Surabaya, 12 Desember 2014
Sinta mengerjapkan mata perlahan, tidurnya sedikit terganggu dengan suara ketikan jari pada keyboard laptop di sampingnya. Matanya seketika terbelalak mendapati Gita masih setia dengan laptopnya. Diraihnya ponsel dan melihat waktu yang tertera di sana. Jam 3 pagi!
"Gita, kau masih mengerjakan tugas mu atau melakukan hal yang lain?" ujar Sinta memastikan
Gita melihat sebentar ke arah Sinta, "Aku masih mengerjakan tugas kok."
"Astaga!"
Sinta duduk dengan menghela nafas berat. Seperti inilah Gita, jika sudah berkeinginan untuk mengerjakan sesuatu dia akan mengerjakannya sampai selesai. Mata Gita masih tidak lepas dari layar laptop di hadapannya, sesekali dia membuka buku disampingnya dan kembali menulis.
Disinilah Gita kini, menjadi salah satu mahasiswa jurusan Kedokteran Universitas terkemuka di Surabaya. Ya, setelah lulus SMA Gita benar benar melanjutkan ke jurusan kedokteran seperti yang diinginkan kedua orang tuanya. Lalu bagaimana dengan impiannya?
Gita harus menerima kenyataan bahwa impiannya hanya tinggal kenangan. Dia sadar bahwa keinginan orang tua pasti memberikan hasil yang lebih positif dari pada harus memaksakan kehendak dan membuat mereka sakit hati. Cukup sekali Gita melakukan kesalahan itu.
"Gita, tugas itu baru di berikan kemarin dan deadlinenya minggu depan, kau bisa mengerjakannya perlahan." ujar Sinta
"Aku tahu." Sinta terdiam
"Aku sedang ingin mengerjakannya, mumpung moodku juga baik." lanjut Gita
Seketika Sinta menutup laptop yang menyala sejak sore tadi, selepas mereka pulang kuliahnya lebih tepatnya. Gita seketika menatap tajam ke arah Sinta. Namun gadis itu tidak gentar.
"Lihat, bahkan makananmu sore tadi tidak kau sentuh sama sekali."
"Aku tidak lapar Sinta." jawab Gita santai seraya membuka laptopnya lagi.
"Kau ini kenapa sih? Selalu begini." Sinta frustasi
"Berpikirlah bahwa ini baik." jawab Gita seraya terkekeh.
Sinta mengusap kasar wajahnya. Ya, dia kenal Gita sejak awal masuk kuliah. Dan beginilah dia, jika semangatnya menggebu gadis ini bahkan sampai lupa daratan, lupa makan, terlalu terfokus dengan apa yang ia kerjakan dan lakukan. Lebih tepatnya tentang apa yang ia pikirkan dan inginkan.
Terkadang juga sebaliknya. Pernah satu ketika Gita sangat malas, jangan kan untuk mandi, bangun dari tempat tidurnya pun susahnya setengah mati. Sinta tahu hal itu pasti terjadi saat Gita bermimpi buruk, atau sekedar teringat masa lalunya.
Sinta turun dari tempat tidur dan mengambil piring berisi nasi goreng yang mereka beli sepulang dari kampus, atas permintaan Sinta tentunya. Di sendoknya sedikit nasi dan mengarahkannya pada Gita.
"Makan ya, beberapa suap saja." bujuk Sinta
Gita hanya menggeleng, "Tidak lapar Sin."
"Bahkan dari pagi perutnya hanya terisi air mineral saja, kau ini, kalau ingin jadi dokter harus menjaga kesehatanmu sendiri dulu."
Ucapan Sinta berhasil membuat Gita berhenti barang sejenak. Gita terkekeh melihat muka cemas sahabatnya itu. Di ambilnya piring yang Sinta bawa, membuat gadis manis itu tersenyum cerah barang sedetik, sebelum Gita kembali meletakkan piring itu di sampingnya.
"Nanti ya sayang." gombal Gita.
Sinta menghela nafas, "Baiklah kalau begitu sekarang tidur ya? Ini sudah hampir pagi Gita."
"Sebentar lagi, tidurlah dulu."
Lagi dan lagi. Dengan hati kesal Sinta kembali ke tempat tidurnya. Dipandanginya Gita secara seksama. Gadis itu, walau Sinta tidak pernah tahu apa yang telah Gita alami, Sinta yakin itu adalah hal yang berat.
Pernah satu ketika Sinta di kejutkan dengan teriakan minta tolong dari mulut Gita barang sekali. Ya, Gita mengingau, entah apa yang datang di mimpinya, namun gadis itu selalu menangis dalam tidurnya. Padahal, dalam keseharian Gita di kenal sebagai gadis yang murah senyum, banyak candaan yang selalu ia lontarkan hanya untuk menghidupkan suasana.
Senyum palsu? Mungkinkah? Apakah Gita selama ini hanya berpura pura bahagia? Lantas untuk apa? Padahal Sinta bersedia meminjamkan telinganya, bersedia menyediakan pundaknya jika memang itu yang Gita butuhkan.
Sinta menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Ya, dia belum mengenal jauh tentang seorang Gita. Jika saja dia tahu, jika saja Gita ingin berbagi, dia tidak akan kebingung harus bagaimana bukan? Menghadapi seorang Gita tidaklah semudah yang kalian bayangkan.
