Ini adalah cerita tentang Neng Dedes dan Kang Mudin, atau kisah cinta Neng Dedes dan Kang Mudin. Atau mungkin kisah lika-liku kehidupan Neng Dedes dan Kang Mudin.
Ya. Memang ini adalah kisah tentang kedua insan manusia itu. Cerita tentang seorang kembang desa dengan tumbuh montoknya yang banyak digilai oleh laki-laki di lingkungannya yang menjadi rebutan para pemuda. Namun harus jatuh dan menyerahkan hidupnya pada seorang pria yang usianya dua kali lipat dari pad usinya.
Baiklah akan kumulai kisah ini...
Seorang gadis desa dengan segala kecantikan dan kemolekan yang dimiliknya telah menjadi rebutan para pemuda pemudi di kampung—kampung tempat tinggalnya ataupun kampung-kampung sekitar. Dialah Dedes, gadis jelita dengan segala kemolekannya. Kulitnya yang lebih terang dari gadis kebanyakan, tubuhnya yang berisi, pinggul yang montok, dan dada yang merekah membuatnya lebih unggul dari gadis yang lain. Kelebihan yang dimilikinya secara sadar ataupun tidak telah menghipnotis banyak lelaki yang kemudia rela melaukan apapun untuk menarik perhatiannya.
Dedes seorang gadis ayu yang amat pemalu. Tidak banyak kata yang terucap dari mulutya ketika ia berpapasan dengan orang lain yang tidak begitu dikenalnya. Sebagaimana kehidupan para gadis desa lainnya, Dedes juga hidup dalam sebuah keluarga yang tidak begitu berkecukupan. Dia adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Orang tuanya hanyalah seorang buruh serabutan yang hanya akan bekerja di ladang saat pemiliknya meminta bantuannya. Tapi jika tidak, maka apapun akan dilakukan orang tuanya untuk bisa menyuapkan nasi ke mulut anak-anaknya.
Merasa sudah tidak mampu menghidupi ketujuh anaknya, akhirnya orang tua Dedes memilih menikahkannya dengan seorang pria yang berusia dua kali lipat dari usia puterinya sendiri. Entah apa yang ada dalam pikiran orang tuanya ketika hendak menikahkan anaknya, mengingat pria yang akan dinikahkan dengan puterinya pun tidak jauh berbeda kehidupannya.
Dialah Mudin, laki-laki berusia dua kali lipat dari Dedes yang hidup serabutan. Tidak memiliki pekerjaan yang tetap untuk menghidupi dirinya, namun memiliki sikap pekerja keras. Mudian adalah salah satu pria yang hidup di desa yang sama dengan Dedes, ia bertubuh kurus—tampak lebih tua dari usianya, dan berkulit gelap. Di desa itu ia hanya hidup seorang diri tanpa sanak saudara, bahkan tidak beristri meski usianya telah menginjak kepala tiga.
Ketika ia mengetahui jika akan dinikahkan dengan Dedess—seorang gadis belia, bukan main senang hatinya. Tapi di sisi lain hatinya merasa takut jika ia tidak bisa membuat istrinya itu berbahagia saat hidup dengannya. Singkat cerita mereka pun menikah dan tinggal di sebuah gubuk beralaskan tanah beratapkan daun rumbia.
***
"Dia tidak tampan, tapi aku sangat menghormatinya karena dia adalah suamiku yang telah bekerja keras untukku dan anak-anakku" kataku hati saat aku melihat suamiku tengah tertidur pulas di atas amben di depan rumah kami yang sederhana. Itulah yang sekarang aku rasakan ketika melihat seorang pria yang telah menikahiku sepuluh tahun tahun yang lalu dan membawaku ke dunia yang baru.
