Chereads / Leyl, The Writer / Chapter 2 - Senin, Korban Pertama

Chapter 2 - Senin, Korban Pertama

Pagi, udara sejuk kota polusi masih bisa kuhirup pukul 6 dini hari. Hari pertama aku kembali ke sekolah setelah operasi. Untuk pertama kalinya aku berangkat sepagi ini, tidak terlalu terdengar suara klakson, suara teriakan penjual keliling, atau pengeras suara pertanda pedagang kaki lima yang biasanya memenuhi jalan sekitar sekolah.

Aku berjalan lambat menuju kelasku, aku merasakan hembusan angin meniup rambutku. Aku menatap lurus pemandangan sekolah di depan, sekolah elite yang tidak terkenal. Seketika aku geli membayangkan sekolah ini, bukan tak terkenal karena kualitasnya tapi karena kerahasiaannya. Meskipun terletak di pusat kota, tetapi hal ini tersamarkan oleh segala macam gedung-gedung menjulang tinggi yang bahkan jika memandangnya memang kita tidak akan pernah tahu gedung apa itu? Bukankah begitu? Mereka mengira ini adalah perusahaan asing yang mempekerjakan orang-orang jenius.

Gedung tinggi berkisar 20 lantai, jika dilihat dari luar tidak akan ada yang mengenali ini adalah sebuah sekolah, gedung kaca yang megah berbentuk silinder, bangunan modern. Mengingat ini didirikan 3 tahun lalu, artinya aku adalah siswa kedua dari angkatan siswa yang terdaftar di sini. Benar, belum ada yang lulus dari sekolah yang tidak memiliki standar apapun kecuali adalah dengan visi dan misi yang sangat berbeda dari sekolah lain. Kami bukanlah siswa yang belajar diperuntukkan untuk bekerja. Tetapi, di sini kami telah bertugas. Kami tidak memakai seragam SMA seperti yang lain, kami memiliki seragam khusus dengan atasan putih dan bawahan berwarna Dongker dilengkapi dengan almamater yang berwarna sama dengan bawahan.

"Hai, kenapa tidak menungguku." Peluknya, Leonard Petrov.

Kekasihku, lelaki berwajah Indo-Rusia dengan wajah tegas dan mata yang tajam berwarna hitam, beralis tebal, dan bibir yang tipis, kulit putih pucat seperti vampir. Rambutnya berwarna hitam pekat kontras dengan wajah putihnya yang seperti tak memiliki pigmen darah di sana. Dia pasti telah memarkirkan mobil sport merahnya sembarangan di halaman sekolah. Aku meliriknya, dan benar dia telah berlari dari arah pemarkiran mobil di tengah lapangan. Hanya dia yang dapat akses istimewa seperti itu.

Dia menahanku, menarik wajahku untuk menghadapnya, membelai pipiku dan menatapku tajam. Aku menatapnya dengan tatapan kosong, namun masih sedikit terfokus melihat matanya. Dia mulai mendekatkan wajahnya, kali ini aku benar-benar fokus dengannya. Terhanyut dalam tatapannya yang menghipnotis, dia mulai menarik tengkukku, dan membelainya lembut, wajahnya mendekat ke arahku. Perlahan kurasakan nafasnya mulai menyerbak hangat ke pipiku.

"Ahhhhh!!!"

Kami tersadar akan teriakan seorang siswi. Seluruh siswa dan siswi berlari menghampiri sumber suara, tak terkecuali aku yang segera berlari meninggalkan Leon dan menuju sumber suara. Leon mengejarku, menggenggam tanganku kemudian kami lari bersama mengikuti langkah seluruh siswa yang kini berbondong-bondong ke satu arah. XI IPA akselerasi, kelasku. Seluruh siswa telah berkumpul di depan pintu dengan kepanikan masing-masing. Beberapa keluar dan terlihat mual. Bau anyir dan busuk telah menyengat sebelum aku melihatnya. Pantas saja jika banyak siswa yang tak kuat dengan bau seperti ini. Beberapa guru meminta kami untuk menjauhi tempat. Bersama dengan terbukanya jalan untuk para guru. Kami mengikuti di belakangnya.

