Milena sulit memejamkan mata, tidurnya jadi agak larut. Saat ia membuka mata di pagi hari, jam di dinding sudah menunjukkan nyaris pukul sepuluh. Cahaya matahari menerpa dinding ruangannya, rupanya ia tak menutup gordennya semalam, terlalu sibuk berpikir.
Tak ada mimpi apa pun yang datang padanya. Kecuali satu, meski matanya telah terbuka lebar, perwujudan mimpi buruk itu masih ada dan nyata: Max!
Kedua matanya memandang Milena dengan sorot mata haus darah, ingin menerkamnya hingga menjadi potongan-potongan kecil. Napas Milena berhenti, menelan ludah pun tak sanggup. Kedua tangannya gemetar. Meragukan dirinya sendiri telah terbangun dari mimpi, ia menutup mata kuat-kuat lalu membukanya kembali, tapi sosok itu masih ada di sana. Keringat dingin menyelimutinya.
Ini salah! Ini salah! pekiknya dalam hati.
Ia tak seharusnya takut pada lelaki itu, namun respon tubuhnya berkata lain, membuktikan bahwa dirinya sangat takut terhadap kehadiran lelaki itu. Wajah Max sangat dekat hingga bisa merasakan hembusan napas lelaki itu di kulitnya.
"Ma-Max?" suaranya terbata, matanya mengerjap cepat.
"Kau—" bibirnya mengarah ke telinga Milena, "sangat mengganggu, menyebalkan, dan keras kepala."
"A-apa maumu?" Milena berusaha memberanikan diri.
"Sudah kubilang untuk menjauh, bukan?" Max menggeram, tangan kanannya membelai sisi kanan kepala Milena.
"Jangan mimpi!" Milena mendengus kasar, suaranya gemetar.
"Kau!" erangnya tertahan, tangan kanannya kini mencengkeram leher Milena. "Apa coklat itu tak cukup membuatmu takut? Apa kau tak curiga ada yang memberimu cokelat tanpa tahu siapa orangnya? Aturan pertama manusia: jangan terima apa pun dari orang asing!"
Kepala Milena seketika itu sakit, kilasan potongan ingatan muncul di kepalanya: Ia mendapat penglihatan seorang perempuan dengan tangan memegangi cermin, tampak menyeringai ke arahnya. Ia memejamkan mata kuat-kuat mengusir penglihatan tak menyenangkan itu, kesadarannya nyaris lenyap, tapi suara mengancam Max terngiang jelas di telinganya, membuatnya kembali ke dunia nyata.
"Kau bodoh sekali! Kali ini kau beruntung tak ada racun di dalamnya, lain kali siapa yang tahu?" Ia menyeringai lebar, begitu jahat dengan mata berkilat. Matanya beradu dengan Milena.
"Aku harap ini hanya mimpi..." harap Milena pahit, ia merasa gerah dan keringatan, masih meragukan kesadarannya.
"Ini nyata! Kau tidak sedang tertidur!" rahang Max mengeras, dagu Milena diangkat hingga jarak antara bibir mereka nyaris bersentuhan. "Aktingmu sungguh luar biasa! Sok polos, sok suci!"
"Oh—Aku memang—jago dalam berakting—tapi tidak di dunia ini—" susah payah Milena mengucapkan semua kalimat itu, napasnya terasa sesak dan perutnya mual.
"Apa kau tahu tindakanmu kemarin bisa berbuah malapetaka? Jika aku menaruh racun di dalam cokelat itu, maka kematian perewat itu, dokter Ames, dan dokter Chris adalah tanggung jawabmu!" Max menyeringai jahat, ia melepas tangannya, memberi kesempatan untuk bernapas.
Milena mengamati Max yang berdiri mengawasinya dengan tatapan benci dan penuh amarah. Sungguh ia tak mengerti dengan sikap permusuhan tiba-tiba dari lelaki itu.
"Kau pengecut!" kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Milena, "kupikir diriku lebih pengecut, ternyata kau lebih dari diriku! Juga seorang pembohong besar! Munafik dan penuh tipu daya! Kenapa kau mau susah-susah melukai orang di sekitarku jika kau bisa membunuhku secara langsung?" Amarah terdengar jelas dari suaranya, tegas, dalam, dan penuh tekanan.