Ada sebuah gagasan yang muncul setiap aku memikirkan masa depan: "Pernikahan tidak lain hanyalah suatu perbudakan."
Ketika membaca buku tentang drama keluarga yang penuh lika-liku, kiat-kiat mencari pasangan hidup yang menjanjikan masa depan, atau antologi yang berisi perjuangan seseorang dalam menemukan jodoh, maka kau akan menemukan berbagai pesan yang tersirat dan berujung pada satu kesimpulan, yaitu menikah menawarkan kebahagiaan.
Menikahlah maka kau akan bahagia. Kurang lebih begitulah pesan yang para penulis itu coba sampaikan.
Bahagia karena ada seseorang yang selalu mengkhawatirkanmu, merasa beruntung karena ada seseorang yang menyambutmu dengan ucapan "selamat datang," atau menjadi termotivasi untuk melakukan yang terbaik ketika melihat wajah anakmu yang sedang tertidur.
Tapi, tunggu dulu.
Asal tahu saja. Kau bisa mendapat perhatian yang sama jika menginstal Love Plus di ponselmu. Dia bahkan tidak akan marah jika kau tidak khawatir balik padanya; dia benar-benar tulus dan tidak mengharap balasanmu. Lalu, kau juga bisa mendapat ucapan "selamat datang" ketika pergi ke rumah orang tuamu. Kalau tidak begitu, kau bisa saja pergi ke minimarket untuk mendapat ucapan "selamat datang" itu disertai senyum terbaik kasirnya sebagai bonus. Dan yang terpenting, jika mendapati wajah anakmu sedang tertidur saat tiba di rumah, itu artinya kau sudah diperas habis oleh jam kerja kantormu yang gila-gilaan.
Apakah itu yang disebut kebahagiaan?
Kebebasanmu akan benar-benar hilang ketika sudah menikah. Kau akan dipaksa untuk memperhatikan orang banyak meski dirimu sendiri masih mengkhawatirkan. Waktu yang seharusnya kau gunakan untuk hobi malah terpangkas habis oleh pekerjaan demi menghidupi keluargamu.
Wajah orang-orang yang mempertanyakan kebenaran dari kebahagian semacam itu akan menjadi suram hingga mirip seperti wajahku.
Jadi kuulangi lagi pertanyaan tadi. Apakah itu yang disebut kebahagiaan? Tentu saja bukan. Hal semacam itu tidak lain hanyalah suatu perbudakan.
Kesimpulannya: kita tidak butuh sesuatu seperti pernikahan! Yes!
Atau begitulah yang kutulis di lembar tugas ketika jam pelajaran terakhir.
Dan tentu saja, sekarang aku menyesalinya.
"Reiji ...." Reiko Asaba, siswi teladan di sekolah, memanggilku dengan suara datarnya.
Sekarang adalah jam pulang sekolah dan aku sedang berduaan dengan gadis cantik yang memakai jas lab di dalam ruang UKS.
Dia menyuruhku untuk tetap berdiri sementara dirinya sendiri duduk di kursi yang biasanya digunakan oleh guru pembina UKS. Lalu, sambil membenarkan posisi kacamatanya, Reiko menganggukkan kepalanya seolah memberi tanda "ayo dekati aku."
Di dalam ruangan tertutup ini, hanya tembok tipis yang memisahkan kami dengan dunia luar. Jika kau menjadi diriku, aku dapat memastikan bahwa pikiranmu akan dipenuhi oleh perasaan campur aduk yang biasa terjadi pada kisah komedi romantis.
Tapi seperti biasanya, kenyataan tidak selalu sama dengan apa yang kita harapkan.
Reiko mengibas-ngibaskan selembar kertas yang tidak lain adalah lembar tugas milikku. "Reiji, apa kamu ingat siapa aku?"
"Em, kamu ... kamu adalah murid teladan di sekolah."
"Benar. Aku adalah murid teladan di sekolah yang imut dan cantik." Dia mengulangi kata-kataku dengan menambahkan detail yang menjengkelkannya sangat tidak perlu. Kemudian, gerakan mengibasnya tiba-tiba berhenti. "Dan aku juga saudara kembarmu."
"Err ... kurasa begitu."
Tanpa perlu dijelaskan lagi, Reiji Asaba dan Reiko Asaba adalah saudara kembar, dan selalu berada di sekolah yang sama sejak TK hingga SMA. Karena itu aku tidak bisa memikirkan hal-hal berbau kisah komedi romantis meskipun suasananya sudah sangat mendukung.
