"Aah, sakit banget ini eh, pegeel." Amel merintih di atas kudanya.
"Kok bisa, gue biasa aja Mel." Mila merespon, kuda keduanya jalan beriringan. Kinasih berada di depan mereka memimpin jalan.
"Ini looh Mil." Kedua tangan Amel memegang dadanya.
"kelahi sini." Mila sewot.
Buat yang tidak pernah, naik kuda bisa saja melelahkan karena tubuh bergerak naik turun. Mila tidak tahu dengan Kinasih, tapi dirinya juga tidak pernah naik kuda, lantas mengapa dirinya baik-baik saja?
"Kita sudah masuk ke jalan batu, kota terdekat harusnya ada di sekitar sini. Hoaahm." Kinasih mengatakannya sambil ngantuk.
Grup ini telah berjalan menggunakan kuda selama 3 jam. Mereka beralih berganti ke mode lari beberapa kali tapi karena belum biasa, meskipun kuda-nya takkan menendang mereka, tetap saja ini menjadi perjalanan yang melelahkan.
Amel memeluk kuda-nya,
"Hei Kinasih, entah perasaan atau gimana, tapi badanku semakin sakit rasanya..."
Tumben sekali Amel mengeluh sampe segitunya, Mila berpikir mungkin ada semacam feedback karena sebelumnya hanya Amel seorang yang secara penuh mengeluarkan tenaga.
"Badan lu kayaknya kecapekkan gitu Mel, orang yang baru olahraga aja ototnya suka kaget."
"Haah, iiya siiih, tapi kita gada sehari, malem aja belum masa badan gue udah rontok begini Mil." Semakin lemas Amel, bicara-pun setengah mabuk nadanya.
.
.
.
Tak lama kemudian, mereka mulai berpapasan dengan pejalan kaki dan kelompok lain yang membawa barang.
Mungkin jarang terlihat tiga orang anak perempuan berkelana bersama, beberapa pejalan kaki terus memandangi mereka, tapi ketika mata mereka bertemu dengan sepasang mata tajam Mila, orang-orang ini buang muka.
Mila menghela nafas, baginya sudah biasa seperti itu karena dia memiliki sepasang mata dan raut wajah yang dingin. Tapi berpikir sampai hal begini terbawa ke dunia lain sih, mungkin sudah nasibnya.
.
Berdiri megah di atas tanah, dikelilingi tembok batu setinggi dua belas meter, gerbang pintu yang besar menyambut para pendatang.
Kota ini bernama resmi Goraburan, tapi orang menyingkatnya Goran, merupakan sebuah pusat dari transit perdagangan darat di sebelah barat sungai besar yang menjadi sumber penghidupan warganya.
Masih bagian dari kerajaan Falfarsi, Goran adalah kota yang memberi supply pada kota tetangga di selatan dan menjadi bagian penting dalam aktivitas militer.
.
Sekitar lima puluh meter sebelum kota, Kinasih menghentikan kudanya.
"Ya, ya.. akhirnya gadis-gadis, kita sampai di kota pertama. Ayo mana tepuk tangan kalian.."
"ooui" Amel mengangkat tangannya sambil masih bersandar lemas di punggung kuda.
"Kenapa kita berhenti?" tanya Mila. Dia juga menyaksikan Kinasih turun dari kuda dan mengikat talinya pada sebuah pohon kelapa.
"Kau lihat simbol di kain pelana kuda ini, kita ga akan bisa masuk ke kota dengan ini." Kinasih menepuk pelana kuda-nya.
Mila memperhatikan, lambangnya sama dengan bendera yang tergantung di dinding menara panah kota.
"Waduh, greget mampus hari pertama nyolong aset negara. Ayo turun sini Mel." Mila membantu sahabatnya turun dari kuda. Amel turun hampi jatuh begitu, Mila menangkapnya dan bantu bersandar pada pohon.
