Satu tahun yang lalu aku lulus dari Universitas sebagai yang terbaik, ingin sekali lagi menerima studiku tetapi ayah belum memberi ijin dan aku harus mengurungkan niatku sampai bisa membiayai kuliahku sendiri.
Ternyata Allah berkehendak yang lain, setelah aku berhasil mas Dicky mengutarakan niatnya untuk meminangku. Sementara cita-citaku sebagai negara abdi harus berahir karena peristiwa itu, aku bahagia walau hanya bisa menjadi pendamping abdi negara.
Setelah dia melamarku, mas Dicky mendapat tugas ke negara konflik di Afrika selama 10 bulan. Kami merencanakan pernikahan 10 bulan lagi, setelah kepulangan tugasnya. Di luar rencana kami, Allah memiliki rencana lain. Dia pergi untuk selamanya dan setelah itu keluargaku bangkrut. Aku merasakan hidupku hancur kala itu, aku merasa Allah tidak adil. Kenapa Allah mengambil semuanya? kenapa bertubi-tubi?
Pada akhirnya seharusnya aku sadar bahwa semua ini hanya titipan. Harta, kekayaan, bahkan diri sendiri hanya dititipkan roh ke jasad kita. Tidak sepatutnya aku menyalahkan Allah atas kehilangan orang yang kucintai. Psti ada maksud dan tujuan mengapa masalah datang silih berganti.
Aku tidak ingin membuat ayah dan bunda bersedih lagi, akhirnya aku memberanikan diri meminta izin kepada ayah dan bunda. Lagi-lagi ayah dan bunda menolak, mereka tetap ingin aku berada di sini bersama mereka.
Tidak ingin melihat mereka kecewa, aku hanya mengangguk kecewa permintaan mereka. Meskipun aku sendiri bingung harus membantu apa, aku tidak bisa membantu apa pun untuk mereka saat ini.
Beberapa waktu lalu saat masih mencari pekerjaan di Malang, sebagai ayah tentu saja mengupayakan apa saja untukku. Ayah membuang gengsinya meminta bantuan kepada teman-teman. Tapi mereka sepertinya tidak peduli dan mengabaikan ayah.
Ayah juga meminta bantuan kepada saudara yang berprofesi sebagai Hakim Agung, namun nyatanya menentang makian yang ayah terima.
"Anakmu lulus apa?" tanya teman ayah yang memiliki jabatan di DKI.
"Dia lulus S1 terbaik di kampusnya"
"Dari kampus mana?"
"Kampus X di kota pelajar"
"Oh, hanya memulai S1, lebih baik anakmu di sekolahkan lagi saja. Suruh dia untuk menyelesaikan S2, di sini yang di butuhkan hanya mendapatkan S2 atau dia dari kampus luar negeri"
"Oh begitu, ya sudah" raut wajah ayah terlihat sedih, saat keadaan dalam kebangkrutan dan beberapa orang yang pernah ayah tolong malah menghindari ayah.
Aku ingin apa yang dia peroleh karena perjuangannya bukan karena bantuan orang lain. Meskipun aku hanya lulus sarjana dari kampus swasta, tidak banyak perusahaan yang meliriknya tapi aku ingin membuktikan bahwa aku pun bisa.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan aku masih berusaha membujuk ayah dan bunda untuk merantau. Aku ingin menurunkan tingkat depresiku, tapi ayah dan bunda masih belum mengizinkan.
Aku masuk ke dalam kamar dan mengadukan Nya, DIA yang tahu segala isi hati dan kegundahanku. DIA yang menitipkan masalah ini, dan harusnya kepada DIA jugalah aku meminta jalan keluar.
"Aku tahu semua adalah milik Mu dan akan kembali ke Mu, kuatkan hatiku menerima cobaan dari Mu, kuatkan langkah kakiku untuk berjalan, semoga aku selalu ikhlas menerima ketentuan Mu"
"Jika kehilangan harta ini adalah alasan membuat aku lebih dekat pada Mu, aku ridho ya Allah. Dan jika mengambil orang yang ku cintai lebih dulu pertanda engkau menyayanginya, maka buatlah aku rela menerima ketentuan Mu. Kelak, semoga engkau akan mempertemukan aku dengan pilihan Mu"
Di sela doaku terselip beberapa pertanyaan yang entah kapan dapat terjawab
"Kadang aku merasa kenapa Allah tidak adil kepadaku? DIA selalu memberiku cobaan. Kenapa aku tidak bisa seperti orang lain? cita-citaku tak terwujud, bahkan aku ingin masuk kedinasan pun tidak terwujud, ketika aku lulus harus kesana kemari mencari pekerjaan. Kisah cintaku berakhir dengan menyayat hati. Kenapa aku merasa takdir seakan mempermainkanku. Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?"