Dan tentunya, ini bukanlah kali pertamaku berduaan dengannya di ruang UKS. Faktanya kami hampir setiap hari berada di tempat ini pada jam pulang sekolah. Itu karena aku dan Reiko merupakan anggota Komite Kesehatan, di bawah bimbingan Hamasaki-sensei selaku guru pembina UKS.
Sambil membuat helaan berat, Reiko menyilangkan kedua tangannya. "Kalau kamu ingat, hentikanlah sikap sok tahu dan anti mainstreammu itu. Sejujurnya itu sangat menjijikkan dan hanya akan membawa masalah."
"Membawa masalah? Jangan salah. Ini tidak seperti aku telah melakukan kesalahan atau semacamnya."
"Begitu? Lalu, apa maksud tulisan di lembar tugasmu ini? Beri aku penjelasan dalam tiga puluh kata." Dia mengatakan itu selagi tatapan merendahkannya mengarah padaku.
Gadis ini, sejak kecil selalu saja perhitungan. Apa dia seorang manajer di suatu perusahaan hitam? Sebagai saudaranya, aku jadi merasa kasihan pada suaminya di masa depan, yang kelak akan dibuat tertekan oleh sikapnya itu.
"Yah, bukankah kehidupan setelah menikah memang seperti itu? Maksudku, para suami akan dituntut bangun pagi dan pulang malam untuk bekerja. Jika ada libur, pasti hanya akan dihabiskan untuk tidur seharian."
Ngomong-ngomong, aku berhasil menjawabnya tepat tiga puluh kata.
Reiko tidak menunjukkan adanya tanda-tanda tidak setuju. "Memang. Tugas seorang suami adalah mendukung istrinya hingga akhir hayat."
Hmm, responsnya tidak jauh berbeda dari apa yang kubayangkan. Baginya, seorang suami kira-kira mirip dengan pegawai kantoran yang menjadi sapi perah perusahaan tempatnya bekerja.
Yah, saudaraku memang gadis yang seperti itu. Dia punya wajah cantik dan imut, nilai akademik yang baik, tapi sifat perhitungannya sangat tinggi. Dengan diberkahi berbagai kelebihan itu, menjadikannya terlihat layaknya perempuan terhormat dan akhirnya menjadi murid teladan.
Pandangan Reiko perlahan melembut. Dia lalu membuat helaan lagi, seakan berusaha memahami dunia yang tidak sempurna ini. "Yang jelas, ketika kamu melakukan sesuatu yang bodoh, entah kenapa malah aku yang selalu dipanggil ke ruang guru untuk dimarahi. Itu sangat memalukan. Kita ini tidak sedang memainkan drama Iblis Merah dan Iblis Biru."
"Iblis Merah dan Iblis Biru?"
Kalau tidak salah, itu merupakan sebuah dongeng yang pernah kumainkan saat TK. Cerita persahabatan antara Iblis Biru dengan Iblis Merah yang berakhir sedih hingga membuat para wali murid menangis. Tapi, aku tidak menemukan adanya kemiripan cerita itu dengan situasi saat ini, kecuali satu hal.
Aku tersentak karena terlambat menyadarinya. "Jadi maksudmu, wajahku ini suram seperti Iblis Merah itu?"
"Aku tidak bilang begitu. Aku hanya ingin bilang, kenyataan itu terkadang memang kejam."
"Itu sama saja!"
Kali ini Reiko memasang wajah pasrah selagi menaruh tangannya di kening seperti mendapat sakit kepala. "Kamu ini bodoh, ya. Maksudku, kamu yang melakukan kesalahan tapi malah aku yang dimarahi. Bukankah itu kejam?"
"O-oh begitu, ya. Kurasa itu memang sedikit kejam."
"Baguslah kalau sudah mengerti. Dan ngomong-ngomong, aku setuju kalau wajahmu itu memang suram. Sebaiknya kamu mulai berusaha untuk menghilangkan ekspresi mengganggu itu."
Reiko memasang senyum manis ketika berbicara, sangat berlawanan dengan apa yang sedang dia katakan. Jujur saja, dirinya saat ini sangat mirip dengan tukang bully.
Ketika aku merenungkan kata-katanya, dia memainkan kucir rambut hitamnya yang diikat samping, membuat aroma parfumnya bercampur dengan bau obat-obatan. Kemudian, Reiko pun mengeluarkan pukulan pamungkasnya.