"Kalian tunggu di sini sebentar." Kinasih selesai mengikat kuda Amel dan Mila pada kuda lainnya. Dia berjalan, membawa kuda itu ke dalam.
Mila ikut bersandar di sebelah temannya.
"Mel, si Kinasih ini, gue rasa agak gak beres orangnya.."
"Haah, iya dah.. Mil.." respon Amel tak berenergi.
Sebetulnya wajar kalau Mila merasa curiga. Waktu sebelumnya, Kinasih yang bernama asli Astrid itu tampak sengaja ikut dan siap. Lalu, meskipun setelah ditransport ke dunia lain dan tas isi persiapannya tidak ada, Astrid tampak santai saja.
Di pertempuran, dia tidak terlihat sama sekali, dan ternyata datang membawa tiga ekor kuda yang ternyata kuda milik tentara negara.
Kemudian baru saja dia masuk ke dalam kota membawa kuda-kuda tersebut dengan santai.
.
.
Mila berusaha cuek sebentar, dipejamkan kedua mata dan menghela nafas panjang. Baginya banyak hal yang belum jelas, termasuk tujuan datangnya mereka ke dunia ini. Jangan-jangan yang bernama Kanjeung Isalaka itu hanya mengerjai mereka saja.
.
.
Astrid, atau yang di dunia ini minta disebut sebagai Kinasih, dari tempat berdiri penjaga cukup mencolok karena kulitnya yang merah dan rambut putih. Belum lagi dia membawa tiga ekor kuda.
Seorang penjaga berumur sekitar 30-an sebelum sempat memeriksa, Kinasih sudah mengambil inisiatif untuk bergerak duluan. Dia memberi salam dan membungkukkan badan.
"Permisi, pak, nama saya Kinasih seorang pengembara, tidak sengaja menemukan tiga ekor kuda ini tengah makan rumput dalam perjalanan saya ke kota ini."
Kinasih menunjukkan bagian pelana kuda, "Begitu saya lihat ada lambang negara maka saya bergegas ke sini karena saya tidak menemukan satupun tentara di dekat mereka.. Mungkin petugas setempat di kota ini ada yang mengenali atau sedang mencari kuda-kuda ini?"
Sebuah ekspresi teringat akan sesuatu muncul dari penjaga tersebut, dia yang semula tampak menjaga wibawa kini bersikap lebih santai. "Ah, iya, terima kasih anak muda." tuturnya sambil mengecek kepala salah satu dari kuda yang Kinasih bawa.
Dia menemukan sebuah tanda di bawah mata kanan si kuda.
"Satu dari kuda ini merupakan kuda favorit komandan kami. Sesungguhnya telah dikeluarkan perintah untuk mengecek kuda yang masuk pada para penjaga. Sekarang, siapa duga kuda-kuda ini ada yang menemukan.. Kami sangat berterima kasih."
Kinasih tersenyum, "Ah, tidak apa-apa pak, saya senang dapat membantu."
Kinasih menyerahkan tali pengendali kuda pada penjaga, tapi tampak raut kesedihan.
Penjaga tersebut merasa heran, "Mengapa kau tiba-tiba terlihat sedih seperti itu?"
"Hmmph.. Tidak pak, hanya saja, sebenarnya saya kabur dari rumah.. Melihat kuda-kuda ini, saya teringat sewaktu saya masih diperlakukan sebagai penjaga kandang kuda oleh ibu dan kakak tiri saya di rumah.. Terlebih setelah ayah yang biasa berburu memutuskan pergi untuk menjadi tentara, tidak kembali.. Perlakuan ibu semakin kasar dan karena warna kulit saya berbeda, saya tidak boleh pergi keluar."
"Sore ini saya melihat lambang negara di kuda ini rasanya jadi teringat ayah saya, dan juga.. hiks" Kinasih menunduk dan tersedu-sedu, dalam pikiran si penjaga, dia juga lahir dari rakyat kecil, hal seperti diskriminasi terlebih karena perbedaan ras adalah termasuk hal yang tidak sanggup dia dengar.