Keadaanku sedang tidak baik-baik saja, aku sedang dalam titik terendah. Orang yang sangat menyayangiku pergi tanpa sepatah katapun, sedangkan ekonomi keluarga juga di titik terendah. Beruntung punya teman yang ku kenal dari kuliah selalu ada untukku. Ya, Fahri hampir setiap minggu datang ke rumah untuk menyemangatiku. Dia bahkan masih rela, menunggu aku berkali-kali meskipun aku selalu menolak cintanya. Dia masih menjadi pendengar yang baik saat aku membutuhkannya, dan meminta memberi bahu untukku bersandar.
Untuk kesekian kali aku memberanikan diri meminta izin kepada ayah dan bunda untuk mencari pekerjaan. Aku harus menyibukan diri agar terlupa dengan kisah piluku.
"Bunda, ayah ... Tata dapat bekerja di Surabaya, bolehkan yah Tata bekerja?" bujukku ke ayah dan bunda.
"Tapi sayang, tidak ada yang kamu kenal di sana,"jawab ayah
"Ayah percaya sama Tata pasti bisa, lagian Fahri dia mau bantuin Tata cuma mencari kos. Boleh ya?"
Ayah bersikukuh tidak mengizinkanku pergi, namun bunda menengahi kami.
"Biarkan dia yah, siapa tahu itu membuatnya tidak sedih lagi" bunda ikut membujuk ayah
"Ya sudah tidak apa-apa, tapi kamu yakin?"
Aku hanya mengangguk sambil memegangi air mata yang nyaris tumpah. Sejujurnya aku tidak yakin, tapi bagaimana lagi aku harus pergi demi menata kembali hatiku yang patah dan ekonomi keluarga yang tidak baik-baik saja.
Akhirnya ayah dan bunda mengizinkanku merantau ke kota Surabaya untuk bekerja. Dengan hati yang berat mereka melepaskanku kembali, kali ini sebagai tulang punggung keluarga bukan untuk mencari ilmu.
Bukan hal mudah harus ke sana kemari mencari pekerjaan dengan latar belakang pendidikanku dan minimnya pengalaman. Beruntung aku punya teman yang dari kota Surabaya, dia membantuku mencari pekerjaan di sana.
Dia bisa sudah menjadi pengacara sementara kita masih sangat muda, sedangkan aku masih belum menjadi apa-apa. Andaikan dulu setelah kuliah aku langsung mecari pekerjaan mungkin aku sudah menjadi pengacara sepertinya, atau mungkin menjadi jaksa seperti impianku. Kadang aku berfikir dan berandai-andai waktu kembali.
Selama ini dia yang yang selalu membantuku dan keluargaku. Sebenarnya saat kakakku sebagai pemimpin perusahaan di jebak oleh rekan bisnisnya, Fahri yang mengurus semuanya.
Fahri telah memberi tawaran untuk bekerja di tempatnya , tetapi aku menolak. Dia sudah terlalu banyak membantuku, aku tidak ingin merepotkannya lagi.
Sudah satu bulan aku berada di Surabaya, tapi masih belum membuahkan hasil sedangkan uangku sudah menipis. Aku juga enggan meminta lagi pada ayah, aku kasihan dengan ayah dan bunda.
"Maafin Tata, yah bund. Bukan maksud hati berbohong" gumam Yumna dalam hati.
Aku juga tidak merasa kesepian lagi, aku memiliki teman sekolah yang ternyata bekerja di Surabaya. Dulu kami bahkan tidak akrab tapi setelah sama-sama bekerja di kota Surabaya dia teman berbagiku selain Fahri.
Aku masih belum menyerah, aku menaruh cv ku di beberapa perusahaan ternama di kota Surabaya. Beberapa hari masih belum ada panggilan, hingga hampir satu bulan berlalu. Di titik saat aku sudah benar-benar pasrah, alhamdulillah aku menemukan lowongan yang walk in interview. Hari itu juga aku mendapat kepastian di terima atau tidak.
Aku sangat bersyukur, akhirnya ada perusahaan yang menerimaku meski background pendidikanku tidak sesuai dengan yang di cari oleh perusahaan tersebut.