Milena tak tahu apa yang dikatakannya, tapi tempat itu selalu disebut-sebut David ketika ingin pergi.
"Kelas dimulai sore nanti sampai malam hari. Itulah kenapa aku datang pagi-pagi kemari. Ingin cepat-cepat menemuimu."
"Oh." kata Milena singkat. Ia menunduk malu, menyendok kue es krimnya tanpa tujuan.
"David! Bukankah kau harus memanggil pamanmu setelah Milena sadar?" seru Max mengingatkan.
"Oh! Kau benar! Aku lupa!" ia berdiri dari kursinya.
"Apa?" Kepala sang peri mendongak menatap David, bingung.
"Kau sempat pingsan lagi saat aku tertidur. Untung Max ada bersamaku. Aku segera kembali. Max, tolong jaga dia." Dalam sekejap David melangkah menuju pintu.
"Dengan senang hati!" teriaknya riang, senyum indahnya yang khas muncul, hanya saja kali ini terlihat mengancam dan licik. Sesaat, Milena berpendapat kalau senyum itu sungguh artistik—perpaduan antara mahakarya dan pesona yang mematikan. Lalu ia sadar sedang berhadapan dengan siapa. Pikiran itu lenyap bagai asap di udara.
Mereka berdua beradu pandang. Hening.
"Apa maumu?" tanya Milena memulai percakapan, suaranya tajam dan penuh curiga.
"Sederhana. Aku rasa kau sudah tahu. Sia-sia mengulang perkataan yang sama, bukan?" Max berdiri, berjalan ke sisinya, dan menatapnya dengan mata berkilat-kilat.
"Tega sekali kau pada David!" geramnya marah.
"Kau sendiri yang memicuku berbuat demikian, penipu!" Ia meraih tangan Milena yang memegang sendok, mencengkeram pergelangannya hingga perempuan itu meringis kesakitan.
"Kau yang penipu! Bukan aku!" Ia berusaha melepas cengkeraman Max, tapi lelaki itu kuat seperti beruang.
"Jaga ucapanmu, wanita jalang!" Max menyentakkan tangan Milena, cengkeramannya lebih kuat dari sebelumnya.
Milena mengerang kesakitan.
"Jika aku jadi wanita jalang untuk membuktikan kau orang yang mengerikan, aku tak keberatan!" tantangnya, ia mencondongkan tubuhnya menatap Max.
Sekilas, kebingungan terlihat di mata Max, dan seperti biasa, ia kembali menyeringai jahat, juga mencondongkan tubuhnya, mendesis tajam, "lalu apa? Kau pikir David akan mempercayai segala ucapanmu? Dia mengenalku lebih lama darimu. Kau!" Ia berhenti sejenak, dadanya naik turun, ada jeda menahan napas, mata terpejam sesaat, lalu kepalanya dimiringkan, "hanya mainan pelampiasan David saat ini. Dia tak benar-benar menyukaimu. Entah kau terlalu bodoh atau memang ada niat menggodanya. Akhir permainan ini mudah ditebak: kau yang akan terluka pada akhirnya."
Ia mendekatkan wajahnya lebih dekat pada wajah Milena, hembusan napas Max dapat dirasakannya secara nyata di kulit wajahnya, mata Max begitu dekat hingga ia bisa melihat pola iris matanya yang mengagumkan.
Milena tertegun menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Sekujur tubuhnya terasa dialiri hawa dingin yang aneh. Sensasi yang dirasakannya bersama Max sulit untuk dijelaskan, perasaan itu semakin ganjil dan buruk saja seiring frekuensi pertemuan mereka.
Awalnya, ia menyukai lelaki itu, jika saja tak memiliki 'rahasia kecil' busuknya. Sekarang? Ia benci. Sangat benci padanya. Rasa benci itu diiringi sesuatu yang mengganggunya, membuat hatinya bergejolak hebat setiap kali lelaki itu mendekatkan wajahnya. Seperti sebuah dorongan untuk meraihnya dalam dekapannya. Aneh. Sungguh aneh! Mungkin itu hanya adrenalinnya yang ingin menjambak rambut musuhnya itu. Ya! Seperti itu! Pasti begitu! Tak ingin lebih lama jatuh dalam pesona indah mata Max, ia memalingkan muka.