Penjaga itu merangkul Kinasih dan membiarkannya menangis di pelukannya. "Sudahlah, yang tabah nak."
Rekannya yang sebelumnya berdiri di sisi lain gerbang penasaran melihat hal ini, dia bertanya dan si penjaga menjelaskan. Kinasih masih tersedu di pelukannya.
Setelah keduanya berdiskusi, penjaga tersebut melepaskan Kinasih dan berjongkok di hadapannya.
"Dengar, kau anak yang baik, semua hal buruk ini tidak ada hubungannya dengan warna kulitmu, hanya orang-orang itu saja yang jahat."
Sang penjaga menunduk sebentar, lalu kemudian melanjutkan.
"Kau telah membantu kami menemukan kuda perang, tanpa ketiga kuda ini, pasukan berkuda Falfarsi mungkin tidak dapat melindungi anak-anak baik seperti dirimu."
"Terimalah ini, hanya sedikit, tapi cukup untuk beberapa hal di kota ini. Jika nanti kemudian kau masih kesulitan, kemarilah, akan kami bantu carikan pekerjaan."
Kinasih bergetar, diterimanya sekantung koin, ditempelkan pada wajahnya sambil menunduk. Dia berterima kasih dan berpamitan pergi.
Dari posisi penjaga, tampak Kinasih berjalan, kemudian berlari.
"Dia terlihat bahagia meski sempat menyembunyikannya ya.." tutur penjaga A.
"Dia pasti sedang bergegas membeli makan atau semacamnya.. Ah, tunggu, aku tidak boleh menangis di sini. Kenapa aku tiba-tiba ingat adik-adikku di rumah.."
Rekannya menepuk bahu si penjaga, "Meski tidak ikut berperang, kita sudah melakukan tugas sebagai pengayom masyarakat di sini. Mari kembali bekerja." semangatnya memberi senyum.
.
.
.
Terlalu buruk pak, mungkin bapak yang perlu kami kasihani.
.
.
.
Menjelang penghujung hari, Kinasih kembali pada Mila dan Amel. Dia membawa sekantung makanan berisi roti dan kantung lainnya adalah kantung minum yang terbuat dari kulit sapi bernama Qirbah.
Kinasih tidak mengatakan apapun, mulutnya sibuk mengunyah dengan ekspresi santai.
Mila tambah curiga, dia mencium sesuatu bau serigala atau memang itu imajinasinya saja ketika melihat Kinasih.
Sementara Amel tampak membaik setelah beristirahat, dia bahkan lebih bersemangat setelah minuman menyentuh mulutnya. "Wah, santai buk, nanti keselek." Mila memperingati.
"Bwuoodoo amaadd" respon Amel dilanjut minum. Cahaya dalam matanya kembali bersinar. Kinasih memberikan sisa isi kantung makanannya. Semuanya roti tapi bermacam rasa meski mereka tidak tahu pasti jelasnya, yang pasti enak. "Tenang, masih banyak kok."
.
"BWUE!!?" Amel melotot
"Tuh kan, apa gue bilang, keselek kan luu." Mila menjulurkan tangannya untuk membantu.
Biasa kalau orang tersedak gitu dipukul punggungnya, Mila dan Amelia sudah lama bersama jadi hal ini bukan pertama kalinya.
Mila mengambil posisi di belakang Amel, dipegang dadanya dengan satu tangan, dan tangan yang lain memukul punggung di antara tulang bahu bagian belakang.
"BWUAKH."
Keluar potongan sosis isi roti yang menyangkut. Tapi siapa yang duga kalau Amel sampai pingsan. Kinasih yang semula santai-pun kaget dan cengok.
Memang terdengar cukup keras tepukkan itu. Harusnya tidak sampai seperti ini, Mila tidak sadar tubuhnya kini berkali lebih kuat dari normal.