Lamunanku tiba-tiba saja terpecah saat Ningsih, anak bungsuku memanggilku yang entah bagaimana caranya dia sudah berada di sampingku. "kenapa Mak ngeliatin Abah terus? Abah gak akan hilang kok Mak" kata Ningsih menggoda. Tentu saja perkataannya itu membuatku terkejut sekaligus membangunkan suamiku dari tidur nyenyaknya. Matanya langsung terbelalak dan aku yakin wajahku langsung berubah merah tanpa bisa aku kendalikan.
"Neng..." Kata Mudin. "sini". Malu-malu aku dibuatnya, bahkan berjalanpun wajahku tertunduk. Dengan kuat hatiku mengumpat tentang tindakan Ningsih "anak nakal, aduuh Gusti". Aku pun duduk disampingnya, dan Ningsih langsung berhambur ke arah kami dan meminta untuk duduk dipangkuan ayahnya.
Perasaan itu jauh berlebihan rasanya dari pada perasaan saat pertama kali Mudin menggenggam tanganku dan membawaku masuk ke rumah sederhananya di hari pernikahan kami.
"ini rumahku, tidak bagus memang tapi cukup untuk kita berdua" kata Mudin setibanya kami di rumah. Dia menunjukan setiap ruangan yang ada di rumahnya—dapur, kamar mandi, ruang tengah, dan tentunya kamar untuk kami.
Kamar pengantin kami pun tidak ubahnya kamar orang-orang desa kebanyakan, namun lebih bagus dari miliku yang dulu. Dipan yang lebih bagus pemberian orang lain dan tanah yang sengaja diratakan olehnya. Aku yakin dia pasti sudah banyak merenovasi rumahnya ini, terlihat dari biliknya yang bersih dan rapat meski warnanya sudah tidak terang lagi.
Aku duduk di atas dipan sambil meremas kedua tanganku dan wajahku tertunduk. Perasaanku sangat tidak menentu saat itu. Jujur saja aku masih belum siap jauh dari orang tuaku, aku masih membutuhkan mereka disampingku. Ingin rasanya aku menangis dan berlari dari kamar pria yang kini menjadi suamiku. Tapi kemudian aku teringat akan pesan orang tuaku, " yang nurut sama suami, jangan bantah suami, setia, pasti hidupmu bahagia Neng.' Akhirnya aku pun membuang jauh-jauh keinginanku yang hendak menghambur keluar rumah.
Selama beberapa hari kamu berdua masih merasa canggung dan tidak banyak percakapan yang kami lontarkan. Aku hanya berusaha bersikap sebaik mungkin sebagai seorang isteri. Aku menyiapkan segala keperluan suamiku, membersihkan rumah, menunggunya pulang setelah bekerja, menyambutnya dengan senyuaman manis. Satu hal yang terpenting yang harus mulai kupupuk adalah rasa cinta kepadanya, atau setidaknya rasa hormat agar aku tidak bersikap semena-mena dan kurang ajar padanya.
Perkara yang satu ini adalah yang cukup sulit, meskipun setiap hari aku bertemu, saling menatap, dan tidur bersamanya, tapi perasaan itu belum juga muncul. Aku berusaha keras memunculkan perasaan itu kepada pria berambut cepak, berkulit gelap karena sengatan matahari, tapi setidaknya sekarang tubuhnya telah jauh berisi jika dibandingkan di hari pernikahan kami—hari pertama aku bertemu.
Suatu hari saat matahari mulai terbenam, suamiku baru tiba dirumah dengan tubuh yang bersimbah keringat. Tampak sangat jelas rasa lelah yang ada di wajahnya. Aku menyambutnya dengan senyuman semanis mungkin, mengambil perakas yang ada di tangannya, "baiknya Akang mandi dulu, nanti Neng siapkan makanannya buat Akang" kataku manis. Dia tidak merespon apapun, tapi dari ekor mata aku melihat kilasan senyuman terlukis diwajahnya.
