Pada era tahun 70-an keangkeran Tebat Seghut masih sering terdengar. Berbagai penampakan baik siang maupun malam sering jadi buah bibir. Pada waktu itu aku masih belum lahir. aku cuma mendengarkan Cerita-cerita seram tentang Tebat Seghut dari orang-orang. kebetulan posisi tempat tebat seghut ini berada dikawasan desaku, yaitu desa Gunung Meraksa Baru.
Ada kisah menceritakan Suatu hari seseorang bernama Saman ikut orang tuanya memancing ikan di Tebat Seghut. Hari itu adalah Jumat. Perlu diketahui bahwa hari Jumat adalah hari terlarang bagi warga setempat untuk mendekati Tebat Seghut apalagi saat orang sholat Jumat.
Sebagaimana lazimnya hari Jumat ,jam sekolah lebih pendek, pukul 11.00 anak-anak sudah pulang. Hari itu sepulang sekolah Saman langsung menghambur ke kebun, menyusul orang tua dan kakak-kakaknya. Sesampai di kebun yang berada di tepi Tebat Seghut, Saman mengajak kakak dan ayahnya memancing ikan. Dia terpikat melihat ikan melompat-lompat seakan mengundang dia bermain di air. Mang Dahlan, ayah Saman juga berhasrat membakar ikan untuk lauk makan siang. Maka mereka pun naik rakit bambu melayari air Tebat Seghut menuju ke tengah. Mereka kemudian asyik memancing ikan. Apalagi hari itu ikan sangat mudah melahap umpan di mata kail, sehingga dalam waktu sebentar saja mereka sudah mendapat banyak ikan.
Merasa belum puas dengan hasil yang didapat, Mang Dahlan bermaksud menggeser rakit ke tempat yang diperkirakan ikannya lebih besar. Saman dan kakaknya ikut mengayuh galah bambu sebagai alat menggerakkan rakit supaya meluncur di air.
Saat itulah, tutur Saman, terjadi keanehan. Rakit yang semula amat mudah digerakkan mendadak tidak mau bergeser. Tiap kali mereka mengayuh galah bambu, rakit hanya berputar-putar di tempat. Karena jengkel, Mang Dahlan mengumpat-umpat sambil membentak, "Hai setan! Jangan ganggu kami, kalau berani keluar!"
Sesaat setelah ayahnya mengumpat dan mengeluarkan makian, kata Saman, air di sekitar rakit tiba-tiba menggelegak, mengeluarkan buih seperti air mendidih. Mereka semua terkejut. Namun, belum hilang rasa tekejut itu mereka dikagetkan lagi dengan munculnya seekor ular raksasa sebesar batang kelapa.
"Saya tak kuasa menahan kencing," kata Saman. Sedangkan ayahnya langsung terduduk lemas di atas rakit, begitu pula dengan kakaknya. Sesaat mereka terpukau, tak bisa berbuat apa-apa. Untung saja ayah Saman cepat menyadari kekeliruannya. Dia langsung memohon maaf pada penguasa Tebat Seghut dan menyatakan penyesalan. "Ninek, puyang penunggu Tebat Seghut, aku minta maaf, aku ngaku salah. Tolong bebaskan kami", Mang Dahlan menghiba sambil berlutut. Seakan mengerti permintaan maaf Mang Dahlan, ular besar yang tadi mengangkat kepala menjulang setinggi lima meter, itu mendadak menceburkan diri kembali ke dalam air. Rakit yang ditumpangi Mang Dahlan dan dua anak lelakinya itu terguncang-guncang oleh gelombang air bekas hempasan tubuh ular raksasa tadi. Setelah ular itu menghilang di kedalaman air Tebat Seghut, barulah rakit yang mereka tumpangi bisa dikemudikan lagi. Mereka lalu cepat-cepat menepi, lalu mendarat membawa ikan hasil mancing. Sejak saat itu, kata Saman, mereka tidak berani lagi sembarangan turun mencari ikan di Tebat Seghut.