Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 50 - Bayangan Memekat

Chapter 50 - Bayangan Memekat

Mallerik

19 Februari. Hari ke-65 setelah mangkatnya Raja.

Tidak ada penguburan. Tidak ada juga kesempatan untuk itu.

Seikat rambut Kokru diberikan ke Nalia, simbol Lingkaran Luar kehidupan Kokru, dan satu diberikan ke Wander, sebagai Lingkaran Dalamnya. Ketika Chiru'un memberikan tenunan wallet milik Kokru ke Nalia, gadis itu merobeknya jadi dua, memunculkan percikan cahaya indah dari rajutan itu, dan memberikan setengahnya ke Wander. Wander mati-matian menahan air matanya. Untaian benang liar di ujung robekan itu mengingatkannya mengenai sesuatu yang telah putus selamanya dan tidak akan kembali lagi.

Lalu, mereka berdoa bersama. Akan tetapi Wander tidak bisa berdoa lama. Pintu rumah mereka segera diketuk berulang kali dengan tidak sabar. Tamu-tamu yang mendatangi mereka rupanya Kepala polisi sendiri, Reijan, bahkan Durk si Kapten Penjaga Gerbang. Semuanya mencari Wander.

Pemuda berambut coklat itu segera berdiri. Ia menyelipkan kenang-kenangan kakaknya ke dalam kantung rahasia bajunya, sebelum ia menyapa para tamu seramah mungkin. Mereka berbicara sebentar, dan keluarga Wander bisa menangkap potongan-potongan pembicaraan mereka.

"… darurat… kerusuhan… ulah mata-mata… provokasi… bantulah kami…"

Wander mengangguk, tidak peduli lagi akan larangannya menggunakan kekuatannya di muka umum semenjak insiden pagi itu. Ia berbalik dan berkata, "Ayah, Kakak… tolong jaga Ibu dan Nalia baik-baik. Wuan pergi dulu…"

Kota diselimuti oleh kegelapan. Hanya ada beberapa tempat yang diterangi obor dan lampu, itupun karena berbagai aktivitas persiapan perang. Bengkel-bengkel dan pertukangan dipacu sepanjang malam, sibuk membuat barikade dan segala macam senjata.

Pertama-tama, teman-temannya itu berdiskusi soal keadaan kota dan strategi mereka. Mereka menyampaikan berita buruknya terlebih dahulu. Bantuan pasukan tidak akan datang dalam waktu seminggu, karena Pangeran Ketiga sedang sibuk memobilisasi pasukan baru menggantikan yang hancur. Jadi mereka harus bertahan hidup sendiri dan untuk itu mereka perlu mengamankan bagian dalam kota terlebih dahulu.

Mengingat kemampuan istimewanya, Wander diberi tugas paling berat. Ia harus bekerja sendirian. Ia segera diberi perlengkapan yang sesuai. Di sebuah pandai besi terdekat ia diberi baju pelindung dari kulit, termasuk sepatu dan pelindung lutut, juga sebuah tongkat sepanjang 6 kaki. Ia juga diberi peta kota, ransum berupa roti dan daging kering, juga sebuah kantung kulit berisi air. Tugasnya sederhana tapi penting. Ia harus memburu semua mata-mata, perusuh, pembakar, atau semua orang mencurigakan, kalau bisa mencegah mereka sebelum melakukan aksi dan menangkap mereka.

Untuk komunikasi, terdapat berbagai pos komando yang tersebar di seluruh penjuru kota hingga ia bisa mendapatkan informasi terbaru. Ia harus melakukan ini segera karena jumlah mata-mata dan pembakaran makin meningkat.

Setelah melaksanakan tugasnya beberapa lama, melompat dari satu atap keatap lain, mendarat di tengah-tengah provokator atau kumpulan massa perusuh atau pembakar berulang kali membuatnya sedikit lebih tenang.

Ia bekerja bagaikan kesurupan, seakan berusaha menyingkapkan kabut duka yang menyelimutinya sampai ke sumsumnya. Setelah memutari kota dua kali, membantu dalam beberapa penggrebekan sarang perusuh, dan berbagai perkelahian antar warga, serta tujuh kali berhasil menangkap gerombolan perusuh dan pembakar serta tiga mata-mata, lima jam telah berlalu dan waktu telah menunjukkan tengah malam. Kota mulai tenang setelah sebagian besar mata-mata entah sembunyi atau telah mendekam di balik sel.

Ketika ia sampai di sebuah pos jaga dekat Gerbang Selatan, ia mendadak menerima kabar bahwa rumah Gurunya kembali dibobol. Wander dengan cepat berlari ke rumah gurunya itu, tanpa menghiraukan apa pun. Kurang dari 10 menit, ia sudah berhasil melompati tembok dan mendarat di tengah kebun gurunya.

Tubuhnya basah oleh keringat, ia menggigil saat udara malam nan dingin menyentuh bajunya. Ia terengah-engah tapi betapa ia agak kaget saat melihat rumah gurunya baik-baik saja. Para pelayan masih bangun dan tetap waspada, seluruh lampu rumah bahkan dinyalakan. Ketika ia bertanya, mereka melaporkan bahwa tidak ada hal aneh yang terjadi.

Wander berlari mengitari rumah gurunya sekali lagi, tapi tidak menemukan sesuatu yang aneh. Ia merasa kesal dan masygul sekali, dan ia berniat kembali ke pos jaga tadi untuk memprotes berita palsu ini. Saat itu ia merasakan seseorang mengamatinya dari jauh.

