Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Third Eye(Sebuah Cerita Mengenai Kematian) (Tamat)

🇮🇩mayhard20
10
Completed
--
NOT RATINGS
55.4k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Part 1 Awal Mula

Hanes adalah seorang anak SMP berusia 15 tahun. Ia terlahir tanpa mengetahui siapa sebenarnya kedua orang tuanya. Hanes dibesarkan oleh seorang tua bernama Purnadi. Menurut orang tua angkatnya, Hanes ditemukan di depan rumah, di bawah rintik air hujan pada malam Jumat kliwon. Hanya ada secarik kertas yang berisikan sebuah pesan agar Purnadi merawat anak yang ia temukan ini dan memberikannya nama Hanes. Tidak lupa, beberapa gepok uang ratusan ribu dan sejumlah perhiasan dari emas pun terselip di bawah keranjang bayi tersebut.

Hari ini hujan turun dengan derasnya. Air hujan tersebut mulai menyirami bumi dan juga isinya. Kakek tua bernama Purnadi sedang duduk di teras depan rumahnya sembari menikmati kopi hitam dan selinting rokok nifah yang ia racik sendiri. Ia kembali teringat dengan kejadian 15 tahun lalu. Di mana saat hujan turun dengan deras seperti ini, ia mendengarkan tangisan seorang anak kecil di depan rumahnya. Di depan rumah Kakek Purnadi, terdapat sebuah batang besar yang sering disebut orang-orang sebagai pohon beringin. Kakek tua Purnadi dulunya adalah seorang pensiunan tentara zaman orde baru. Pak Purnadi pun tubuhnya sudah mulai menua dan mulai sakit-sakitan. Pak Purnadi membesarkan anak yang ia temukan malam itu dengan sebuah wasiat yaitu menjaga sang anak sampai ia dewasa. Kakek Purnadi membesarkan Hanes dengan berbekal uang dan juga sejumlah perhiasan yang dititipkan untuknya.

Kakek Purnadi kemudian memanggil seorang anak laki-laki yang kini baru selesai mandi. "Hanes ... Hanes ... sudah selesai belum mandimu itu? Kesini sebentar, kakek mau mengatakan sesuatu." terdengar suara bergegas dari arah dalam. Kemudian keluarlah sesosok pria muda berumur 15 tahun dengan mengenakan celana pendek dan secarik kaus dalam berwarna hitam.

"Kakek memanggil aku?" tanyanya heran.

"Pletak!"

Sebuah jitakan kemudian mendarat dengan selamat tepat di atas kepala Hanes. Pria muda ini hanya bisa meringis dengan apa yang didapatkannya setelah berbicara seperti itu dengan sang Kakek. "Aduh ... sakit, Kek! Kakek masih saja suka menjitak kepalaku," sungutnya kesal.

"Makanya jangan banyak tanya kalau dipanggil orang tua! Kamu sudah mandi atau belum?" selidik sang kakek.

"Iya sudah, Kek. Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk, Kakek?" bocah ini kemudian kembali bertanya.

"Kau duduk dulu di sini!" sembari menunjuk sebuah bangku dari akar rotan yang berada di hadapan sang kakek.

"Baik, Kek." Pria muda ini pun mengangguk dan kemudian duduk di hadapan sang kakek. "Umurku sekarang sudah sangat tua, kau tahu? Kau belajarlah dengan rajin di SMA tempatmu yang sekarang ini. Aku tidak mau lagi mendengar kau berkelahi dengan anak seusiamu atau melakukan tindakan konyol lainnya. Kau itu aku didik sebagai calon tentara seperti aku nantinya dan untuk mewujudkan hal itu semua. Kau haruslah memiliki otak yang cukup pintar. Karena aku tidak memiliki banyak uang untuk menjadikanmu tentara instant. Kau paham?" Kakek Purnadi terlihat mulai berbicara serius dengan Hanes sembari memberikan wejangan dan nasihat.

Hanes pun terdiam dengan muka tertunduk ke bawah. "Maafkan aku, Kakek. Aku janji ... aku tidak akan seperti dulu lagi. Aku akan menjadi anak yang baik dan patuh kepada guru-guruku di sekolah."

"Benar begitu?" selidik sang kakek.

"Ia benar, Kek. Aku janji kepada Kakek dan tidak akan membuat Kakek malu lagi."

"Baguslah kalau seperti itu. Aku sudah tua, Hanes tidak ada yang bisa memprediksi berapa sisa umurku, bahkan untuk berjalan jauh pun aku tak kuat lagi. Beruntung aku masih memiliki banyak tabungan dan juga titipan dari orang tuamu."

