Chereads / Irina / Chapter 3 - Bab 3 : Deklarasi Perang

Chapter 3 - Bab 3 : Deklarasi Perang

"..."

Sudah kuduga.

Suasana sepulang sekolah tetaplah sama. Panas, namun mulai sejuk dan sempit begitu aku masuk ke lorong menuju rumahku.Ada yang tidak biasa. Aku merasa ada yang mengikutiku. Aku mendengar langkah kaki ketika berjalan di jalan sepi dan kelihatannya terus mengikutiku. Awalnya aku cuekin saja tapi rasa penasaran menguasaiku. Siapa sih orang kurang kerjaan yang mengikutiku?

Aku kemudian bersiap memberi aba-aba pada diriku untuk berbalik dan melihat siapa penguntitku.

1... 2... 3... Balik!

Setelah menghitung dalam hati, aku berbalik dengan tiba-tiba. Aku tidak melihat siapa-siapa kecuali lambaian rambut kuncir panjang yang menghilang di salah satu belokan lorong jalan. Aku yang sudah bertekad, tanpa buang waktu kemudian berlari mengejar penguntitku.

Sebelum aku berbelok di lorong dimana penguntit itu menghilang, aku mencium sesuatu yang wangi. Parfum? Bukan, ini bau harum shampo.

"Ouuuooops"

Aku tergelincir di atas butiran pasir yang berada di belokan tersebut. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh kedepan sambil menabrak seseorang.

'Bruk!'

Setelah jatuh yang cukup keras dengan posisi aku berada diatas orang yang aku tabrak. Aku bisa merasakan sesuatu yang menonjol. begitu lembut dan kenyal… entah kenapa perasaanku tidak enak.

Aku buru-buru berdiri ketika aku sadar siapa yang aku tubruk.

"Maaf Irina, beneran aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud jatuh dan merasakan...maksudku menabrakmu!"

Aku langsung minta maaf sambil menutup mata erat-erat.

Ini gawat!

Sungguh gawat!

Meskipun aku tidak sengaja, tapi tetap saja dari sudut manapun aku beralasan, aku tetaplah yang salah.

Aku sempat merasakan dada Irina. Ia pasti sangat marah.Aku mungkin saja kena tampar olehnya.

Beberapa detik berlalu dan aku tidak merasakan pedisnya tamparan di pipi. Aku buka mataku perlahan dan melihat Irina yang masih terbaring menahan linangan air mata sambil menyekap dadanya.

Ah...Aku benar-benar merasakannya. Bajunya kotor karena debu. Kuncir rambutnya bahkan terlepas sehingga rambutnya jatuh terurai.

"A... Anu Irina..., aku minta maaf... Anu, aku memang tidak sengaja... tapi tetap saja aku yang salah. Jadi...,ma-maaf"

Irina kemudian berdiri dan sama sekali tidak bersuara sambil mengelap bulir air matanya yang hampir jatuh. Ia kemudian membuka kacamatanya dan mengelapnya. Melihat Irina yang rambutnya panjang terurai, menjadikannya terlihat lebih cantik. Jantungku sedikit berdegup lebih cepat.

Eh? Kenapa bisa? Irina... entah kenapa tampak menawan.

"Irina..., kedua sikumu berdarah."

Aku berkata pelan melihat darah mengalir dari kedua sikunya.

Sekarang aku merasa sangat-sangat bersalah karena melihat siku Irina yang berdarah.

"..."

Tidak ada suara darinya. Ia kemudian merogoh kantong depan tas selempangnya dan mengambil sederet plester obat.

Baru kali ini aku lihat cewek membawa plester obat sebegitu banyak, atau memang itu merupakan hal yang wajar?

Irina terlihat sedikit kesulitan untuk memasangkan plester obat tersebut di kedua sikunya.

"Um,kalau boleh...,"

Aku kemudian menawarkan tanganku padanya. Tanpa ragu, Irina memberikan dua plester obat tersebut padaku. Aku lalu menempelkannya di luka Irina. Ketika aku menempelkan plester obat tersebut di kedua sikunya, aku mencium sesuatu yang wangi dari rambutnya.

Setelah aku memasang kedua plester obat tersebut di siku Irina, tangan kiriku ditahan oleh Irina.

Ia yang sedari tadi diam, kemudian memasangkan plester obat di dasar telapak tangan kiriku yang sedikit memar dan luka

"Irina... Anu, tanganku tidak apa-apa kok."

Irina tidak mempedulikanku. Setelah selesai, ia memasukkan deretan plester obatnya kedalam tasnya.

Suasana menjadi senyap kembali.

Ah, suasana ini terlalu berat.Terlalu kaku. Aku harus berbuat sesuatu!

Setidaknya aku harus mendapatkan maaf dari irina!

"Ra-rangga... A-aku minta maaf."

Bukan aku yang bicara duluan melainkan Irina yang berbicara dengan wajah menunduk.