Mood yang naik turun dengan cepat, terkadang membuat Sinta harus ekstra hati hati dalam bertindak. Jika sekali saja salah melangkah, kalian akan menyesalinya, atau bahkan berujung membenci seorang gadis dengan senyum manis bak malaikat pelindung. Percayalah, Gita semisterius itu di mata seorang gadis blasteran sunda-jawa ini.
"Nah selesai." ujar Gita membuat fokus Sinta terpecah
"Kalau begitu tidur, kau tahu aku sangat terganggu dengan suara ketikkan jarimu itu."
Gita terkekeh, "Astaga, baiklah gadis manis aku akan tidur sekarang."
Sinta tersenyum setelahnya, dan mulai kembali memejamkankan mata. Sedangkan Gita? Gadis itu merebahkan tubuhnya dan kembali asyik dengan ponselnya. Bukan tidak ingin, namun tidak bisa, dia memilih membaca beberapa cerita di ponselnya agar matanya lelah dan kemudian tertidur.
****
"Wow! Bukan kan pembahasan kali ini cukup menghebohkan? Orang gila? Mengerikan." ujar Sinta.
"Bagian mana yang mengerikan?" Gita mendudukkan dirinya tepat di hadapan Sinta
Mereka baru saja menyelesaikan kelas psikologi siang ini, dan bermaksud makan siang di kantin kampus. Gita menyeruput es teh manis dihadapannya sembari menunggu penjelasan lebih lanjut dari Sinta.
"Tidak bisa mengendalikan diri hingga menjadi ODGJ (orang Dengan Gangguan Jiwa), bukan kah itu mengerikan, astaga aku merinding dari awal kelas sampai sekarang! Lihat"
Sinta mengulurkan tangannya di hadapan Gita, gadis manis itu hanya tersenyum mendapati kelakuan sahabatnya yang ia anggap cukup berlebihan. Ya, bukan kan terlalu berlebihan jika ketakutan hanya karena membahas tentang pelajaran jiwa?
"Kau takut pada orang gila?" tanya Gita yang di jawab dengan anggukan mantap dari Sinta
Gita tertawa, "Kalau begitu itu disebabkan karena rasa takutmu sendiri."
Sinta kembali menarik tangan nya yang sedari tadi terulur. Gadis ini memang sejak kecil takut dengan yang namanya orang gila. Menurutnya orang gila itu menjijikkan, kotor, tidak bisa tenang, memukul sembarang benda, bahkan makan apa yang ada di tempat sampah.
"Lagi pula, mereka begitu bukan tanpa sebabkan. Orang di nyatakan mempunyai gangguan kejiwaan kan banyak sebab, selain keturunan juga dari pengalaman pengalaman buruk mereka bukan? Jadi ubahlah cara pandangmu itu, ingat kau calon dokter." ujar Gita disertai tawa di sela kalimat yang dilontarkan
"Astaga, baiklah baiklah, berhentilah menertawakanku."
Gita mengangguk seraya berusaha menghentikan tawanya. Sinta memandang Gita dalam, ingin rasanya dia bertanya tentang apa yang selama ini mengganjal dihatinya. Terlebih setelah kelas jiwa tadi, semakin tinggi rasa pernasarannya terhadap gadis manis yang sedang mentertawakannya ini.
"Mm, Git."
"Ada apa? " jawab Gita seraya meminum es teh manis miliknya.
"Aku mendengarmu mengigau semalam, tidak tidak, hampir tiap malam. Aku tahu mungkin ini terdengar lancang, tapi, jika kau mau aku bisa menjadi pendengar yang baik untukmu. Jangan salah paham aku hanya ingin mencoba membantu meringankan bebanmu, kau tahu kat-"
"Aku tahu." potong Gita
Gita menghela nafasnya. Ya, seharusnya ia sadar akan hal ini. Tidak mungkin jika mimpi yang ia alami setiap malamnya tidak membuat kegaduhan. Dan ia juga sadar, tidak mungkin pula Sinta tidak pernah mengetahuinya. Mendengar Gita memotong ucapannya tadi membuat Sinta sedikit takut melanjutkan ucapannya. Mereka terdiam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing masing.
Kalaupun Gita mau, ia bisa saja bercerita panjang lebar, ia tahu, bahwa Sinta tentu saja akan menjadi pendengar yang baik dan bijak untuknya, melihat selama ini mereka tidak pernah mendapatkan masalah yang tidak bisa diselesaikan secara baik. Namun, logikanya menolak, menolak untuk dikasihani lebih tepatnya.
Gita lebih suka seperti ini, mereka yang mengenalnya hanya tahu bagaimana dirinya saat ini, bukan masa lalunya, bukan pula kelemahannya. Gita ingin dikenal sebagaimana gambaran manusia sempurna yang berusaha di ciptakannya dalam angan.
"Aku tidak memaksa git, aku hanya menawarkan diri saja."
Gita mengangguk mendengar ucapan Sinta. Ia baru saja tersadar bahwa beberapa menit yang lalu ia telah membuat sahabatnya itu menjadi serba salah. Niat baiknya tidak seharusnya di gantungkan begitu saja bukan?
"Aku tahu, tapi mungkin tidak sekarang." ujar Gita seraya tersenyum.