"Caranya tidak sulit. Kamu hanya perlu bercermin untuk melihat wajah surammu itu. Setelah melakukannya beberapa kali, kamu pasti akan trauma dan memutuskan untuk memakai topeng selamanya."
"Sudah hentikan! Jangan terus-terusan membahas wajahku!"
"Kamu benar. Meskipun membahasnya berulang kali, wajahmu tidak akan bisa berubah."
Orang ini bicara apa, sih? Merendahkan orang lain juga ada batasnya, meskipun itu saudaramu sendiri. Dan sekarang, aku jadi bingung harus menjawab apa. Jika mengejek wajahku, bukankah artinya dia sedang menjelek-jelekkan wajahnya sendiri? Wajah kami ini terlampau mirip. Hanya saja, kami memiliki ekspresi yang begitu berbeda, dan ternyata itu sangat berpengaruh.
Namun dari kata-katanya sebelumnya, aku menemukan sebuah celah.
"Ya, ya, terserahlah. Tapi tadi kamu bilang kalau aku lebih baik mengenakan topeng, kan? Itu bukanlah solusi. Itu hanya usaha untuk menutupi bau busuk!"
Mendengar jawabanku yang menggebu-gebu, Reiko menyeringai. "Wah, wah, jadi kamu mengakui kalau dirimu itu memang busuk?"
Mungkin ini yang orang-orang sebut dengan menggali kuburan sendiri. Sial, gadis ini benar-benar menjengkelkan! Kalau saja bukan saudara, saat ini dia pasti sudah kuhajar!
Ketika sedang sibuk menghajar Reiko di dalam pikiranku, tiba-tiba pintu ruang UKS diketuk oleh seseorang dari luar.
"Maaf, Asaba-senpai?"
Suara gadis yang tidak dikenal memanggilku dari depan pintu, membuat pertempuran panjang kami berakhir. Setelah sekian lama, akhirnya dunia kembali damai.
Hening.
Ada jeda beberapa detik sebelum kami berdua kembali tersadar.
"Reiji, sepertinya ada domba tersesat yang ingin berkonsultasi denganmu."
Seperti yang dikatakan Reiko, gadis itu mungkin adalah salah satu pasien kami. Komite Kesehatan bertugas untuk menangani segala masalah yang berkaitan dengan kesehatan murid. Ketika aku mengatakan kata segala, memang begitu kenyataannya. Apa yang kami tangani tidak hanya terbatas pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan psikologis.
Namun entah sejak kapan, masalah percintaan mulai termasuk dalam kategori penyakit kejiwaan. Maksudku, seperti yang sudah-sudah, orang-orang ini kebanyakan datang untuk meminta saran mengenai kehidupan asmara mereka. Asal kau tahu, aku bahkan belum pernah sekali pun memiliki hubungan dekat dengan perempuan selain Reiko (a.k.a si manajer perusahaan). Jadi aku hanya menjawab mereka berdasarkan cerita cerita dari pasien sebelumnya—yang kebanyakan berakhir tragis—ketika ditanya hal-hal semacam itu.
Aku mengangguk untuk merespons kata-kata Reiko sambil buru-buru memakai jas lab yang tergantung di sudut ruangan.
"Iya, silakan masuk."
Setelah selesai memakai jas lab dan duduk di meja kerja, aku pun menjawabnya.
"Permisi."
Pintu ruang UKS terbuka, lalu seorang gadis menyelipkan tubuhnya dari celah tersebut.
Gadis itu terlihat sedikit gelisah ... atau mungkin gugup? Tatapan cemasnya menjelajahi seluruh penjuru ruangan. Dia lalu dengan pelan mendudukkan dirinya di kursi yang sudah kusediakan, atau lebih tepatnya, di depanku.
Di sekolah kami, setiap angkatan dapat dikenali dengan warna pita yang menempel di seragam. Pita gadis ini berwarna hijau. Itu artinya, dia merupakan siswi kelas 1, dan dengan kata lain, 1 tahun di bawahku. Jadi agar lebih mudah, aku akan menyebutnya Kouhai-chan.
Masih berada di meja Hamasaki-sensei, Reiko terlihat sedang membaca bukunya seperti memberikan ruang bebas bagi Kouhai-chan agar lebih nyaman saat berkonsultasi.
