Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 63 - Negosiasi

Chapter 63 - Negosiasi

Wander berdiri dan mengedarkan pandangan galak ke prajurit Barat, kedua tinjunya mengepulkan asap dan debu panas. Ia tidak pernah memukul orang demikian keras, hingga ia cepat-cepat membungkuk dan memeriksa Gluka.

Tidak ada yang bergerak saat itu. Tidak seorangpun mengira bahwa pemuda ini bisa mengalahkan Jendral itu. Rasanya langit bagaikan runtuh di atas kepala mereka, ketika mereka menatap Jendral mereka yang terbaring di tanah. Legenda peperangan yang menaklukkan 1000 orang dikalahkan seorang pemuda tak terkenal!

Sementara, Wander mengelah napas lega dan takjub. Jendral Gluka masih sadar, sungguh kuat sekali. Ia perlahan memegang tangan Wander dengan senyum getir, "Wander… kau menang!"

Wander ingin berkata sesuatu, tapi dari mulutnya mengucur darah segar. Melihat itu, prajurit Barat bagaikan terbangun dari mimpi. Mereka menyerbunya dengan ganas, tapi Jendral mereka berteriak.

"JANGAN!" Teriak Jendral mereka dengan susah payah.

Pasukannya berhenti. Apalagi melihat Wander telah berdiri dengan wajah menakutkan. Wander menggigit bibirnya, menatap Pasukan Barat. Sekarang bukan waktunya merasa lemah atau sakit.

Ia membuang cairan kental dalam mulutnya, sebelum ia meraung, "Aku sudah mengalahkan Jendral kalian. Sekarang aku akan menahan Jendral kalian selama dua jam! Jika kalian berani menyerbu, Jendral kalian mati!"

Betapa kagetnya mereka saat melihat Jendral Gluka juga berdiri, dibantu Wander, "Pasukan! Mundur dua jam!"

Ketika Jendral itu berkata demikian, ia hanya melihat prajuritnya diam saja bagaikan patung-patung hidup, hingga ia membentak, "Kalian tidak dengar janji kami barusan? MUNDUR!"

Gerbang itu kosong hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, ketika para prajurit akhirnya mundur.

"Sekarang… Aku di tanganmu," Jendral itu berkata dengan gagah dan getir.

Tapi Wander bisa melihat sisa-sisa kepuasan laga dan ketulusan di matanya.

Wander mulai terbatuk-batuk, lalu mendadak memuntahkan darah.

Durk serta prajurit lainnya melompat keluar dari persembunyian mereka dan mengurungnya, agar tak terlihat oleh musuh yang kini berkerumun di luar gerbang.

Wander tersenyum sambil bersandar di bahu mereka, "Aku juga ada di tanganmu."

*

Amarah Sulran kian meledak saat mendengar Gluka takluk. Gelas di tangannya pecah berkeping-keping di bawah cengkeramannya.

"Bodoh! Gegabah!" Ia bukan memaki Gluka dan sifat kesatrianya, tapi dirinya sendiri yang tak menyangka adanya satu orang yang muncul dan mengalahkan Gluka begitu saja, apalagi menawannya.

"Bagaimana keadaan Gluka?"

"Jendral Gluka selamat, Jendral. Ia sendiri meminta Jendral mematuhi permintaan musuh."

Sulran mendesah. Ia lalu melirik ke arah Toto yang diam saja, tenggelam dalam pikirannya. Jika muridnya sedang berpikir seperti itu, biasanya ia sedang menyusun rencana mendalam.

"Dua jam sangat mendekati batas toleransi operasi kita. Malah memberikan istirahat tambahan dua jam sesuai rencana. Aneh... apakah ini kebetulan?" Gumam Toto, "Apakah kita sedang jatuh dalam perangkap tersembunyi dalam kota? Kita harus sangat berhati-hati, Guru."

Ucapannya membuat Sulran resah, tapi ia hanya bisa mengangguk.

*

"Kenapa kau hanya menyuruh mereka mundur selama 2 jam, Wander?" Durk bertanya dengan marah, ketika Wander duduk dalam pos komando. Matanya terus menatap Gluka yang duduk terikat di sudut.

Wander menjawab, "Kalau kubilang lebih lama lagi, Sulran akan memecah pasukannya dan menyapu para pengungsi! Dua jam tidak sebentar, tapi tidak cukup lama untuk membuat musuh tak sabar. Jika kita mereka menepati gencatan senjata, ini kita bisa menahan pasukan mereka dua jam lebih lama. Para pengungsi kota akan memiliki kesempatan lebih besar untuk lolos."

"Kenapa tidak kita bunuh saja ia sekarang!" Durk berbisik.

"Durk, aku tidak akan membunuh siapa pun! Aku juga tidak akan membiarkan siapa pun mati sia-sia!" Mata Wander membara penuh kemarahan, "Kenapa kalian tidak juga sadar? Kita semua sudah gila! Kita serta-merta saling bunuh dalam perang sialan ini! Lihat dua bulan yang lalu! Apa kita terpikir hendak berperang seperti ini?"

Durk terdiam, mengakui bahwa perang pun tidak pernah mereka bayangkan sedikitpun dua bulan yang lalu. Saat itu ia masih punya teman-teman sesama prajurit dari wilayah Barat dan Utara.

Tapi sekarang… langit telah terjungkir.

"Sebelum gencatan senjata ini selesai, kalian semua tinggalkan kota ini, Bergabunglah dengan para pengungsi dan lindungi mereka," Wander berkata.

"A-ap… Tapi… Tidak mau! Bagaimana denganmu!"

