{ Arc 1 — Aftermath of the Massacre }
» chapter #1: the end of one's life
story © scribubbley
– · – · – · – · – · – · – ·
'Mengapa ini harus terjadi?'
Beberapa menit yang lalu, Airi baru saja pulang dari kampus. Membawa tas ransel berisi laptop serta catatan kelas, dia berniat memesan kopi dan melanjutkan skripsi yang baru setengah jadi di café langanannya seperti biasa.
Akan tetapi, beberapa detik sebelum masuk ke dalam café, tiba-tiba dia mendengar suara nyaring klakson berbunyi kencang.
Dan saat dia menoleh ke belakang, dia dapati sebuah truk biru besar berkecepatan tinggi sudah berada satu meter di depan mata. Pengemudi kendaraan tersebut terlihat panik, tetapi tidak ada waktu lagi bagi Airi untuk berpikir bahkan melarikan diri, sehingga tidak dapat dihindari—
BAM!!
—bahwa tabrakan pun terjadi, dan tubuh Airi yang jauh lebih mungil terlempar kencang ke arah pinggir.
Ambruk di atas tanah, pipi kiri bersentuhan dengan lantai, dan seiring nyeri mulai menyapa, pandangan perlahan memburam dan suara-suara mulai menjadi bising.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Ini tidak hanya sakit seperti luka kecil, tetapi seluruh tubuhnya bagaikan remuk dan dibakar hidup-hidup di atas tungku. Mencoba bergerak dan meminta tolong pun percuma, syaraf motoriknya sudah mati rasa. Darah menggenang di sekeliling tubuh dari atas hingga ke bawah, dan hanya tinggal menunggu waktu hingga Airi kehilangan kesadaran karena kekurangan darah.
'Aaahh ... Apa aku akan mati di sini...?'
Di saat kematian terasa begitu dekat, tanpa sadar air mata mulai menggenang di pelupuk mata Airi yang juga mengeluarkan darah.
'Aku masih belum boleh mati ...'
Meski pandangannya makin memburam, dia masih dapat melihat orang-orang yang mengerumun dengan ekspresi terkejut dan mengasihani, juga beberapa yang menelpon ambulans sekaligus polisi.
'Aku masih belum menyelesaikan skripsi dan lulus dengan baik ... Aku juga belum menikah, aku bahkan belum mengembalikan semua yang sudah ibu lakukan untukku ...'
Bersamaan dengan air mata yang turun satu per satu dari pelupuk, harapan-harapan yang masih ingin dia lakukan di dunia mulai berputar di dalam benak. Begitu banyak hal dan begitu banyak impian yang belum sempat digapai, begitu banyak orang yang belum sempat dia kembalikan keramahannya, begitu banyak pengalaman yang belum dia dapatkan, juga begitu banyak kesempatan yang belum sempat dia pergunakan dengan maksimal...
Meski ekspresi putih pucat akibat kekurangan darah, dalam hati Airi tersenyum pahit. Ahhh, tentu saja, penyesalan memang selalu datang terlambat. Tapi dalam kasusnya, bagaimanapun juga, siapa yang dapat menduga bahwa ajal akan menjemput begitu cepat?
'Aahh... Aku masih belum...'
Meski dia berusaha bertahan, resistensi berkelanjutan membuatnya lelah. Ditambah tubuhnya yang telah kehilangan banyak darah, Airi dapat merasakan kesadarannya makin memudar.
Kelopak mata yang berusaha tetap dia buka mulai terpenjam di saat suara ambulans berangsur mendekat. Sepertinya rumah sakit di daerah dekat kejadian bertindak cepat, akan tetapi—tetap saja kurang cepat. Kesadaran Airi sudah di ambang batas dan seiring detik demi detik berlalu, makin menghilang.
Kegelapan menutupi pandangan bersamaan dengan pengelihatan yang makin meredup, ditambah rasa sakit bagai mengoyak daging dan menggigit tulang yang terus menyerbu.
'Aku ... masih ...'
Lalu semua itu berujung pada kedua kelopak matanya yang menutup bersamaan dengan berhentinya detak di dalam jantung. Kegelapan menenggelamkannya dan suara-suara tidak lagi terdengar meski hanya sekilas.
Semua rasa sakit menghilang dalam sekejab, dan di saat tim medis datang memeriksa tubuh yang tergeletak, doktor yang mengecek hanya dapat menggelengkan kepala kepada para anggota tim lain yang menunggu kepastian keadaan—membuat mereka menundukkan kepala dengan tangan terkepal; frustrasi akibat kegagalan dalam menyelamatkan sebuah nyawa berharga.
Dan begitulah, Airi dinyatakan tiada.
Di tahun terakhirnya saat kuliah, dan di usianya yang hanya menginjak dua puluh tahun, sang mahasiswi muda mati tertabrak truk dengan rem blong di depan pintu café langanannya.
Terdengar menyedihkan? Iya.
Terdengar memilukan? Sangat.
Tetapi yang sudah terjadi tidak dapat kembali. Airi sudah meninggal, Airi mengerti fakta itu dengan jelas. Sebanyak apa pun dia berharap, hidup kembali terdengar sangat delusional.