Melihat situasinya sudah tenang, sesi konsultasi pertama hari ini pun dimulai.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" Aku memasang wajah serius seperti psikolog sekelas Les Parrott, tapi kata-kata yang keluar dari mulutku malah sekelas penjual rebusan di bawah kolong jembatan.
Wajah Kouhai-chan merona. "Anu, Asaba-senpai, aku ingin meminta saranmu."
Meh, kalau itu aku juga sudah tahu. Maksudku, kau itu ingin meminta saran tentang apa? Apa pertanyaanku tadi masih kurang jelas? Sungguh konyol!
"S-Senpai? Maaf sudah membuatmu marah. A-aku tidak bermaksud begitu."
Whoa! Apa kamu seorang cenayang Seharusnya aku yang berkonsultasi denganmu, Kouhai-chan!
Tapi, tentu saja tidak begitu. Saat ini pasti wajahku sedang menampilkan ekspresi gusar yang membuat Kouhai-chan merasa tidak nyaman. Dan itu berada di luar kendaliku. Bisa kau bilang bahwa aku ini orang yang super sensitif terhadap hal-hal menjengkelkan.
Untuk mengembalikan suasana, aku memaksa diriku untuk tersenyum. "Y-yah, tenang saja, aku sama sekali tidak marah. Heheh."
Dan tampaknya, senyumku barusan malah menjadi bumerang karena Kouhai-chan semakin terlihat pucat. "Heheh. A-aku mengerti." Tapi, dia tidak menyerah. Dia berhenti sejenak dan menarik napasnya dalam-dalam, seperti sedang mengumpulkan kekuatan. Setelah dirasa cukup, dia lalu mengembuskannya. "Senpai, apa menurutmu laki-laki lebih suka dengan gadis yang tidak rumit? Seperti mudah diajak berkencan atau semacamnya."
Menurut pengalamanku, pertanyaannya barusan memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Itu karena pendapat yang dimintanya merupakan hal yang bersifat subjektif. Suka dan tidak suka selalu berkaitan dengan penggambaran ideal pada diri masing-masing.
Izinkan aku untuk menjelaskan.
Setiap laki-laki di dunia ini memiliki gambaran "gadis ideal" mereka sendiri-sendiri. Sangat mungkin—atau mungkin, pasti—jika gambaran itu berbeda di antara satu dengan yang lain. Tapi setidaknya, aku bisa menebak beberapa bagian yang harus ada pada "gadis ideal" yang diimpikan oleh para laki-laki, seperti: memiliki paras yang cantik, murid teladan di sekolah, berkepribadian lembut, mempunyai banyak bakat, dan err ... suka bersentuh-sentuhan.
Benar-benar sosok gadis yang ideal, bukan?
Namun, ideal hanyalah ideal. Sesuatu yang ideal tidak mungkin ada di dunia nyata. Sejak memasuki SMA, setiap laki-laki pasti memahaminya. Dan itu membuat cara berpikir mereka berubah, atau lebih tepatnya, terbalik. Sederhananya, gadis yang mereka sukai adalah gadis yang menurutnya paling ideal, meski memiliki kekurangan di sana-sini.
Selagi aku merenungi berbagai pemikiran itu secara mendalam, Kouhai-chan berbicara lagi.
"Dan sepertinya ... aku bukanlah tipe gadis yang seperti itu." Ketika mengatakannya, pundaknya menurun. "Jadi aku berpikir, sesuatu yang baik akan terjadi jika mencoba untuk berubah."
Tidak tahan dengan perkataannya, aku menatap matanya lekat-lekat. "Tidak. Aku pikir kamu tidak perlu berubah."
Mendengar jawabanku, mata Kouhai-chan melebar diiringi dengan gumaman, "Eh?" seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Dan untuk suatu alasan, wajahnya merona lagi.
Aku mencoba merangkai kata-kata di dalam kepalaku agar nanti bisa mencapai dasar hatinya.
Lalu, dengan satu batukan aku mulai berbicara. "Mengubah dirimu demi seorang laki-laki bukanlah keputusan yang tepat."
"...."
Kouhai-chan hanya terdiam, seolah berusaha mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulutku.
Tapi tentu saja, terdapat makna yang jelas dari kata-kata tersebut.
Seperti yang kubilang tadi, laki-laki memiliki cara berpikir terbalik. Kalau seorang laki-laki telah menyukai gadis tertentu, maka apa pun yang ada pada diri gadis tersebut akan menjadi sesuatu yang baik dan indah di matanya. Tapi itu juga berlaku sebaliknya. Singkatnya, jika sejak awal laki-laki itu tidak tertarik padamu, maka segala hal yang kau lakukan akan sia-sia saja.