"Aku akan baik-baik saja. Aku bisa meloloskan diri. Tidakkah kalian baru melihat betapa kuatnya aku?" Wander setengah bercanda.

"Tapi kau terluka."

"Ya. Tapi aku bisa istirahat dua jam ini. Jangan kuatir… Pikirkan diri kalian. Kalau Sulran mengepung kota ini dan kalian semua akan mati. Jangan mati sia-sia melindungi kota mati ini. Lindungilah yang hidup… Keluarga kita semua, kumohon..." Ia mencengkeram kerah Durk kuat-kuat.

Durk tampak ragu. Tapi ia akhirnya tersenyum, "Aku mengerti. Kami akan pergi… Tapi berjanjilah jangan sampai kau juga mati sia-sia. Kita akan bertahan hidup, keluar dari kekacauan ini! Kembali ke keluarga kita!"

Para prajurit biasanya sulit sekali tergerak sampai menangis. Tapi mendengar kata-kata Durk, semuanya begitu terharu, mereka semua mengelilingi Wander.

Durk berkata, "Jangan mati, Wander. Kamu sudah menunjukkan pada kami yang siap mati ini… keajaiban… Jangan biarkan hanya berakhir seperti ini."

Wander tersenyum, "Aku juga tidak mau mati, Durk. Teman-teman… Percayalah padaku…"

Satu jam berlalu, Wander bangkit dari semadinya. Pemuda yang masih terluka ini berjalan ke arah lawannya. Wajah Jendral itu pucat dan sedikit biru. Wander melepaskan ikatannya, dan menaruh telapaknya di dada Jendral itu dengan lembut.

Gluka merasakan energi yang begitu nyaman dan sejuk mengaliri dadanya, dan sejenak meredakan rasa sakit di rusuknya, melancarkan peredaran darahnya.

"T-terima kasih…"

"Jangan berterima kasih. Aku akan menyesal jika kau sampai cedera berbulan-bulan jika tidak segera dirawat."

"Kamu… pemuda aneh…"

"Semua orang hari ini bilang aku begitu. Entah kenapa," Wander tersenyum.

"Kenapa kau melakukan ini semua?"

"Kakakku… Ia tewas di Turil Andin. Juga begitu banyak yang gugur lainnya bersamanya… Aku ingin mengakhiri kegilaan ini."

"Tidak mungkin. Pangeranku sudah bertekad bulat. Bahkan jika kau bunuh aku di sini, ia pasti akan membantai seluruh penduduk kota ini! Saat ini kau masih punya Gerbang yang melindungimu. Tapi jika kau bertarung sendirian di daerah terbuka, kau pasti mati."

Wander setuju dengan pendapat Gluka soal posisi. Gerbang itu adalah pelindung utamanya. Gerbang itu membatasi jumlah musuh yang masuk, dan ia tidak perlu khawatir bakal dibokong. Jadi ia bisa berkonsentrasi ke depan saja. Tapi mengenai Pangeran Pertama...

"Aku akan menghentikan Pangeranmu kalau begitu!" Wander berkata, "Saat ini, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Junjunganmu berusaha menaklukkan kota ini dan membantai habis segala isinya... Tapi beritahukan kepadanya pesan ini: Aku punya Kotak yang ia inginkan! Aku tidak tahu rahasia kotor apa yang ada di dalamnya, tapi kalau ia menginginkannya utuh, hadapi aku di Gerbang dengan jantan! Seperti pria sejati!"

Gluka merasakan perasaan sakit di dadanya mereda.

Ia melihat Wander seperti melihat mahluk aneh, "Aku tentu akan bilang kepada Guruku mengenai pesanmu. Sekarang, saat masih ada waktu damai di antara kita, bagaimana kalau kita menikmatinya?" Gluka tersenyum hangat.

Wander segera menyiapkan cangkir berisi teh untuk semuanya.

Segera Wander, Durk, dan para prajurit lainnya duduk minum teh bersama tawanan mereka ini. Jendral itu bahkan memuji Wander dan mengakui kekalahannya dengan lapang dada. Semua yang ada di situ begitu terkesan dengan sikap kesatria dan gagah Jendral itu, dan suasana pesta yang terjadi begitu normal, seakan seharusnya memang terjadi demikian meski di tengah perang.

Ketika 2 jam hampir berlalu, Wander mengantar Gluka dan tunggangannya ke gerbang. Sebelum Gluka pergi, Wander mendadak memintanya dengan sedih, "Akankah kau mengatakan segalanya pada Gurumu?"

"Tentu saja!" Gluka berjanji.

"Tapi Gurumu tidak akan pernah mau menghadapiku dari muka. Ia seperti rubah yang licik. Pastilah ia akan mengepung kota ini, mendobrak empat gerbang, dan memerangkapku dari segala arah!"

"Guruku bukan pengecut seperti itu!"

Wander tersenyum mengejek, "Oh, percayalah padaku Jendral. Ia akan melakukan apa pun untuk menang! Dunia akan tahu bagaimana ia memaksakan kemenangan ini dengan cara pengecut hanya melawan satu orang bocah saja!"

Gluka, entah mengerti apa yang sedang dimainkan Wander atau tidak, tampak sangat tertarik. Ia tertawa panjang sebelum ia memacu kudanya keluar Gerbang.

*

Mendengar apa yang disampaikan Gluka

Sang Rubah tertawa

Lalu angkara murkanya meletus

Ia tahu ini hanyalah gertakan anak-anak

Tapi ia adalah Jendral Besar dengan laksa demi laksa tentara

Mana bisa ia pergi sebelum menumpas anak ini?