Lantas, mengapa dia sekarang ...?
Meneguk ludah, Airi mengeratkan genggaman pada selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, melihat keadaan sekeliling dengan waspada dan bimbang.
Kini dia berada di dalam sebuah ruangan kecil berbentuk persegi panjang, dengan dinding dan lantai kayu, satu jendela kayu yang memberikan celah bagi sinar matahari untuk masuk, pintu kayu, serta perabotan-perabotan yang sebagian besar juga terbuat dari kayu. Tidak ada satu pun kayu di kamar ini yang dicat, menjadikan ruangan ini benar-benar penuh dengan warna cokelat muda yang terkesan natural.
Dan Airi akui, dia dapat merasakan tema 'alam' di dalam ruangan ini, ditambah dengan panorama di luar jendela (halaman rumput hijau dengan pagar kayu yang memberi batas dengan pepohonan rimbun), semua ini menyejukkan hatinya. Akan tetapi, dia tidak dapat menurunkan penjagaannya meski dia satu-satunya manusia yang berada di ruangan ini, karena ini aneh.
Beberapa menit yang lalu, Airi baru saja tertabrak truk, dan Airi berpikir bahwa saat dia terbangun, dia kelak sampai di surga.
Tetapi ini...? Ini di mana? Mengapa saat dia membuka mata, dia justru berada di ruangan ini?
"Apa ini ... surga? Atau bukan surga ...?"
Heran akan keadaan, Airi menggumam; ekspresi bingung tertampang jelas. Tetapi begitu mendengar suaranya sendiri, Airi mau tidak mau mengerjapkan kedua mata.
... Huh?
Suaranya ... mengapa suaranya lain?
Dia ... tidak salah dengar, bukan?
Meneguk ludah, Airi spontan memaksa dirinya untuk kembali bersuara demi sebuah kepastian. "T-tes tes ... e-eeh?"
Tidak salah lagi.
Ini ... ini bukan suaranya!
Tu-tunggu dulu, jika ini bukan suaranya, a-apa mungkin—
Airi melebarkan kedua mata, seketika menunduk melihat ke arah tubuhnya yang tengah berbaring di atas ranjang. Tidak perlu melakukan pengecekan lama, Airi langsung sadar bahwa tubuh ini bukan tubuhnya.
Tubuh ini terlalu kecil untuk dikatakan tubuhnya, juga kulit putih halus ini terlalu cantik untuk dikatakan sebagai kulit 'Airi'. Lalu helaian rambut yang jatuh dari kepalanya ini ....
Tidak memedulikan detak jantung yang berdegup kencang akibat panik, Airi menyibakkan selimut dengan tangan kanan, lalu dengan gerakan cepat, memosisikan tubuhnya turun ke samping ranjang dan melangkah ke arah kaca di samping meja.
Semakin dia berjalan, Airi semakin yakin bahwa dia bukanlah 'dia'. Langkah kaki ini kecil, tidak secepat dan selebar langkahnya yang biasa dikejar waktu saat kuliah.
Menggigit bagian bawah bibir sesaat, Airi berhenti tepat di depan cermin yang menampakkan cerminan figurnya dari atas hingga ke bawah.
—Dan begitu melihat refleksi yang tertampang di dalam kaca, napas Airi seakan tercekat.
Paras mungil dengan iris peridot yang besar, rambut pirang bergelombang panjang hingga menggapai punggung, kulit mulus dan kenyal seputih susu, serta tubuh kecil yang belum genap usia delapan tahun ....
Mata Airi bergetar dan wajahnya memucat.
Mengangkat tangan kanannya, refleksi di dalam kaca mengikuti gerakannya. Di saat jemarinya perlahan menyentuh permukaan kaca itu pula, bayangan di cermin juga berangsur mengikuti sempurna tanpa jeda.
Ini ... gila.
Tetapi meski begitu, Airi mengerti bahwa dia tidak dapat lagi menyangkal, bahwa dia harus menerima kenyataan tidak masuk akal, bahwa pantulan kaca di hadapannya ini memang adalah 'dia'.
Segila apapun kedengarannya, semustahil apapun keadaannya, bagaimanapun itu, dia sudah melihat secara langsung buktinya.
"A ... ahahaha, i-ini konyol ...."
Tertawa getir, Airi melangkah mundur sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan kecilnya, situasi sekarang membuat kepalanya terasa pening seperti mau pecah.
Banyak sekali pertanyaan berenang di dalam benak, dan meski Airi berusaha menenangkan diri dan mencoba memahami situasi ini, terlalu banyak hal yang masih menjadi misteri dan sulit untuk dikonklusikan sendiri.
Menghela napas panjang, Airi menjatuhkan kedua tangannya dan berdiri lesu di tengah ruangan. Memiringkan kepala, menatap nanar ke arah dunia hijau di balik jendela, lalu beberapa detik kemudian, Airi mendesah tanpa suara.
Sungguh ....
Apa yang sebenarnya terjadi di sini....?