.
"Lebih baik kita segera masuk, aku sudah memesan satu kamar untuk kita." Kinasih membereskan bekas remah roti di pakaiannya yang berbulu, dia juga membungkus bekas kantung makanan dan menggulungnya.
Tidak ada habisnya Mila dibuat terkejut, bagaimanapun cara Kinasih mendapatkan makanan sampai kamar penginapan, hal ini membuat Mila menemukan fakta bahwa Kinasih adalah seorang 'serigala'.
.
Setelah diberitahu mengenai ciri-ciri penginapan, pada akhirnya Mila memangku Amelia yang teler dan masuk ke dalam kota. Sementara Kinasih bilang akan memutar melalui gerbang lainnya untuk mengecek lebih banyak lagi.
"Oh iya, nanti tinggal langsung saja sama staff penginapan yang kecil badannya!" Kinasih kemudian menghilang berlari.
.
Di gerbang kota, penjaga menawarkan bantuan. Namun Mila menolak dengan sopan.
"Tidak apa-apa pak, teman saya hanya kelelahan setelah perjalanan jauh."
Mila lebih pendek daripad Amel, awalnya dia menyeret temannya, tapi ternyata dia kuat menggendongnya.
Hal ini menjadi pusat perhatian bagi yang lewat. Tapi Mila tidak sadar kalau beberapa mata memandangnya dengan tatapan tertentu.
.
Setelah mencari dan bertanya pada penjual yang tengah beres-beres, akhirnya Mila menemukan penginapan yang disebut oleh Kinasih.
"Berwarna hijau toska, dengan tiang kayu berwarna coklat sebanyak empat buah, gedungnya sebanyak tiga lantai. Nah, pasti ini."
.
Mila masuk ke dalam, kondisi sedang ramai karena dekat dengan waktu makan malam. Tampak banyak petualang dari bermacam kelompok tengah duduk dan bercerita sambil minum-minum.
Masih dengan Amel di pangkuannya, Mila bertanya pada seorang resepsionis dengan tubuh mungil.
Tidak jelas gendernya apa, tapi penampilannya mirip seorang elf kecil, mungkin fairy, tapi Mila tidak bisa memastikan karena dia belum mengenal seluruh ras di Etherim. Si kecil memperkenalkan dirinya sebagai Lulu, dia menunjukkan Mila kamarnya di lantai dua.
.
Seorang tamu di bar melihat Mila dan berbisik pada temannya.
Keduanya memakai kain ikat kepala berwarna ungu, fisiknya terlihat tegap, mungkin duo hunter karena perlengkapan mereka cukup lengkap. Pisau di paha, golok di pinggang dan panah serta busur di punggung.
"Phan, kau lihat itu?"
"Ya Rohm, tidak heran jika anak itu tidak kesulitan membawa temannya ke lantai atas."
Hunter bernama Rohm meneguk gelasnya, dia melanjutkan dengan serius.
"Tapi apa yang seorang Isalaka lakukan di sini, bukankah mereka tidak menyukai Kerajaan Falfarsi?"
Phan mengerenyitkan dahinya, minuman di sini cukup kuat,
"Entahlah.. mungkin dia sedang dalam misi tertentu."
.
.
.
Suara beduk tanda malam datang terdengar,
Goran yang sibuk, dalam waktu singkat menjadi tenang,
Api lentera menyala,
Angin berhembus dan sebuah bayangan melompati gedung satu dan lainnya,
Di lantai dua, kamar ketiga setelah tangga, Mila membaringkan Amelia di salah satu dari dua ranjang
"Tok, tok, tok" Terdengar bunyi ketukkan di jendela.
Mila membuka dengan hati-hati, Kinasih memberi salut dengan dua jari,
kemudian masuk dan duduk di jendela.
"Hei.. buk, Dengar, rupanya di kota ini ada rumor tertentu soal Isalaka."
.