Deg!

Jantungku seperti berhenti berdetak. Bahkan bumi seperti berhenti berotasi. Deja vu, aku pernah melihat ini sebelumnya tapi dimana?

Mrs. Ani atau bisa juga dipanggil Nyonya Ani, guru matematika berusia 50 tahun. Berbadan gemuk, dengan tinggi sekitar 150 cm. Tegas, dan bersuara lantang. Kini terbaring dengan posisi aneh dan menyeramkan.

Tubuhnya membentuk sudut siku-siku, seperti menunjuk pukul 09.00, dengan lingkaran sempurna yang terbuat dari darah yang kini sudah mengering. Dari arah pintu kami tidak dapat melihat wajahnya yang miring ke kanan. Kepala sekolah mengamatinya tepat di depan jenazah Bu Ani. Aku dan Leon berjalan mendekat, mulai melihat wajahnya dan astaga...

Mulutnya terbuka penuh darah kering yang sepertinya mengalir hingga ke kemeja putih yang dibalut blazer hitam. Sepertinya darah itu berasal dari dalam mulut yang kini lidahnya telah terpotong. Dan dalam benakku yakin bahwa matanya yang kini melotot adalah hasil dari reaksi kesakitan yang amat sangat ia rasakan sebelum akhirnya nyawanya melayang. Serta mulutnya yang menganga adalah teriakan terakhirnya sebelum rasa sakit itu akhirnya membuat pertahanan Mrs. Ani kalah.

Jari-jarinya telah terpotong kecil-kecil. Sepertinya satu jari dibagi tiga sesuai ruas garisnya. Dari jari-jari tersebut di bentuk sebuah huruf

Leyl

Di seperempat lingkaran, dan di 3/4 lingkaran terdapat tulisan dengan darah.

Question.

Tubuhnya adalah petunjuk selanjutnya.

Ditulis oleh darah.

Tentu saja tubuhku merasa lemas dan dingin. Bayangan akan darah kembali melintas di kepalaku, serasa terdengar musik disturbing yang memekik telinga. Bahkan sekarang rotasi bumi benar-benar kurasakan. Jari yang telah membentuk huruf seperti bergerak dengan sendirinya. Terdengar suara teriakan Mrs. Ani yang tidak bisa mengucapkan kata tolong.

Aku memeluk Leon, seluruh suara seperti teredam. Hingga akhirnya.

"Semuanya pergi ke kelas masing-masing. Tutup seluruh gerbang, tidak ada yang boleh masuk bahkan siswa yang datang terlambat. Blok seluruh area sekolah. Tidak ada akses internet dan jaringan. Blok seluruh asrama. Tidak ada seorang pun yang bisa menyebarkan berita ini. Kasus ini akan kami tangani sendiri. Putus semua sambungan telepon. Bubar!"

Pinta kepala sekolah. Yang langsung ditaati siswa serentak. Kecuali satu siswi cantik, berwajah oriental, berkacamata dangan rambut lurus berponi pendek yang terbelah menjadi dua bagian, dan itu adalah tampilan yang pas untuk gadis Asia yang kini berdiam diri tepat di gawang pintu. Seperti biasa dengan tatapan dinginnya hanya berdiri tegak tanpa respon. Gadis misterius dengan segala kecerdasannya tanpa seorang pun yang mengetahui kepribadiannya.

"Aku yang membuka pintu, dengan kode sandi yang sudah dirubah dari sandi sebelumnya" ucapnya datar tanpa ekspresi.

Pakaiannya lebih rapih dari pada gadis lain, dia mengancing seluruh almamaternya hingga hanya terlihat garis V yang menyisakan kerah kemeja yang dibalut dasi berwarna merah bercorak garis putih tipis dengan bahan satin sehingga memberikan efek berkilau. Mungkin itu ciri khas dan budaya yang dilakukan ketika SMP di Jepang.