Kesimpulannya: berubah demi laki-laki yang sejak awal memang tidak menyukaimu hanyalah membuang-buang waktu, tenaga, dan mungkin juga uang. Dengan kata lain, itu menjengkelkan.
Meskipun rumit, tapi adik kelasku ini seharusnya tidak perlu terlalu khawatir karena aku memiliki solusi untuk masalahnya itu.
"Daripada mencoba untuk berubah, lebih baik kamu berusaha menemukan seseorang yang menyukaimu apa adanya. Menurutku itu adalah pendekatan yang lebih baik."
Tidak ada yang salah dengan kata-kataku. Sebab itu aku berharap dia dapat benar-benar memahaminya. Di sisi lain, aku juga merasa lega karena bisa mengatakannya dengan mulus.
Dengan begini, masalah Kouhai-chan pun selesai. Itu terlihat dari wajahnya yang mendadak ceria, meskipun matanya sedikit terkaburkan oleh air mata. Lalu, dengan perlahan tapi pasti, bibir tipisnya tersenyum. Sesaat setelahnya, dia mengatakan sesuatu yang benar-benar berada di luar dugaanku.
"Terima kasih, Senpai. Sekarang aku sudah merasa lebih baik." Dia mengusap air matanya, dan kemudian menatapku balik lekat-lekat. "Kalau begitu, aku akan putus dengan pacarku, lalu ... aku akan mencari laki-laki yang seperti Senpai maksud!"
Aku sangat yakin kalau saat ini mulutku sedang menganga.
Kenapa? Kenapa malah begini? Jadi yang selama ini dia bicarakan itu pacarnya? Aku bisa-bisa bakal dihajar oleh pacarnya kalau sampai ketahuan! Ini gawat! Ini super gawat!
Sebelum sempat meralat kata-kataku, Kouhai-chan segera berdiri dan membungkuk untuk berterima kasih.
Hanya Reiko yang bisa membalasnya dengan anggukan. Sementara aku, cuma bisa
terdiam membayangkan nasib buruk yang akan segera datang.
Suara "klik" pintu ruang UKS menandai sesi konseling Kouhai-chan yang telah berakhir.
Untuk beberapa saat, suasana di ruangan ini menjadi sunyi. Seandainya ada peniti jatuh, pasti akan terdengar sangat jelas.
Kesunyian ini terus berlanjut, sampai sebuah suara bernada menyindir datang menghancurkannya.
"Aku tidak heran kalau belakangan ini banyak pasangan yang putus di sekolah kita. Ternyata penyebabnya adalah kamu. Meskipun aku sudah mengetahuinya sejak lama."
Ketika melihat ke sumber suara itu, aku menemukan Reiko yang sedang tersenyum lebar. Sepertinya dia baru saja menyaksikan kejadian paling membahagiakan dalam hidupnya.
"Itu salahnya sendiri karena tidak menjelaskan detail terpentingnya. Dalam hal ini aku tidak bersalah. Malah, bisa-bisa aku yang kena masalah!"
Di saat seperti ini, berpura-pura menjadi korban adalah strategi yang paling efektif
dan cerdas. Sial, aku ini memang jenius! Tapi hei, bukankah cara ini mirip seperti yang digunakan para politikus ketika terjerat kasus?
"Kamu ini–"
Suara pintu ruang UKS yang mendadak terbuka memotong kata-kata Reiko.
Pembicaraan kami seketika terhenti. Aku dan Reiko menatap ke arah pintu dan menemukan dua orang sedang berada di sana. Mereka adalah Hamasaki-sensei, dan satunya lagi, seorang gadis yang terlihat familier.
Di depan pintu, Sensei sedang menggendong gadis tersebut, yang kelihatannya dalam kondisi pingsan. Cara menggendongnya itu mirip dengan perjaka oportunis—dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pangeran—yang sering kau temui pada cerita dongeng.
Tidak ada yang aneh dengan pemandangan tersebut, hanya saja, Hamasaki-sensei itu juga seorang perempuan. Dan jika kau ingin penjelasan lebih lengkap, beliau adalah perempuan berumur hampir 30 tahun yang sampai saat ini belum menikah.
Melihat apa yang sedang dilakukannya, aku hampir saja keceplosan memanggilnya abang.