Ia langsung meluruk bagaikan elang, mengejar ke arah si pengamat. Angin bagaikan lapisan es terasa keras dan kaku, menerpa wajahnya! Kulitnya sampai berdesing sakit saat ia meningkatkan kecepatannya, tapi hatinya bagaikan kaku dan ia tidak peduli lagi dengan rasa apa pun!

Bayangan itu berlari dengan kecepatan luar biasa dan segera meliuk-liuk dalam kegelapan dan lorong-lorong sempit dengan licin. Tapi Wander dapat mendeteksi keberadaannya bahkan dari jauh. Perlahan ia berhasil memperkecil jarak dengan buruannya. Kejar-kejaran berkecepatan tinggi itu berlangsung selama 15 menit, sampai mereka akhirnya mencapai Taman Jil Mirrad, ketika bayangan itu mendadak berhenti, bahkan jatuh di atas rumput.

Bayangan itu terbatuk-batuk dan tersengal-sengal bagaikan orang sekarat, "S-sialan kaw… Kakimu tewbuat dawi apa?"

Kemarahan dan kekesalan Wander bagaikan meletus saat mengenali suara sengau bayangan itu, "Kau! Demi Divara! Bagaimana kau lolos dari penjara!?"

"Hhhh… T-tunggu… B-biarkan 'ku tarik napas… Huff… huff… dulu… Gila… Dawi jarak satu setengah kilo… kaw masih bisa tahu 'ku mengintip… Uhuk…" Kucing Tua tampak luar biasa teler, lidahnya terjulur ke luar.

"Aku akan menjebloskanmu balik ke penjara!"

"T-tunggu sebentar… J-jangan! 'K-ku punya… bewita …"

"Jangan mengulur waktu, sahabat!"

"P-pangewan Satu sebenarnya… Cari sebuah Kotak…"

Gerakan Wander ingin mencekal pencuri tua itu terhenti seketika. Mata Kucing Tua berkilau melihat reaksi Wander.

"… Beri aku lebih banyak petunjuk. Kotak macam apa?"

"K-kotak bercap Kewajaan… Pita emas suci wawna emas, lengkap dengan simbol Seliw Satu…"

"Apa simbolnya?"

"'Ku dengar miwip bunga yang di Aesthewia itu… Hilup atau Gulip atau apalah…"

"Tulip…" Wander mengoreksi tanpa sadar.

Kucing Tua terkekeh, menyebut yang sudah ia ketahui sejak kalimat pertama, "Kaw tahu wupanya!"

Wajah Wander telah berubah menjadi dinding batu tebal lagi, "Bukan urusanmu, Maling!"

"Oh… Justwu itu uwusanku! Pangewan sangat kejam… Ia pilih hancurkan kota dan habisi pendwudwuknya ketimbang biawkan wahasia Kotak itu tebuka."

"Bagaimana kau bisa tahu? Tentu Pangeran tidak akan memberitahukanmu itu!"

Kucing Tua terkikik, "Tentu beliaw tidak kasih tahu 'ku. Kalau begitu, 'ku pasti colong Kotak itu buatku sendiwi. 'Ku ini cukup penasawan tahu."

Capek mendengar silat lidah dan usaha mengulur waktu, Wander menerkam ke depan, hendak mencekal pencuri itu. Tapi pencuri itu melawan. Ia melemparkan berbagai senjata rahasia ke depan, tapi semuanya bisa dihindarkan Wander dengan mudah.

Melihat kegagalannya, pencuri itu meraung dan menerjang Wander, tapi ia terjerembab ke depan dan mendarat muka duluan saat ia sudah tersandung jegalan kaki Wander. Kucing Tua bergulingan di tanah dan menyumpah-nyumpah, sementara Wander mendekatinya dengan tenang,

"Menyerahlah, sahabat!"

"Aw… Ow… Okeh! Okeh! Ampun… "Ku dengaw soal Kotak itu dawi Kurt sendiri."

"Bohong!"

"'Ku tidak bohong! Dua puwuh tahun yang lalu saat ia masih di sini… 'ku menyelinap dan mendengaw Gurumu bicawa soal Kotak ini…."

"Kau jelas bohong! Bagaimana mungkin kau bisa mencuri dengar percakapan Guruku tanpa ketahuan?"

Pencuri tua itu ternganga sesaat sebelum mendadak ia tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha! Jadi itu sebwabnya! Maksudnya kaw tidak tawu?"

"Apanya yang lucu? Tahu apa?"

"Kaw tidak tawu batas kekuatanmu sendiwi, anak muda! Kekuwatanmu begitu aneh… Kaw bisa deteksi 'ku tadi, padahal 'ku awasi kau barang sebentar. Tapi kaw segera kejar 'ku begitu yakin. Guwumu tak punya kemampuwan setan seperti kaw! Kaw jelas tak tahu soal kekuatan Guwumu sendiri!"

Wander tidak membalas omongannya. Memang ia hanya pernah berlatih tarung dengan Gurunya hanya sekali. Akan tetapi untungnya ia tahu persis bahwa baru 14 tahun yang lalu Gurunya pindah ke rumah ini. Dalam hati ia tersenyum.

"Katakan saja kau benar, memangnya Guruku bilang apa?"

Sebuah suara dentuman disertai ledakan dahsyat menghentikan percakapan mereka! Mereka berpaling ke arah gerbang barat yang terlihat menyala-nyala, lalu terdengar bunyi sesuatu yang begitu berat dan besar menghantam bumi sampai tanah serasa bergetar! Wander bisa melihat gerbang dari logam raksasa itu telah kandas ke tanah!

Kucing Tua terkekeh, "Aw... Mweweka sudah mwulai!"