Chapter 95 - Cokelat Misterius (7)

Hari itu, meski diawali dengan hal yang membuat suasana hatinya kacau, setidaknya sekotak cokelat misterius membuatnya senang.

Matilda bercakap-cakap beberapa hal dengan Milena, cokelat itu rupanya memecah kekakuan diantara mereka. Perawat itu ternyata orang yang banyak bicara, tidak seperti yang ia ketahui selama ini. Katanya ia tak begitu ingin akrab dengan pasien manapun, itu membuatnya merasa kesepian ketika mereka satu persatu harus keluar dari rumah sakit.

Matilda merupakan keturunan Jerman, sebagian besar keluarganya menetap di Inggris, memiliki satu anak, sayangnya anak itu lebih memilih bersama ayahnya di Inggris saat mereka memutuskan bercerai. Karena sakit hati dan putus asa, maka ia putuskan untuk ke Amerika. Semua itu dijelaskannya pada Milena satu persatu beserta penjelasan ilmu singkat Geografi Matilda.

Dunia manusia lebih luas dari yang ia duga rupanya. Ia bisa mengerti perasaan Matilda, mengingat dirinya sendiri adalah peri soliter—tidak soliter sepenuhnya, namun cukup kesepian hingga menyandang gelar itu.

Matilda sesekali menangis sesenggukan menceritakan kisah keluarganya yang hancur, ia hanya bisa bersimpati dan menepuk-nepuk pundak perawat itu. Topik keluarga bukanlah hal yang ia kuasai. Sejak ia kecil, dirinya dibesarkan di istana oleh pejabat istana yang kaku dan tak banyak bicara. Ia tak tahu mengenai nasib orang tuanya, ada yang bilang mereka meninggalkannya karena suatu alasan yang tidak masuk akal, ada yang bilang mereka mati secara tragis, dan masih banyak lagi spekulasi tidak jelas yang ia dengar.

Perempuan cantik itu tak mau repot-repot memikirkannya. Intinya sama saja: mereka menelantarkan Milena di tempat yang mengerikan. Tempat yang merenggut masa kecilnya; disaat anak-anak yang lain bermain bersama di hutan, ia sibuk membaca perkamen berusia ratusan tahun di ruang bawah tanah istana yang muram dan dingin. Hal baiknya adalah ia bisa mengetahui sejarah interaksi manusia di sana. m

Tidak buruk juga untuk keadaan saat ini, pikirnya.

Matilda bercerita banyak hal padanya, tak terasa waktu berlalu begitu cepat, di luar sudah nyaris gelap. Dari arah pintu ia mendengar suara ketukan. Harapan aneh muncul di hati Milena, berharap David muncul membawa muffin kesukaannya.

Hatinya mencelos, itu dokter Chris dengan senyum lebar yang menggantung di wajahnya, tangannya melambaikan catatan medis di udara, bersandar pada bingkai pintu. "Halo, Milena! Bagaimana kabarmu?" sapanya.

Milena nyengir. "Kau mau aku menjawab yang bagaimana, dokter Chris? Baik? Sehat? Kesal?"

"Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik. Apa karena David hanya datang berkunjung sejenak?" kakinya melangkah mantap menuju tempat tidur. "Hai, Matilda. Apa kau baru saja habis menangis?" selidiknya.

"Apakah separah itu, dok?" Ia buru-buru menyeka kedua matanya.

"Well... " ia melihat kotak cokelat Milena di sisi tempat tidur. "Apa itu beralkohol?"

"Kau mau satu, dokter Chris? Rasanya luar biasa!" Matilda menyodorkan kotak itu di depan wajah dokter Chris.

Keningnya bertaut, matanya memicing pada Matilda. "Apa kau makan juga? Cokelat itu?"

Matilda terbata dengan mulut terbuka, salah tingkah.

"Ia hanya makan dua cokelat! Apa salahnya?" Milena mengerang kesal, harusnya ia menyembunyikan cokelat itu dari tadi.

"Itu... masalahnya!" Ia menuding Matilda dengan ujung papan catatan medis, nada suaranya berat dan agak serak, nyaris berbisik, "Alkohol adalah musuh Matilda. Baik dalam kadar sekecil apapun. Ia akan berubah menjadi sentimentil."

Mendengar hal itu, Matilda mulai meneteskan air mata, ia menangis sesenggukan sambil bergumam berulang-ulang, "maafkan, aku. maafkan, aku, dokter Chris!"

"Kurasa itu masuk akal." Milena memandang Matilda penuh prihatin. Tidak heran ia bersikap lain dari biasanya.

"Kau boleh pergi Matilda. Pulanglah lebih awal. Kali ini aku maafkan, aku tahu kalau cokelat ini memang begitu menggoda." Dokter Chris meraih satu dari kotak, kepalanya mendongak mengamati coklat itu, dan melahapnya satu bulatan penuh. "Coklat Italia memang terkenal enak." ucapnya kagum.

"Terima-terima kasih, dokter Chris." Matilda terlihat sangat kacau, ia meninggalkan ruangan dengan kepala tertunduk. Sama sekali lupa dengan kehadiran Milena.

"Hati-hati, Matilda!"

Dokter Chris berbalik meneriakinya sekeras mungkin. Tubuh Matilda menegang sejenak, lalu ia berjalan cepat hingga menabrak kusen pintu, ia menepuk jidatnya, lalu hilang dari balik tembok.