Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

A Sweet Mistake

🇮🇩jeihem
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.6k
Views
Synopsis
Faktanya, Moura aneh. Bukan seperti remaja cewek pada umumnya, yang dominan mungkin memikirkan gebetan, lalu beberapa yang lainnya sibuk, bersusah payah demi nilai plus. Bahkan, beberapa nyaris frustrasi hanya karena grafik nilai menurun saking terobsesinya akan masa depan yang secerah mentari siang bolong. Sementara Moura, daripada sibuk ini-itu, cewek berambut asli cokelat blasteran Kanada itu justru mengupayakan segalanya demi kulit yang putih-mulus idola-idola Korea, proporsi tubuh yang ideal seperti Cinta Laura, hingga sifat-sikap yang selalu berbeda kepada tiap-tiap orang. Dengar-dengar, ia ingin menjadi model, tetapi, apa mungkin model bertindik di hidung? Bertato di tengkuk? Parahnya, Moura senang, sekalipun harus bolak-balik kantor BK. Tapi, siapa sangka, cowok populer sekolah, sang kapten basket, naksir berat padanya. ©jeihem

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Prologue

NAMA Moura Tzanoedy sudah tidak asing lagi bagi warga SMA Nusantara Jakarta. Selain penampilannya yang aneh dan tidak mencerminkan sebagaimana mestinya seorang siswi, dari sikap dan sifatnya pun tidak tertebak lagi. Berdasarkan hasil riset Sey, teman satu-satunya itu termasuk jajaran cewek aneh dalam artian tidak berperilaku normal dan suka bertindak aneh-aneh. Bukan hiperbol, tapi Sena punya bukti tersendiriㅡberdasarkan hasil observasi 2 pasang matanya.

Jika yang lain suka ke kantin, menghabiskan waktu istirahat dengan makan sepiring batagor dan segelas es teh sambil bergosip ria; mulai dari alis miringnya Ibu Rosita, pelajaran-pelajaran di jam berikutnya yang kelewat membosankan, mengomentari status-status alay di Facebook orang lain, hingga membuat keributan dengan teriak-teriak karena perkara antrean yang panjangnya minta ampun. Sementara Moura beda lagi, cewek berambut panjang cokelat itu lebih suka bersemayam di atap gedung A, entah apa serunya memandang polusi dan kemacetan kota Jakarta. Terakhir kali Sey menyusulnya ke atap, cewek itu menulis-nulis di lembaran kertas, entah apa jelasnya, Sey hanya sempat melihat gambaran abstrak sebelum lembaran kertas itu diremas-remasnya menjadi bola.

Tidak hanya itu, Moura jika diajak jalan-jalan ke mal atau toko buku, pasti selalu menolak dengan berbagai alasan, entah lelah, malas, tidak ada uanglah. Tapi anehnya, pernah sekali Sey mengajaknya tapi ditolak dengan alasan malas gerak, namun tatkala Sey akhirnya pergi sendirian, di toko buku itu ia bertemu dengan Moura. Sey tak mengerti, mungkin tak akan pernah. Ketika ia tanya pun, Moura hanya menjawab dengan cengiran. Lalu keduanya pulang bersama naik metromini.

Di kelas beda lagi, Moura seperti kebanyakan jiwanya. Tiap mengobrol dengan orang yang berbeda, dari gaya omong hingga cara responsnya selalu berbeda. Tidak seperti ketika mengobrol dengan Sey, hanya ada Moura yang canggung, ceria, dan terkadang manja. Dari observasinya selama beberapa bulan belakangan ini, Moura akan sangat berbeda jika sedang bersama cowok. Tak peduli, Ucup, si botak kelas yang suka merayu cewek-cewek tapi selalu mendapat penolakan mentah-mentah karena botak dan pendeknya. Yose, ketua kelas yang dinginnya minta ampun menyetarai kutub selatan. Atau Hazel, satu-satunya cowok populer di kelas XI - IPA - 2 lantaran kapten basket sekolah. Sey yakin, Moura bukan lagi seperti yang ia kenal jika sedang bersama cowok jenis apapun itu. Sepasang mata ambernya bisa menajam kilat, omongannya bisa sepedas Boncabe, atau parahnya tak segan-segan main tangan. Benar-benar berbeda.

Sey bukannya ingin memuaskan rasa penasarannya dengan menanyakan hal-hal aneh itu langsung pada Moura, tapi sekalipun giginya sudah kering dan mulutnya berbusa, menjelaskan panjang lebar ini-itu, bertanya ini-ituㅡkarena pernah Sey melakukannya, dan tebak apa respons Moura? "Mending lo diam, berisik." Dan itu menjadi respons paling menohok Sey, hingga ia enggan bertanya-tanya tentang keanehan Moura.

Tapi sekarang, Sey benar-benar tak bisa tinggal diam kalau keanehan Moura separah ini. Bukan kepada orang lain, justru kepada Sey sendiri. Walau sudah mencoba menahan letupan emosinya, mengeratkan sepasang geraham untuk tidak mengeluarkan makian, sumpah serapah. Tapi, tampang tak berdosa Moura dan cengiran kuda yang ia kadang benci itu menyulut sumbu emosinya.

"BANGSA*! Apa sih salah gue ke lo, Mou?! Ini gue beli mahal-mahal buat lo sampe harus nabung 2 bulan lamanya, dan lo dengan seenak jidat rusakin pemberian gue di hari ulang tahun lo yang ke-16? Punya otak nggak, sih? Dasar cewek sinting, udah gila kali lo, ya?!" Sey memungut kepingan jam tangan bermerek Gucci yang dibelinya seharga setengah juta menggunakan uang tabungannya untuk dihadiahkan di hari ulang tahun ke-16 Moura sebulan yang laluㅡyang kini sudah pecah belah, entah karena apa, tahu-tahu Moura mengeluarkan jam itu dari sakunya dan mencampakkan ke lantai. Jelas Sey kesal luar biasa, rasanya seperti ditampar online.

"Kalo emang udah rusak, ya dibuang, Sey. Norak banget sih, sampe teriak-teriak segala. Udah deh, kita kan teman," sahut Moura dengan entengnya, padahal Sey sedang menahan tangannya yang gatal ingin menjambak-jambak pemilik rambut cokelat itu. Tapi faktanya, Sey tipikal cewek yang mudah luluh, mudah melupakan masalah-masalah sepele. Jadi, entah kapan, tapi pasti akan terjadi, Sey akan menyesali sifat luluh itu tumbuh dan kembang dalam hatinya.

Seharusnya, Sey sudah menampar Moura.

Hazel yang baru saja memasuki kelas, tak sengaja menonton perkara itu 5 detik sebelum Moura merangkul Sey ke kursi mereka di barisan paling depan sudut kanan, penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Hazel ingin tahu, tapi bertanya pada gengnya jelas bukan ide bagus. Sebaiknya, ia tanyakan langsung pada Moura. Tapi, kapan dan bagaimana?

-to be continued