Selagi suamiku membersihkan diri, aku berusaha secepat mungkin menyiapkan makan malam untuknya, lauk pauknya tidak lebih dari ikan asin, tempe goreng, dan sambal terasi andalanku. Aku menyajikan segalanya di atas amben yang ada di ruang tengah rumahku, aku menatanya sebaik mungkin. Tidak lama setelah itu suamiku pun keluar dari kamar mandi dengan butiran air yang masih sedikit menetas dari tubuhnya. Dengan hanya memakai celana kain sederhananya ia berjalan ke arahku dan duduk di atas amben untuk segera menyantap makan malamnya.
Dari matanya aku melihat rasa lapar yang akan segera sirna oleh makanan yang aa di depannya. Dengan semangat ia mengambil nasi dan lauk pauknya, dan makan dengan lahap. Aku sendiri pun duduk emok disampingnya dan menyuapkan nasi perlahan ke dalam mulutku.
Setelah selesai menyantap makan malam, aku membiarkan suamiku untuk beristirahat sejenak di atas amben, sedangkan aku langsung bergegas untuk membereskan semua perkakas yang tadi kamu gunakan. Setelah semua itu selesai aku kembali, namun kali ini aku memilih untuk pergi ke dalam kamar.
Seperti sudah jadi kebiasaanku sejak dulu, bahwa sebelum tidur aku harus terlebih dulu membersihkan tempat tidur itu. Dengan bantuan sapu lidi aku membersihkan tempat tidur itu agar tidak ada serangga yang menggigit. Tidak lupa aku juga menyalakan lampu damar untuk menerangi kamar kami.
Sesaat setelah lampu damar itu menyala, aku dibuat terkejut oleh kedatanagn Mudin yang sungguh tiba-tiba. Dia sudah ada di sampingku, memegang tanganku, dan menatapku. "Duh Gusti, dia mau apa?apa dia..."kataku dalam hati. "Neng, temani Akang ya" katanya memelas. Aku langsung menjatuhkan pandangaku dan dia langsung membawaku ke arah dipan. Dia meminta seluruh tubuhku untuk naik ke atas dipan dan kemudian di susul olehnya sendiri.
Dia menciumi tanganku dengan lembut, meskipun aku merasakan telapak tangannya yang kasar. Kemudia dia beralih ke kepalaku, meraba wajahku, membelai rambutku, dan membuka sanggul rambutku. Dia menatapku tajam, dan jantungku berdegup kecang. Di remang lampu damar dia membuka kancing bajuku dan tentu saja kain penutup tubuhku. Dia mulai menggerayangi tubuhku. "malam ini aku akan menyerahkan sepenuhnya hidupku padanya"kataku dalam hati.
Tidak lama dia pun membuka celana kainnya dan mulailah dia menikmati tubuhku. Jujur saja aku takut sekali, banyak pikiran tidak pasti betebaran dalam kepalaku tentang ini dan itu. Aku sepenuhnya menyerahkan tubuhku padanya, pasrah dengan apa yang hendak di lakukan padaku. Hingga tiba saat aku merasakan sakit di antara selangkanganku, spontan saja aku memeluk suamiku yang saat itu berada di atas tubuhku dan meringis. Aku mencekram tubuhnya, dan dia mengentikan tubuhnya untuk sedikit meredakan rasa sakit yang kualami.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, dia kembali melakukannya dan rasa sakit itu kembali aku rasakan. Setelah merasa jauh lebih baik aku mulai bisa mengikuti alur permainannya, meskipun aku terus bergumam dalam hati,"apa dia tidak pernah melakukannya selama ini?"
Kami berhenti sejenak. Aku beranjak dari tempat tidurku dan duduk di samping suamiku yang masih terbaring. "Ada apa?" katanya "Neng tidak suka?" nadanya berubah sendu dan seolah merasa bersalah. "Tidak Akang" kataku cepat. Mudin pu beranjak dari tempatnya dan duduk disampingku, dia mentapku dan berusah meyakinkanku jika apa yang tengah mereka lakukan tidaklah salah.
