali ke tempat semula dan berniat meninggalkan kamar Camille namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Camille. "Apa kamu nggak mau tidur di sini aja ?"

"Eh ?"

Camille membulatkan matanya, "A-ak- emm mak-maksudnya di baw-bawah nggak ada ka-kasur li-lipat gitu ? Takutnya badan kamu sakit gitu kalau tidur di sofa," jawab Camille gelalapan lalu dengan pelan melepaskan genggamannya di tangan Daxler. Camille mengutuk bibirnya yang tidak bisa menahan diri. Sungguh ini lebih memalukan daripada kejadian tadi. Tolong siapapun bawa aku pergi dari sini.

"Oh. Aku sudah terbiasa."

Camille mengangguk-ngangguk, "Kalau begitu terima kasih sekali lagi. Selamat malam," ucap Camille lalu mendorong Daxler keluar dari kamarnya tanpa menunggu balasan Daxler dan menutup pintu dengan keras. Pasti dia bingung. Tapi gimana dong ini mulut sih nggak bisa rem!

Camille mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Hawa disini tiba-tiba berubah menjadi panas. Camille masuk kembali ke dalam kamar mandi. Tidak ada jalan lain selain mandi. Ya, mandi untuk kedua kalinya dan semua itu berkat Daxler Brinx.

°•°•°

Sudah pagi. Camille mengerang sembari merenggangkan kedua tangannya ke atas. Semalam sungguh membuatnya tersiksa. Ia baru bisa tertidur tepat pukul empat pagi. Semua karena bayang-bayang Daxler yang terus berputar di pikirannya.

Tring-tring!

"Good morning! Time to get up!"

"Ngh good morning too."

"Baru bangun ?"

Camille membulatkan matanya dan spontan menutup telpon itu. Bukankah itu telpon otomatis yang dikirimkan ke setiap kamar ? Tapi kenapa tadi ada suara lain dan anehnya dengan bahasa Indonesia ?! Dan juga anehnya ini sudah jam sembilan biasanya morning call dilakukan pada pukul enam atau tujuh. Gila nggak sih hidupku disini! Bisa gila aku!

Camille bangkit dari kasur dan segera membersihkan diri. Perutnya sudah meronta-ronta untuk diisi dan kebetulan ada paket sarapan setiap hari untuk siapapun yang tinggal di hotel ini.

"Hmm cuman mau doa semoga hari ini nggak ketemu dia," gumam Camille lalu menatap pantulan dirinya di cermin sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Tentu saja ia tidak lupa mengambil kartunya keluar karena jika ia lupa itu sama saja dirinya sendiri yang mencari gara-gara.

Camille mengintip keluar saat ia sudah sampai di lantai satu. Okay, tidak ada siapa-siapa. Di ruang makan juga tidak ada orang itu hanya beberapa pelayan dan juru masak. Camille pun melangkah santai ke arah ruang makan namun sikap santainya itu musnah saat Daxler keluar dari kamar mandi yang berada di sebelah ruang makan.

Camille terkejut bukan main membuatnya terhuyung ke belakang dan siap membentur lantai jika bukan tangan Daxler yang menahan pinggangnya.

"Be careful," lirih Daxler dengan suara seraknya membuat Camille sadar dan menjauh dari pelukan Daxler.

Daxler membungkuk sopan lalu berlalu dari hadapan Camille. Camille memegang dadanya dengan nafas terengah-engah. Sungguh ia tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari. Bertemu dengan Daxler sangat tidak baik untuk kesehatan Camille apalagi harus berdekatan seperti tadi.

Camille menghembuskan nafas lalu masuk ke dalam ruang makan dengan menampilkan poker face karena pelayan dan juru masak itu sedang menatapnya. Camille yakin mereka pasti melihat kejadian tadi.

Camille memakan makanannya dengan cepat dan segera meninggalkan ruang makan. Berjalan menuju lobby dan melihat Daxler sedang memainkan ponselnya. Camille pun mengambil kesempatan ini untuk segera keluar dari hotel ini.

Tapi gagal.

Ditambah malu.

Camille terpeleset.

Saking ingin cepatnya ia keluar dari hotel, ia mengabaikan pekerja hotel yang sedang mengepel lantai. Pekerja hotel itu menghampiri Camille dengan wajah khawatir. Ya, antara khawatir dan ingin tertawa.

"Mana yang sakit ?" Daxler menghampiri Camille dan menatap kaki Camille dengan raut khawatir. Sepenuhnya khawatir bukan seperti pekerja hotel itu.

Camille menggeleng. Ia tidak tahu. Kakinya mati rasa. Camille mencoba menggerakkan kakinya dan ia meringis. Sangat sakit dan sepertinya kakinya keseleo.

Tiba-tiba tubuh Camille terangkat membuat Camille terperanjat lalu menoleh dan tak sengaja hidungnya bersentuhan singkat dengan hidung Daxler.

"Bawa kartunya keluar kan ?"

Tanpa menunggu jawaban Camille, Daxler masuk ke dalam lift sembari membopong tubuh Camille.

°•°•°

[ vote & comment ]

A/N : Hmmm ini pekerja hotel rasa pacar nggak sih hahaha semoga enjoy ya sama ceritanya ❤

[ 25 September 2019 ]

[ ©hlmstories ]