"...Akan datang masa di mana kita, hanya mampu berkeluh dan menyesal. Berharap do'a dapat memutar waktu..."
Nyawa dan Harapan by Raisa
*****
Anna sedang berada di dalam kamar asramanya. Ia mematut dirinya di depan cermin, sambil menempelkan gaun yang akan ia pakai saat wisuda nanti. Gaun crop top rancangannya sendiri. Atasannya dari bahan sequin dengan potongan leher bateau. Bawahannya high waist skirt warna nude peach berbahan chiffon dan dilapisi tulle warna senada.
Anna adalah putri dari pemilik perusahaan apparel retail - Invitex, Zulham Karim. Ia bersekolah di asrama putri International Boarding School Sapta Warna, Bandung. Anna tidak memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Sejak kematian ibunya saat Anna masih berusia 7 tahun, Zulham menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Hanya Om Kris, sekretaris ayahnya yang sering berkomunikasi dengannya perihal pendidikannya. Dua minggu lagi Anna akan wisuda, ia tak mengabari ayahnya sedikitpun tentang hal itu. Lagipula ayahnya pasti sudah mendapatkan informasi dari Om Kris.
Klak! Klek!
Suara handle pintu yang tidak berhasil dibuka karena pintunya terkunci.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu diketuk dengan keras dan tergesa-gesa.
"Anna! Kau didalam?" Itu suara Via, teman sekamar Anna. Anna mengunci kamarnya saat ia ingin bercermin dengan gaunnya tadi.
"Ya, tunggu Vi!" Anna menggantung bajunya ke dalam lemari kembali sebelum membukakan pintu kamar untuk Via.
Klak! Klek!
"Maaf Vi, tadi aku.." Belum selesai Anna menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Via memeluknya dan menangis tersedu.
"Hei - hei, apa yang terjadi Vi? Kenapa begini? Hm? Siapa yang berani menyakitimu? Coba katakan padaku?"
Via melonggarkan pelukannya, masih tersedu-sedu dan air matanya masih mengalir.
Anna mengangkat alisnya sebelah sambil menunggu jawaban Via.
"Anna.."
"Ya?"
"Tadi aku bertemu dengan Ibu Lifiana, beliau bilang..."
"Beliau bilang apa?"
"Anna, berjanjilah padaku."
"Janji? Janji apa?"
Via tidak melanjutkan ucapannya, Anna mencari-cari jawaban dari tatapan Via. Namun, yang terlihat adalah... kesedihan.
"Berjanjilah kau harus kuat... hm..." ucap Via akhirnya. Anna mengerutkan dahinya, ia tak mengerti.
"Anna.. ayahmu.. "
Bahu Anna merosot, wajahnya pias, tangannya gemetar. Ini bukan pertanda baik , batin Anna.
"Ayahmu... meninggal dunia."
Tidak..
Ini tidak mungkin..
Ia tak pernah tau ayahnya sakit..
Ia bahkan tidak berbicara dengan ayahnya selama.. Tidak..
Sejak insiden itu, ia tidak pernah benar-benar bicara dengan ayahnya. Semua komunikasi lebih banyak ia lakukan dengan om Kris, sekretaris ayahnya.
Ini tak mungkin kan?
Ini pasti mimpi, ya ini pasti mimpi...
Pasti mimpi...
*****
"Anna.. kau tak apa?" Via bertanya pada Anna yang hanya terdiam linglung.
"Tadi Ibu Lifia bilang, sekolah sedang mempersiapkan administrasi kepulanganmu. Kau hanya perlu berkemas"
"Iya, aku baik-baik saja." Anna tidak menangis namun sauara dan tubuhnya jelas gemetar. Perlahan ia berbalik, membuka lemarinya dan berkemas.
"Anna... " Via mencoba membantu Anna dan mengajak bicara Anna yang terlihat, kosong. Namun Anna tidak menjawab. Via menarik Anna dan mendudukkannya di atas tempat tidur, nafas Anna terlihat,
"Anna dengar aku"
"Aku... aku harus berkemas, Vi."
"Anna... lihat aku" Via memegang pipi Anna agar melihat kepadanya. "Dengar, masih ada aku. Oke? Semua pasti baik-baik saja. Kamu tidak sendirian, kamu harus kuat. Kamu masih punya aku... hm?"
Anna mengangguk, perlahan air matanya mengalir. Via menarik Anna dalam pelukannya. Anna tau itu tidak benar, kenyataannya ia benar-benar sendirian. Via dan dirinya sebentar lagi akan terpisah, Anna akan melanjutkan di London College of Fashion. Itupun jika ia tidak didepak pamannya. Satu-satunya keluarga yang tersisa adalah paman dari ayahnya, tapi hubungan keluarga mereka juga tak begitu baik. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana setelah ini.
*****
Anna sampai di depan rumahnya yang sudah penuh dengan tamu yang berpakaian serba hitam. Tidak mempedulikan tatapan-tatapan para tamu, Anna memasuki rumahnya. Sepanjang perjalanan tadi ia terus menangis, tak heran bila matanya sangat bengkak saat ini.
"Non Anna.." Nina Kepala ART dirumahnya yang pertama kali menyambutnya.
Anna tidak kuat lagi menahan emosinya, memeluk Nina dan menangis dengan histeris.
"Kenapa tidak ada yang menghubungiku, sejak kapan ayah sakit?!?" teriak Anna dalam tangisnya.
Nina ikut menangis sambil mengelus punggung Anna.
"Ayah pasti kesepian di saat terakhirnya."
"Kenapa tidak ada yang menghubungiku??!"
"Ayah cuma punya aku Ninaa... cuma punya aku.. " Anna tidak peduli dia menjadi tontonan para tamu pelayat.
"Tuan tidak ingin mengganggu konsentrasi non Anna ujian, non Anna yang sabar ya? Ayo lihat Ayah non Anna dulu untuk yang terakhir" Nina masih memeluk Anna yang terisak dan menggiringnya untuk melihat jenazah Zulham.
"Aku bisa sendiri. Ayah dimana?"
"Diruang tengah non"
Anna berjalan menuju ruang yang dimaksud Nina. Ia melihat jenazah ayahnya di sana.
Langkahnya semakin berat saat mendekati ayahnya, udara di sekitarnya terasa dingin, nafasnya terasa berat, pandangannya mengabur.
Anna jatuh pingsan sebelum bisa melihat ayahnya. Tapi seseorang menangkapnya sebelum terjatuh.