Tapi sebenarnya, tanpa dia ketahui aku sedang mencoba menguasai napsu berahiku yang seketika muncul saat ia mulai meraba-raba tubuhku. Sepertinya dia menyadari apa yang sedang kulakukan, "keluarkan saja" katanya pendek. Sontak aku menghabur ke arahnya, memeluknya dengan erat yang saat itu tengah tenjang bulat—sama sepertiku, aku mencium bagian tubuhnya yang mengeluarkan aroma khas dirinya. Dia kembali melakukannya higga berulang kali.
Setelah merasa cukup lelah dengan semua itu aku pun tertidur dalam pelukannya, dia berusaha menutup tubuhku alakadarnya dengan pakaianku sendiri. Sejujurnya aku tidak yakin dengan apa yang terjadi pada diriku saat ini, atau apakah ini yang disebutdengan kenikmatan yang banyak dikatakan orang-orang sebaya denganku yang sudah lebuh dulu menikah.
Selepas malam itu aku dan suamiku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya, yang membedakan hanyalah sikap kami yang sudah mulai terbuka satu sama lain, tidak lagi merasa kaku ataupun canggung. Bahkan sering kali aku turut serta menemaninya pergi ke ladang milik orang lain yang sedang meminta bantuannya untuk mengurusi ladangnya. Selama itu pula banyak aku mendengar para pemuda yang dulu mengejarku ataupun gadis-gadis lainnya merasa iri akan kebahagiaan yang aku rasakan bersama dengan suamiku.
Hal-hal yang paling aku sukai saat itu adalah ketika kamu berjalan bersama di pematang sawah, dia menggenggam tanganku dan menjagaku agar tidak terjatuh ke dalam lumpur sawah yang ada di kanan kiri.
***
Hari itu suamiku sedang tidak pergi kemanapun karena tidak ada orang yang memanggilnya untuk bekerja. Sepanjang hari ia menghabiskan waktunya dirumah dengan membuat kurungan ayam dari bilah-bilah bambu yang diambilnya dari hutan. Aku berjalan menghampirinya dengan membawakan sepiring ubi rebus ditanganku, aku duduk di atas amben dan memperhatikan ia yang dengan cekatan membuat kurungan ayam, "Kang, dimakan dulu ubinya" kataku sembari berusaha mengangkat kedua kakiku ke atas amben dengan susah payah mengingat perutku yang sudah mulai membesar.
Ya. Sekarang aku sedang hamil anak pertama dan kandunganku sekarang sudah memasuki bulan ketujuh. Bukan main susahnya menjadi ibu hamil. Melihat keberadaanku Mudin langsung meninggalkan pekerjaannya dan mencuci tangannya di pancuran air buatannya sendiri. Ia tersenyum padaku yang aku yakini itu adalah senyuman tulus yang ia berikan untukku.
Demi tuhan aku merasa sangat bahagia memiliki dia sebagai suamiku, meskipun usianya jauh lebih tua tapi dia adalah sosok yang pekerja keras dan pantang menyerah. Sejak kehamilanku mulai membesar ia menjadi semakin memilih-milih dalam pekerjaan, alasannya adalah agar ia tidak terlalu jauh dariku jika sesuatu terjadi.
"Kang, beras kita sudah habis. Ubi pun tinggal sedikit lagi' kataku lemah. "Ya, nanti Akang beli beras di warung Bu Sur" katanya sembari memegang perutku yang hanya ditutpi oleh kain yang melilit tubuhku. Aku tahu, apa yang baru saja dikatakannya tidak;ah akan dengan mudah dilakukannya, mengingat uang yang kami miliki sudah benar-benar habis. Entah bagaimana dia akan mendapatkan beras nantinya.
"Neng, kakimu bengkak lagi?" tanyanya. 'iya Kang" jawabku. "biar Akang ambil minyak urut ya" Aku langsung bergegas menahanyya, "nanti saja Kang, jangan disini Akang melakukannya tidak enak kalau orang lain melihat" kataku.
