Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Serratula

Carafe
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.3k
Views

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Bab satu

I could try to smile to hide the truth

But I know I was happier with you~

***

"Aiden D. Abhivandya," eja seorang lelaki berseragam putih abu-abu yang tengah berdiri di hadapan cermin yang berada di kamarnya. Berulang kali ia menggumamkan nama yang tertera di dada kanannya tersebut. Sesekali mengusap kemejanya, sambil menghembuskan napas berat. Lalu matanya terarah pada jam kecil di atas meja. "Mampus, telat," desahnya.

Ia meraih tas sekolah, berjalan cepat ke arah pintu dan membukanya dengan satu sentakan cepat. Lalu menuruni anak tangga dengan langkah tergesa, mengagetkan mama dan kakak perempuannya yang tengah duduk di kursi meja makan.

"Kenapa? Kenapa?" panik kakaknya yang sedang menggenggam segelas susu dengan kedua tangannya.

Meski penampilannya saat ini sangat tidak manusiawi— jubah kebesaran, rambut hitam panjang yang acak-acakan, wajah mengantuk dan sesekali menguap lebar sembari menggaruk wajahnya— Andina Regita yang lebih tua tiga tahun darinya adalah seorang selebgram yang cukup terkenal dengan followers mencapai ratusan ribu.

"Telat," sahut Aiden sembari menghampiri mama, meraih tangannya lalu menciumnya. "Aiden pergi," ujarnya.

"Sarapan dulu, Den," ujar mama sambil menyodorkan piring berisi beberapa tangkup roti selai. "Kamu tau kan sarapan itu paling penting. Kamu itu udah kurus banget, mau jadi tulang berjalan?" omelnya.

"Aku telat, ma. Sekarang udah jam...," ia melirik jam tangannya dan terkesiap, "Mampus, aku udah telat banget, ma. Mama nggak mau kan kalau aku ngebut sepanjang jalan? Dah ma!" Aiden bergegas pergi setelah menyambar kunci motor dan menghilang di balik pintu.

"Kamu inget jalan ke sekolah kan, Den? Nggak lupa?!" teriak mama karena Aiden sudah berlari ke luar rumah.

"Inget kok, ma!" jawabnya setengah berteriak dari arah luar.

"Yaudah, Hati-hati ya!"

Aiden berjalan dengan cepat menuju carport tempat motor sport hitamnya terparkir. Ia melirik jam tangannya sekali lagi. Lalu mendesah pelan. Sudah pasti ia harus ngebut ke sekolah. Bisa-bisa reputasinya sebagai murid baru hancur hanya karena ia telat di hari pertamanya.

Aiden meraih helm yang di sangkutkan di stang motor sembari menaiki motornya. Setelah memakai helm, Aiden menyalakan motor dan melesat jauh meninggalkan pekarangan rumahnya. Mengenai kepindahannya ke sekolah baru, Ia sendiri tidak mengetahui apa alasannya.

Dua puluh menit kemudian, Aiden sudah tiba di sekolah barunya di daerah Kebayoran Baru. Setelah memarkirkan motornya, Aiden melangkahkan kaki di koridor sekolah. Ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Memperhatikan para siswa yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang berlalu lalang, berkerumun, menatap layar ponsel, saling mengobrol dan tertawa dengan suara keras. Lalu saat Aiden melewati mereka, mereka memberi senyuman dan menyapa Aiden dengan ramah. "Hai, kak Aiden!"

Aiden mengangguk sekilas dan kembali berjalan. Lalu detik berikutnya Aiden  mengerutkan dahinya, bingung. Dari mana mereka tahu nama Aiden?  Bukankah hari ini adalah hari pertama Aiden masuk sekolah? Atau mungkin mereka juniornya sewaktu di SMP dulu?

Aiden merasakan kepalanya tiba-tiba pusing. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering merasakan pusing yang berlebihan, apalagi saat melihat keramaian atau terlalu banyak berpikir.

"Aiden!" sapa seorang gadis cantik bertubuh tinggi semampai, berambut panjang, bermata coklat, dan berkulit putih. Senyum manis yang menghiasi bibirnya menambah keelokan rupanya. Ia terlihat sangat antusias menatap Aiden.

