Sulit baginya menjawab pertanyaan itu. Secara fisik ia baik-baik saja, tapi kepalanya agak berdenging hebat. Kilasan ingatan akan perempuan itu masih kuat terpatri di kepalanya. Katrina... Siapa gerangan perempuan itu? Dari kondisi tempat perempuan itu, bisa disimpulkannya ia berurusan dengan penyihir. Apa yang dibuatnya hingga berurusan dengan seorang penyihir? Pertanyaan itu menempel kuat di kepalanya selama beberapa detik hingga David kembali bertanya, "apa ada yang sakit?"
Lelaki itu tak akan berhenti bertanya sampai ia menjawabnya, maka ia hanya menggeleng pelan sebagai jawaban singkatnya.
Senyumnya merekah, Max menggenggam tangan Milena kuat-kuat, menyelipkan rambut Milena di balik telinganya. "Akan kusiapkan sarapan, oke?"
Sejujurnya, ia tak merasa lapar. David akan mulai bersikap gelisah jika ia bertingkah tidak seperti biasanya (kecuali soal klaim status perinya), dengan terpaksa hanya menurut dan mengangguk pelan.
Sementara David menyiapkan makanan untuknya, ia mengamati gerak-gerik lelaki yang telah mencuri hatinya itu, memperhatikan lengannya yang kokoh dari balik cardigan biru gelapnya. Alis cokelatnya tebal dan berkarakter—indah bagai karya seni, hidungnya lurus dan mancung—sebuah kesempurnaan, dan bibirnya, bibirnya tipis, terlihat penuh dan tegas. Sangat berbanding terbalik dengan bibir Max yang tebal dan seksi... tebal dan seksi? Milena mengerutkan kening. Apa-apaan itu? Kenapa tiba-tiba ia teringat Max? Bola matanya bergerak-gerak gelisah, ada yang tak beres dengannya. Ia berhalusinasi bertemu Max, dan sekarang ia mengagumi bibir lelaki mengerikan itu? Tanpa sadar Milena mendengus geli, itu membuat David berbalik, kebingungan terlihat jelas di wajahnya.
"Oh! Maaf! Aku memikirkan sesuatu yang aneh." Ia mengibaskan tangan di udara. "Tidak begitu penting."
"Jadi selama aku absen, apa kau merindukanku?" Ia tersenyum menggoda seraya menaikkan sandaran tempat tidur Milena, ada secercah harapan terselip dalam nada suaranya. Sadar ia terlalu terang-terangan, David mengalihkan topik, "ada kejadian apa kemarin? Ada yang menarik?" Ia menuding kotak coklat di meja samping tempat tidur.
Milena mendelik. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Pikirannya kembali tertuju pada Max. Kini cokelat dan Max sudah seperti sebuah kesatuan dalam daftarnya. Cokelat adalah Max. Max adalah cokelat. Apakah karena sosok Max yang mengerikan dan mengintimidasi hingga ia terbawa mimpi? Ia mencoba mengingat-ingatnya. Kosong. Tak ada satu pun yang melekat di otaknya. Sekeras apapun ia berusaha memutar otak, ia tak bisa mengingat mimpinya, kehadiran Max itu sangat nyata. Apa ia berhalusinasi? Mimpikah? Semoga begitu.
Ia memindai ruangan. Tak ada tanda-tanda kehadiran Max. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Syukulah. Apapun itu, yang terpenting saat ini adalah David berada di sisinya. Sungguh lega.
"Apa? Ada apa?" Tanya David penasaran, ia mendorong meja geser ke arahnya.
"Sudah kubilang, bukan apa-apa." Tegasnya.