Setelah mememakan beberapa potong ubi, suamiku langsung meminta izin untuk pergi ke warung Bu Sur guna membeli beras dan beberapa kebutuhan lainnya. Aku hanya tersenyum melepasnya pergi, tidak yakin dengan apa yang akan ia lakukan, mungkin dia akan berhutang untuk semua itu.
Tapi jika dia memang melakukannya, aku todak yakin Bu Sur akan memberikannya, mengingat Bu Sur sangat tidak menyukai orang-orang berhutang di warungnya karena dia takut akan rugi karena hutang yang tidak lekas di bayar.
***
Aku berjalan meninggalkan istriku seorang diri untuk memenuhi beberapa kebutuhan hidup. Sebelumnya aku mengatakan dengan pasti bahwa aku akan membeli beberapa keperluan untuknya tapi sejujurnya aku tidak tahu bagaimana cara aku mendapatkannya karena tak sepeserpun uangku tersisa. Tapi meski begitu aku tetap saja menuju warung Bu Sur.
Setibanya di sana aku mulai menghadapi Bu Sur yang dengan tampang keras dan angkuhnya bertanya tentang apa yang hendak aku beli. Aku lama menjawab pertanyaan itu hingga Bu sur mengulangi pertanyaannya, "Kalau kau mau berhutang pergi saja!" kata dengan keras. Tidak ada rasa segan pada dirinya meski aku berusia jauh lebih tua darinya, atau bisa disamakan usianya tiak jauh beda dengan isteriku.
"saya akan segera melinasinya" kataku. "oh, Si Dedes yang sekarang bunting?' katnya ketus, "berapa bulan sekarang?", aku menjawab dengan pasti, "tujuh bulan". "sebentar lagi beranak dia" katanya. Ditengah perbincangan yang sangat memuakan itu, tiba-tiba Bagus—suaminya datang dan menyela perbincangan kita. Usia bagus memang lebih muda dariku tapi dia jauh lebih beruntung dariku. "eh Kang Mudin, Butuh beras Kang? Tunggu sebentar ya" katanya. , Tidak lama ia pun segera menyodorkan sekantun beras padaku "Ambilah Kang" katanya. "Eh kenapa dikasih gitu aja, dia harus bayar atuh!" sela istrinya. "sudahlah Sur, anggap saja itu hadiah untuk si jabang bayi" katanya. Dengan perasaan bahagia aku mengucapkan terimakasih dan bergegas kembali pulang untuk segera diberikan kepada istriku.
***
Aku masih saja duduk di atas amben dengan kaki terjulur dan terus mengusap-ngusap perutku. Dari kejauhan aku melihat suamiku berjalan ke arahku dengan membawa sebuah kantung. Tidak lama akhirnya suamiku datang dan berdiri di hadapanku. Dengan wajah bahagia ia meberikan sekantung beras itu padaku dan kemudian ia kembali mebelai perutku.
"ayo masuk, Akang balur kakimu dengan minyak urut" katanya. Aku berjalan dengan sangat hati-hati dan kembali duduk di atas amben di dalam rumahku. Ia kembali datang dengan minyak urut di tangannya. Kemudian ia membantuku untuk meluruh=skan kakiku dan mulai mebalurkan minyak urut dengan perlahan.
Di saat sedang berduaan seperti itu terkadang kami sering berseloroh bersama dan tertawa bersama. Dia memijat kakiku cukup lama hingga aku merasanya nyaman, "sepertinya Akang harus memijat bagian yang lain" katanya. Aku terbelalak seketika meskipun aku tahun apa maksudnya dengan "bagian lain". "pegang ini" katanya sambil memberiku minyak urut yang dibawanya. Dia turun dari atas amben dan kemudian menggedongku menuju kamar. Aku tersenyum dan tersipu malu karena hal ini belum pernah dia lakukan sebelumnya.