"Titipan? Titipan apa itu, Kek? Kakek selama ini tidak pernah menceritakan apa pun tentang kedua orangtuaku. Malah ... jika aku bertanya mengenai hal tersebut. Kakek hanya bilang bahwa kedua orangtuaku sudah lama membuangku?" kini gantian sang kakek yang diberikan banyak pertanyaan oleh Hanes.

Kakek Purnadi pun berdiri dan mengeluarkan sebuah surat dari balik ikat pingang besar yang ia pakai, ikat pinggang ini dapat menyimpan uang dan beberapa catatan. Hal ini juga yang membuat Kakek Purnadi sering menyimpan barang berharganya di balik ikat pinggang ini. Kakek Purnadi pun memberikan sebuah catatan kepada Hanes. "Aku menemukan kertas ini ketika menemukanmu di depan rumah, bacalah sendiri surat ini nanti kau akan mengetahui, apa sebenarnya yang dimaksud dengan titipan tersebut."

Hanes dengan cepat mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya perlahan-lahan, tidak terasa air mata mengalir dari kedua bola mata Hanes. Kini ia mengetahui apa yang dimaksud dengan titipan tersebut, di dalam surat tersebut dijelaskan, bahwa nama Hanes adalah pemberian dari orang tua Hanes sendiri. Ia juga dititipi sebuah kalung dari platina bermotif bintang dengan nama Hanes di bandul kalung tersebut. Kini ia menyadari bahwa Kakek Purnadi adalah orang yang dititipi Hanes ketika ia masih bayi saat itu. Hanes dititipkan dengan diberikan uang dan juga sejumlah perhiasan untuk kehidupan Hanes di masa depan. Selama ini, Hanes tidak pernah curiga dengan Kakek Purnadi yang tidak pernah berkerja, tapi selalu memiliki banyak uang. Alasan Kakek Purnadi yang paling masuk akal baginya adalah bahwa ia memiliki gaji pensiunan.

Tapi Hanes muda tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Baginya Kakek Purnadi adalah orang tua kandungnya. Ia tidak menganggap kedua orang tua kandungnya sebagai orang tua yang layak untuknya. Jika bukan karena sosok tua Kakek Purnadi, tidak mungkin ia bisa hidup selama 15 tahun sampai sekarang ini, pikir Hanes. Hanes sadar bahwa Kakek Purnadi sudah menganggapnya seperti cucunya sendiri, walau orang tua ini terkadang keras dalam mendidik kehidupannya. Tapi Hanes bersyukur mendapatkan keluarga seperti Kakek Purnadi. Kakek tua ini hanya tersenyum dan kemudian memeluk Hanes dengan erat sembari terisak, keduanya pun berpelukan siang hari itu, hingga tidak terasa hujan pun berhenti turun dan matahari sore mulai kembali menunjukkan mukanya kepada dunia.

Kehidupan Hanes tidak selamanya akan indah, tiga bulan berlalu sejak kebenaran itu terungkap. Kakek Purnadi kian memburuk kesehatannya, sakit diabetes dan komplikasi heartstroke yang ia miliki sejak usia 45 tahun, kembali menunjukkan kondisi yang lebih buruk. Hingga akhirnya, Kakek Purnadi pun meregang nyawa dan kembali kepada sang maha kuasa, tangis kesedihan mewarnai kehidupan pelik dari seorang Hanes. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi, sosok orang tua yang ia sayangi kini telah tiada lagi di dunia ini. Hidup Hanes tampaknya ini tidak berpihak kepadanya sekali lagi.

Setelah Kakek Purnadi dikebumikan dan para pelayat pun pulang ke rumah masing-masing. Hanya tersisa, Hanes sendiri yang meratapi nasibnya yang buruk, di luar hujan disertai angin begitu deras terdengar, aliran listrik pun berhenti mengalir dan menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita. Hanes berada di dalam rumah dengan hanya tersisa ruang kosong, di mana biasanya Kakek Purnadi akan sekedar menonton televisi dan meminum kopi hitam hangat yang selalu ia minum setiap harinya. Hanes pun kehilangan canda tawa dari sang kakek yang selama ini membesarkannya. Hanes pun merasa kegalauan dan kegundahan di dalam hatinya, terbersit sebuah pikiran kotor untuk segera mengakhiri hidupnya. Hanes berpikir, bahwa dunia ini benar-benar tidak menginginkan ia hidup bahagia. Dari semasa kecil ia sudah dibuang, kemudian diasuh oleh Kakek Purnadi, hingga kemudian hari ini tiba, hari di mana Kakek Purnadi tidak bisa menemani hari-harinya lagi.

