"Tidak ada. Aku sungguh suka es krim ini. Lezat." Akunya pahit.
Jujur saja, memang tak ada es krim di dunia peri. Kebanyakan mereka mendapat es krim hasil jebakan dari manusia yang berniat menangkap kaum mereka dan itu pun sangat jarang. Milena hanya pernah membacanya di buku perpustakaan istana, cerita mengenai jenis-jenis umpan untuk jebakan peri, dan es krim adalah salah satunya.
Es krim? Umpan?
Milena mengernyitkan kening. Apakah Max sengaja membawa es krim untuk menjebaknya? Ciuman pertamanya ditukar dengan es krim? ES KRIM??? Ia menggelengkan kepala, marah.
David memperhatikan gelagat aneh Milena yang tampaknya sedang memikirkan suatu hal, tapi diabaikannya—ia membersihkan sendok Milena di bawah air keran yang mengucur.
Itu pasti hanya kebetulan. Renung Milena. Matanya menatap curiga pada es krim yang ada di atas piring kecil, strawberry-nya mulai lepas dari tempatnya, jatuh perlahan ke dasar. Ia tak sempat bersorak ria mendapat es krim untuk pertama kalinya. Siapa yang tak penasaran dengan rasa berbagai buah, dingin, lembut, dan kaya rasa? Semua gara-gara Max! Dia itu perusak pesta! Memikirkan hal itu membuatnya kontan menggertakkan gigi, kedua tangannya mengepal.
"Kau baik-baik saja, Milena?" paman David membuyarkan lamunannya.
David mengamati dari sisi ruangan.
"Oh! Ya! Tentu saja!" Kedua bahunya merosot, "Aku baru sadar kalau es krim adalah umpan yang paling peri sukai. Rasanya memang luar biasa. Tak heran banyak peri yang nekat menampakkan dirinya. Umumnya pada anak-anak, sih."
"Yah. Kalau begitu kau tidak begitu rugi jadi manusia, kan?" sang dokter mengedipkan sebelah mata.
Milena tergelak, menggelengkan kepala.
"Yeah. Dia mendapat cokelat dan punya fans rahasia. Dambaan setiap gadis."
Milena mendengar ada nada cemburu dalam suara David, tapi disamarkan dalam bentuk tawa dan ekspresi lucu di wajahnya.
"Kau mau satu potongan es krim lagi?" lanjutnya seraya menyodorkan sendok.
"Hmm.. Yah.. boleh. Tidak setiap hari aku bisa makan es krim, kan?" celutuk Milena, canggung.
"Sepertinya ada yang cemburu disini." sindir dokter Chris, menunjuk David dengan ujung sendoknya.
"A-apa? Aku? Yang benar saja!" sangkalnya, "aku hanya tak habis pikir kenapa ia mau menerima hadiah dari orang yang tak ia ketahui!" nada suara David naik satu oktaf, menyadari dirinya yang lepas kendali, ia memutar bola mata dan berjalan menuju kamar mandi. Langkahnya cepat, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal kuat.
"Maafkan aku, ok? Aku memang ceroboh! Bisa tidak kau berhenti marah padaku seperti itu?" Teriak Milena putus asa, ia kesal dengan sikap David yang seolah-olah menuduhnya berbuat kejahatan. Entah apa reaksinya jika ia tahu Max menciumnya, apakah ia akan menjadi pelakunya dan Max menjadi korbannya? Alih-alih mengatakan Max orang brengsek munafik, mungkin saja ia akan berkata bahwa kecantikannyalah yang mengundang Max untuk menyerangnya. Pemikiran itu membuat Milena merasa buruk, marah, kecewa, dan tertekan.