Dengan sangat hati-hati dia menurunkanku di atas tempat tidur dan perlahan membuka lilitan kain yang membelit tubuhku, hingga membuat bagian atas tubuhku terbuka. Tapi dengan cepat ia segera menutup dadaku dengan sarung miliknya dan yang terbuka hanyalah bagian perutku yang menonjol. Ia mulai kembali mengoleskan minyak urut itu ke atas perutku dan menyebarkannya dengan mengusap-usapnya.
Ia tiba-tiba tersentak saat bayi di dalam perutku menendangnya. Aku tertawa melihat ekspresinya. "dia menendangku" katanya.
***
Ini sudah waktunya untuk bayi yang ada di dalam perutku ini lahir ke dunia. Saat aku sedang merapikan beberapa perkakas di dapur tiba-tiba saja cairan bening membasahi permukaan tanah. Aku langsung menyadari hal itu sebagai air ketuban, aku langsung berteriak memanggil suamiku yang sedang berada di luar rumah, "Kang! Akang" aku yakin suaraku itu mengagetkannya dan membuatnya langsung berlari menghampiriku.
"Neng?" katnya dngan panik. "Akang, panggilkan Mak. Aku butuh Mak" kataku dengan cemas. Suamiku terlebih dulu membawaku ke dalam kamar dan membaringkanku, kemudian barulah ia menemui orang tuaku dan mengatakan jika aku akan segeraelahirkan.
Selagi ia pergi aku merasakan sakit yang teramat sangat bahkan hingga air mataku menetes atau bahkan mengalir. Tidak lama ibuku akhirnya sampai. Ia segera meraihku dan membelai kepalaku, "Kuat Neng, kamu kuat" katanya. "sakit Mak, sakit" kataku lirih. 'Din, cepat panggil Mak Jum, minta dia cepat datang. Kasihan si Dedes" katanya.
Suamiku langsung pergi menuju kediaman Mak Jum—dukun beranak, sementara aku terus merasakan sakit dan terus menggenggam tangan ibuku yang ada di sampingku, "kuat Neng, atur napas. Aduh Gusti" katanya.
Tidak lama Mak Jum tiba di kamarku, dia segera meminta segala keperluan disediakan—air hangat, baskom, dan kain panjang. Sementara itu Mak Jum dan ibuku terus berada di dalam kamarku dan membantuku. Aku merasa waktu berjalan sangat lambat, aku bertaruh nyawaku untuk bayi yang akan kukeluarkan dari dalam perutku. Tidak terhitung rasa sakit yang kualami saat itu. Hingga berakhirlah rasa sakitku itu, ketika bayi kecil yang merah keluar ari dalam perutku. Aku menangis tidak percaya karena aku berhasil mengeluarkan seorang manusia dari dalam perutku.
Suara tangis anak laki-laki itu begitu nyaring sekaligus membaw kebahagiaan bagi orang-orang yang ada di rumahku. Mak Jum langsung memotong tali pusar bayiku dan membersihkan tubuhnya dari darah-darah yang menempel, barulah kemudian bayi itu di serahkannya padaku.
Ketika bayi itu ada di dalam dekapanku, aku merasa ukurannya terlalu kecil dan aku sama sekali tidak percaya jika benda yang ada di tanganu ini sungguh bergerak-gerak. Di saat yang bersamaan suami dan ayahku langsung menghampiriku, mereka seolah berlomba untuk lebih dulu melihat bayi kecil.
"susui anakmu, dia terus saja menangis" kata Mak Jum. Aku tercekat, aku berfikir mana mungkin aku menyusuinya di depan orang tuaku dan Mak Jum, atau setidaknya di depan ayahku. Aku terdiam sesaat dan untung saja gelagatku langsung disadari oleh Mak Jum. Ia langsung meminta kepada ayah dan ibuku untuk mebawa segala bekas barang yang dipakai keluar, termasuk mengubur ari-ari bayiku.