"Kalau begitu, kau yang harus menyelesaikan penemuanmu itu" lanjut kepala sekolah.

Gadis yang berada di gawang pintu itu hanya diam mematung. Kemudian menundukkan kepalanya tanda setuju, cukup lama berfikir untuk ukuran gadis cerdas berusia 17 yang ditugaskan kepala sekolah.

"Leon! Kamu sebagai pemegang seluruh sekolah! Silakan bertugas"

Aku tidak memahami setiap kata-katanya. Laki-laki yang berusia sekitar 55 tahun itu lalu melangkah keluar hingga berada tepat di hadapan Yoshie. Dia berhenti dan berbalik,

"Kau! Cari tau siapa dirimu"

Memandangku, masih dengan kata-kata yang tidak aku mengerti.

Beberapa siswa dengan seragam PMR membawa brangkar. Dengan sarung tangan serta seragam lab, ia membawa Mrs. Ani ke ruang lab berhati-hati. Tentu saja mereka tau prosedur apapun yang berkaitan dengan medis. Apalagi ini adalah kasus kematian yang jelas-jelas ganjil. Seseorang pasti telah membunuhnya dengan sengaja. Maka seluruh siswa-siswi pasti akan berhati-hati supaya tidak terlibat dalam kasus ini, termasuk pasukan PMR yang bahkan hanya ditugaskan untuk mengangkat jenazah Mrs. Ani dan memindahkannya.

"Sepertinya kerahasiaan sekolah ini lebih penting daripada nyawa seseorang atau bahkan daripada ancaman dari seorang pembunuh"

Kami sontak kaget. Gadis berambut hitam dengan kacamata yang menancap di sela-sela rambutnya tiba-tiba berdiri di sampingku, berbicara tanpa menatap mata lawan bicaranya. Begitu cara Yoshie berkomunikasi. Tetapi semua kata-katanya akan sinis dan tajam untuk menyindir seseorang. Jelas kalimat kali ini pun ditujukan kepada Leon. Pemilik sekolah yang seakan menyetujui bahwa kasus ini harus diselesaikan sendiri.

"Apa maksudmu Yoshie?" Jawab Leon yang hanya melirik Yoshie enggan. "Jika kau keberatan untuk menangani kasus ini, kau bisa menolaknya. Dan biar kuhubungi Daddy untuk mengurus semua masalah ini. Jangan mentang-mentang kau cerdas lalu kami akan bergantung padamu."

Aku hanya mengalihkan pandangan bergantian terhadap keduanya. Aku berada di tengah-tengah mereka, tentu saja. Yoshie mengerti akan memilih untuk menjaga jarak dengan Leon karena ada aku. Meski gadis itu seperti tak tertarik dengan laki-laki tapi Leon bukanlah orang yang tidak bisa menarik hati Yoshie. Dan lagi, hubunganku dengan Yoshie sangat tidak seimbang.

Yoshie masih memandang lurus ke depan, memandang lantai putih yang kini bercecer penuh darah memperhatikan dengan seksama para PMR yang bertugas. Hingga kakinya melangkah dan melakukan sesuatu yang kami tidak tahu. Dia menyemprotkan sesuatu pada bercak darah di bagian lingkaran dan tulisan. Dan seketika cahaya biru muncul. Kami masih menunggu kabar selanjutnya dan penjelasan dengan apa yang telah dilakukan Yoshie. Tampak beranjak Yoshie masih berada dua langkah di depan kami. Tepat sepatunya nyaris menyentuh lingkaran darah.

"Tidak banyak luka yang terbuka,  tapi begitu banyak darah yang bisa direkayasa. Sepertinya ini permainan untuk kita, dan siap-siap bahwa kita akan menemukan kasus serupa!"