Petir menyambar-nyambar dengan keras dari atas sana. Langit juga terlihat sangat gelap di antara hujan yang turun sangat lebat kali ini. Listrik pun sudah padam dari tadi, hanya menyisakan seorang anak muda yang menangis dalam kepiluan hatinya. Entah setan mana yang sudah membisikkan kata-kata dan pikiran buruk untuk segera mengakhiri hidupnya. Hanes mulai berjalan ke arah dapur yang cukup gelap sembari mencari sebuah pisau untuk mengakhiri hidupnya. Hanes kehilangan akal sehat yang ia miliki setelah kehilangan seorang yang ia hormati dan ia sayangi sebagai keluarga.

Pikiran untuk bunuh diri berkecamuk di dalam otaknya sendiri. "Haruskah aku menyusul kakek yang sudah pergi terlebih dahulu ke alam sana?" tanyanya kepada dirinya sendiri. Sembari terisak, Hanes pun mengambil pisau besar yang biasanya digunakan untuk memotong daging. Ia kemudian mengenggam pisau itu dengan erat. Tanpa pikir panjang, ia pun menebaskan pisau besar tersebut ke arah lehernya.

Tiba-tiba kejadian aneh terjadi, tangan Hanes berhenti bergerak tepat di depan lehernya, sebelum pisau besar tersebut menebas lehernya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya untuk sementara waktu, kemudian tangan ini bergerak sendiri dan melemparkan pisau besar tersebut ke arah jendela.

"Prang!!!" terdengar suara kaca jendela yang pecah.

Masih dalam kebingunganya, Hanes memandangi kedua tangannya lekat-lekat. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Mengapa ia tidak bisa bunuh diri? Padahal sebenarnya ia sangat menginginkan kematian? Apakah ini takdir? Atau ada hal lain sebenarnya yang terjadi? Masih dalam kebingunganya tersebut, Hanes kembali memutuskan untuk mencoba bunuh diri sekali lagi. Kali ini ia mengambil sebuah tali tambang yang ia dapatkan dari dalam gudang penyimpanan di rumah ini. Tali tambang itu, ia ikatkan di atas plafon rumah dengan bantuan menumpuk sebuah meja dan kursi. Jika, pisau tidak bisa membuatnya menuju alam kematian, mungkin dengan tali tambang ini, ia akan bisa mengakhiri hidupnya.

Keanehan serupa mulai terjadi ketika Hanes mengikatkan lehernya ke tiang plafon. Sesaat setelah ia melepaskan pijakannya dari atas kursi, hal aneh kembali terjadi, kakinya kini melayang di udara. Ia benar-benar melihat, bagaimana kursi tersebut sudah jatuh ke lantai. Tapi yang membuatnya aneh adalah ia tidak merasakan sama sekali sensasi tercekik. Apakah ini mimpi? Pikirnya. Ia mencoba untuk memukul wajahnya sendiri, sebuah kepalan tangan ia arahkan ke wajahnya sendiri, kemudian disusul dengan terdengarnya sebuah suara benturan antara rahang dan juga suara kepalan tinju pun terdengar cukup keras.

"Bruk!!!"

"Argh ... sakit! Ini bukan mimpi? Tapi kenapa aku tidak bisa mengakhiri semua ini Tuhan!!!" Hanes pun berteriak dengan sekuat tenaga, untunglah saat itu hujan deras disertai guntur dan petir yang masih keras terdengar. Jika tidak, mungkin orang-orang akan pergi berlarian ke arah rumah Hanes saat ini.

Masih dalam kebingungan yang ia rasakan, tiba-tiba saja tali gantungan itu membuka sendiri. Kemudian disusul dengan tubuh Hanes yang terjatuh ke lantai. Tidak lama kemudian sebuah fenomena aneh terjadi di hadapan Hanes saat ini. Di balik gelapnya malam dan disertai kilatan cahaya petir, samar-samar terlihat seorang wanita memakai pakaian berwarna hitam melayang tepat di hadapan Hanes. Sosok itu kemudian mendekat ke arah Hanes sembari tersenyum penuh arti. Hanes yang merasa ketakutan pun kemudian angkat bicara dengan suara terbata-bata.

"Si ... siapa kamu? Pergi!!! mengapa kau menghantui aku?" sembari mengacung-acungkan jarinya ke arah wanita dengan muka pucat tersebut.

Wanita dengan muka pucat ini kemudian sudah berada di hadapan Hanes dan kemudian berkata. "Kematian tidak akan pernah menyelesaikan masalah! Aku rasa cukup aku saja yang merasakan penyesalan dari sebuah tragedi bunuh diri. Hidupmu masih panjang, Nak! Hiduplah dan raihlah mimpimu itu!" terang Hantu wanita ini.

Hanes masih tercekat dalam keterkejutannya sendiri tanpa tahu harus mengucapkan apa-apa. Kini di hadapan Hanes sudah berdiri seorang hantu wanita dengan pakaian hitam disertai mukanya yang begitu pucat.

Bersambung