Setelah semua orang meninggalkan kamarku, dan yang tersisa hanya aku, suamiku dan bayi kecil dalam gendonganku. Aku mulai mengeluarkan selah payudaraku agar bisa bayiku segera menikmati air susunya. Mulut kecilnya segera menyerbu ke arah puting susuku dan aku tiba-tiba tersentak saat ia untuk pertama kalinya menghisap susu dari puting susuku.
Selagi aku menyusuinya, suamiku terus saya membelai wajah halus bayi itu dengan penuh rasa bahagia yang tidak terkira. Dia juga mencium kepalaku dan membairkan kepalaku bersandar di bahunya. Hari itu terasa sangat melelahkan bagiku, namun aku sama sekali tidak bisa tertidur pulas karena bayi kecil itu terus saja menagis, entah karena minta susu atau karena kain pembungkusnya basah.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa, meski aku merasa hal yang kita lakukan jauh lebih ekstra. Sebulan sudah sejak bayiku dilahirkan, aku merasa kebagahiaanku dan suamiku semakin bertambah setiap harinya. Sampai pada suatu hari Bu Sur san suaminya datang berkunjung. aku rasa itu bukanlah berkunjung tapi merampok. Merka memaksaku untuk menyerahkan bayiku dengan alasan mereka akan merawatnya, mereka mengatakan beribu janji untuk bisa memiliki anak itu, bahkan memohon padaku. Tapi tentu saja aku dan suami menolak untuk meberikan puteraku.
Apa hak yang mereka miliki sehingga dengan mudah mereka meminta bayiku. Tapi entah apa yang ada dipikiran wanita biadab itu hingga keluar daru ucapannya bahwa mereka ada bos dari suamiku, apapun yang diinginkan olehnya harus dituruti sebagai ucapan terimakasih. Sontak hal itu membaut kamu semua terbelalak, bahkan suaminya harus menundukan kepada karena malu dengan apa yang baru saja dikatakan oleh isterinya., sedangkan suamiu sudah tidak bisa mengatakan apapun mengingat rasa hormatnya.
"Dedes, kami tidak mengambil anakmu, kapanpun kau bisa menjenguknya. Kami hanya ingin ia hidup lebih layak mengingat suamimu sudah seperti saudaraku sendiri" kara Bagus dengan lemah lembut. Kami sudah tidak bisa lagi menolak apa yang dikatakan mereka. Dengan air mata tersedu-sedu aku melepaskan bayiku dan melihatnya pergi dibawa orang lain dari tanganku.
Setelah mereka hilang dari pandangan aku langsung bergas pergi menuju kamar dan menangis sejadi-jadinya, aku menyesal karena tidak mempertahankan bayiku, dia adalah milikku yang seharusnya kujaga. Mudin, suamiku langsung meghampiriku dan memelukku dengan erat, dia merusaha menenangkanku.
Kejadian itu membuatku sanga menderita, bahkan suamiku pun merasakan hal yang sama. aku merasa hidup kami tiba-tiba berubah hampa. Sepanjang hari itu aku hanya menghabiskan hariku dengan berbaring di atas tempat tidur dengan bekas alas tidur bayiku yang masih berada di sana. Ketika malam tiba, dalam kekalutan yang kualami tiba-tiba ada yang tidak beres pada diriku. Aku mendapati kedua payudaraku telah membuat pakaianku basah. Kedua payudaraku terasa sakit dan terus meneteskan air susu.
Tidak lama suamiku pun datang dan melihat apa yang tengah terjadi padaku, "Neng?" katanya, aku menunjukan telapak tanganku yang telah basah. Dia terpana kemudian segera mengambilkan pakaian pengganti untukku. Tapi rupanya air susu itu tak kunjung berhenti menetes, aku tahu ini karena tidak ada si pemilik untuk menghisapnya.