Aiden mengerutkan dahinya, bingung. Seolah bertanya Siapa?

"Ehm ...." Gadis itu menggaruk tengkuknya. "A ... na-nama kamu Aiden, kan?" ia agak tergagap lalu melirik name-tag di dada kanan Aiden.

Aiden mengangguk, dan tersenyum hambar.

"Kenalin, aku Serena." Gadis itu tersenyum lebar seraya menyodorkan tangannya pada Aiden.

"Oh," sahutnya singkat lalu menjabat tangan Serena.

"Kamu mau ke ruang tata usaha, kan? Pasti bingung nyari ruangannya dimana ya? Biar aku anter." Serena menarik lengan Aiden dengan tiba-tiba. Aiden mengangkat sebelah alisnya, bingung. Tetapi Aiden juga tidak menolak bantuan Serena. Ia mengikuti langkah Serena meski menurutnya tingkah gadis ini sangat aneh, sok akrab dan sok asik.

***

Mouryn melangkah keluar dari rumahnya di Casa Goya dan menarik napas dalam-dalam. Ia mengeluarkan iPod dan memasang earphone ke telinganya guna mendengarkan sebuah rekaman yang sering kali ia ulang.

Saat Mouryn mengangkat wajahnya, ia dikagetkan dengan keberadaan Vero yang sudah duduk di atas motor sport berwarna merah.

Vero tersenyum lebar sambil mengulurkan helm kepadanya. "Udah siap kan? Ayo."

Mouryn mengangguk, meraih helm di tangan Vero, dan mengenakannya. Kemudian ia naik di boncengan dan Vero mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

"Muka lo kusut amat, Ryn. Kayak belum disetrika," gurau Vero menatap Mouryn dari kaca spion saat mereka berhenti karena traffic light berwarna merah.

"Ve-Ver...." Mouryn berdeham sejenak karena mendengar suaranya bergetar. "Gue nggak tahu harus gimana, Ver," desahnya. Seperti biasa matanya selalu berkaca-kaca setelah mendengarkan rekaman itu. Mouryn tidak tahu kenapa ia bisa secengeng ini.

Vero hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi kemudian ia meraih tangan Mouryn, menepuknya pelan seolah memberi Mouryn kekuatan dan memberi tahu pada gadis itu bahwa apapun yang terjadi ia akan selalu berada di sisi gadis itu. Bagaimanapun juga Vero ikut andil dalam masalah ini. Benar, tingkah bodohnya membuat Mouryn terluka. Bukan hanya Mouryn tetapi semua sahabatnya ikut merasakan luka.

Vero kembali melajukan motornya saat traffic light kembali berwarna hijau, dan Mouryn kembali larut dalam pikirannya.

Motor mereka sudah memasuki area parkir sekolah, hal tersebut menyentak Mouryn untuk kembali ke alam sadar. Ia menarik napas panjang sebelum turun dari motor. Waktunya melupakan semua masalah pikirnya. Ia pun harus terlihat ceria seperti biasa.

Ketika ia dan Vero menyusuri koridor kelas, Mouryn tersentak saat melihat sosok lelaki di depan sana. Langkahnya terhenti. Meski lelaki itu membelakanginya, Mouryn bisa tahu siapa laki-laki itu.

"Ver ... ada dia," gumam Mouryn pelan, Vero menoleh mengikuti arah tatapan Mouryn.

"Mau nyamperin?" tanya Vero memastikan.

Mouryn menggeleng, "Nggak usah, nanti dia bingung."

Vero mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Yaudah, langsung ke kelas aja yuk." Ia menarik tangan Mouryn.

Langkah Mouryn kembali terhenti ketika melihat seorang gadis menyapa lelaki itu dengan akrab. Gadis itu, gadis yang sangat Mouryn kenal. Senyum gadis itu mengembang dengan sempurna. Lalu mereka bergandengan, dan menjauh tanpa tahu ada seorang yang memperhatikan mereka. Vero yang menyaksikan itu hanya bisa meremas pundak Mouryn seolah memberi kekuatan, dan merangkulnya menuju kelas.

***

Love,

Cara💜