Di tengah malam, tiba-tiba aku terbangun karena mnyadari air sususku telah kembali membasahi pakaianku, perlahan aku menuruni tempat tidur dan pergi ke dapu. Aku mengambil sebuah gelas berukuran besar, dan di bawah lampu damar yang menyala aku mengeluarkan sebelah payudaraku dan menekankan perlahan. Tampak jalas olehku jika air susu itu mengalir dengan derasnya ke dalam gelas. Hal seperti itu aku lakukan hingga beberapa hari.
Setiap harinya selama satu bulan aku meminta suamiku untuk pergi mengantarkan aair susuku ke rumah Bu sur agar bayiku bisa meminumnya, namun hal itu tampak sa-sia karena Buk sur tidak mengizinkan bayiku meminum air susu ibunya sendiri. Hal itupun teradi saat aku sendiri yang pergi mengantarannya. Aku tidak tahu lagi harus ku apakan kedua payudaraku yang terus saja mengeluarkan susu, yang kulakukan setiap harinya hanyalah membuang air susuku begitu saja. Terasa begitu menyakitkan bagiku melihat hal itu, hingga rasa sedih itu tidak lagi bisa kubendung.
Hari itu aku menangis sesegukan di dalam kamar dan aku membuarkan seluruh pakaianku kembali dibasahi oleh air susu. Mudin menghampiriku namun ia sama sekali tidak mengatakan apapun padaku, "sakit hati saya Kang, air susu saya tidak diterima dan saya harus terus membuangnya percuma" kataku dengan terisak.
Dia berjalan ke arahku dan duduk di hadapanku di atas pembaringan. Ia menatapku dengan penuh ketulusan yang terpancari dari matanya. Tanpa kata-kata apapun sebelumnya, ia langsung melayangkan telapak tangannya menyentuh payudayaku yang basah dan kini telah membesar—jauh lebih besar. "air susumu tidak akan terbuang percuma lagi Neng" katnya. Aku mentapnya dan berusaha encerna apa yang sedang dikatakannya, bagaimana bisa tidak dibuang percuma jika bayiku saja tidak ada lagi untuk menghisapnya.
Namun pertanyaan itu terjawab sudah ketika suamiki menurunkan kain yang melilit tubuhku hingga meperlihatkan payudaraku yang besar tergantung tanpa pelindung. Dia menatapku sesaat seolah berusaha meyakinkanku tengang apa yang hendak dilakukannya.ia mendektkan kepalanya ke arahku, mendekatkan mulutkan ke arah puting susuku, dia memasukan puting susuku ke dalam mulutnya, dan menghispapnya sesaat sebelum kembali melepaskannya.
Aku terpana melihat apa yang dia lakukan, tapi akhirnya aky sadar jika yang dilakukannya adalah yang terbaik dari pada membiarkan air susuku terbuang percuma. Ketika ia melepaskan mulutnya dari putingku, aku seolah bertanya "kenapa kau menghentikannya?" kemudian aku segera mengakat sebelah payudaraku seperti hendak memberikannya ke mulut bayiku untuk dihisap. Tanpa kata-kata yang terucap aku memintnya untuk melakukannya lagi.
Ia kembali menghisap puting susuku perlahan hingga membuat payudaraku terasa lebih baik, dan ia pun melakukan hal yang sama pada payudaraku yang lainnya. Hal seperti itulah yang kami lakukan setiap harinya selama sebulan penuh, sebelum akhirnya bayiku dikembalikan oleh Bagus karena merasa isterinya tidak mampu merawatnya.
Aku langsung memburu puteraku yang tampak kurus, aku langsung membawanya masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku langsung menyusuinya dngan tetasan air mata mengalir di pipiku. Aku merasa snagat bahagia karena akhirnya bisa kembali menyusui puteraku.
Dua tahun berlalu setelah kejadian itu, kebahagiaan kami brtambah dengan hadirnya bayi perempuan yang juga keluar dari perutku. Baik aku maupun suamiku merasa amat bahagia dengan kehadirannya.
***