"A-ah... Aku juga minta maaf karena..."

"Uuu..."

Belum selesai aku mengatakan alasanku minta maaf, tiba-tiba Irina mulai terisak menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua lengannya.

"A...a... ja-jangan nangis. Maafkan aku sekali lagi. Aku akan menuruti permintaanmu asal kau mau memaafkanku!

Tidak berapa lama aku mendeklarasikan ucapanku tersebut, tangisan Irina mereda. Irina kemudian melirik kedua mataku, dengan suara pelan ia berkata padaku...,

"Be-beneran? Kau akan menuruti permintaanku?"

Sekali lagi jantungku berdegup cepat ketika meminta seperti itu. Aku baru tahu kalau Irina bisa bersikap manis seperti itu.

"Iya, aku akan lakukan apa saja asalkan kau mau memaafkanku."

"Ka-kalau begitu...kita harus terus pulang bareng. Ti-tidak boleh tidak!"

***

Singkat cerita akhirnya aku dan Irina kembali pulang bersama menuju rumah.

Berkat peristiwa tersebut akhirnya kami menjadi sedikit lebih dekat meskipun Irina masih malu-malu ketika berbincang padaku...Begitu pula dengan diriku yang masih tidak tahu apa yang hendak aku bicarakan.

Irina masih sering terbata-bata ketika berbicara denganku. Aku merasa anggapan bahwa Irina sedang marah dan memusuhiku adalah kesalah pahaman semata.

Yap, Pasti kesalahan semata.

"... Kau naksir sama Rika?"

"... Eh? Dari mana kau tahu?"

Aku kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

Kali ini aku tidak menyangkal, atau lebih tepatnya karena kaget aku lupa menyangkal. Melihat aku yang tidak menyangkal gosip perkataannya tersebut, Irina terlihat sedih.

"Irina?"

Irina yang diam menarik nafas panjang sambil menggenggam erat tangannya dandalam helaan napas ia kembali berbicara.

"Rika itu orangnya cantik..., banyak yang suka padanya. Wajar saja kalau Rangga juga suka padanya."

Kali ini,gaya bicara Irina sedikit lain. Ia berbicara lebih tegas dan tidak terbata-bata. Aku diam karena Irina masih belum selesai bicara.

"Meskipun begitu,aku..."

Irina diam sebentar dan berhenti berjalan. Aku yang melihatnya berhenti berjalan juga ikut berhenti menunggu kalimat yang seperti tersangkut di ujung bibirnya.

" Aku suka Rangga!"

Ia mengungkapkannya kata per kata dalam sekali napas.

Seketika pernyataan Irina menikam hatiku yang sama sekali tidak menyadari perasaannya.

Aku yang bodoh ini baru saja menyadari semuanya.

Aku yang sama sekali tidak pernah mengira akhirnya sadar dengan semua sifat dan tingkah Irina.

Ia yang mau saja ketika aku ajak pulang bersama setelah insiden yang membuat bajunya basah.

Ia yang sedih ketika aku minta untuk tidak menemaniku lagi untuk pulang bersama.

Ia yang terlihat marah dan jengkel ketika aku memperhatikan Rika ketika di kelas.

Seluruh tindakannya terjadi karena ia suka padaku.

Tentu saja yang mengikutiku barusan adalah Irina sendiri. Semenjak aku mencium wangi sampo di belokan tersebut dan mencium aroma wangi yang tidak lain adalah aroma samponya ketika memasang plester obat di sikunya.

Meskipun aku sebenarnya sedikit ragu dengan perubahan sikap Irina karena hal tersebut. Namun aku yang mendengarkan kalimat barusan sama sekali tidak merasakan hal tersebut lagi.

Irina yang setahuku pemalu kini menjadi gadis yang berusaha berani. Hal itu merupakan perubahan sikap termanis menurutku. Belum lagi dengan keberanian Irina menyatakan perasaannya padaku secara terbuka.

"Aku... Aku butuh..."

Waktu, itulah yang ingin kukatakan namun Irina seger memotong pernyataanku.

"A-a-a-a-a aku perintahkan kau untuk balik suka padaku jika kau mau aku maafkan karena..."

Aku terpaksa menelan kembali perkataanku karena mendengar titah Irina yang terbata-bata. Wajah Irina menjadi sangat merah bagaikan kepiting rebus, sampai-sampai kacamatanya terlihat berkabut. Aku tidak tahu kalau wajahnya dapat mengeluarkan uap sehingga mengabutkan kaca matanya. Tapi kabut dikaca matanya membuatnya semakin manis karena menyembunyikan mata indahnya yang malu-malu.

Wow, aku tidak pernah menyangka tingkahnya ini membuat dirinya terlihat amat manis.

"Baiklah... aku akan berusaha suka padamu."

Begitu aku mengatakan hal tersebut,sambil menunduk muka, Irina kembali memerah sampai ke telinganya. Ia benar-benar malu... dan terlihat senang bukan main.

Aku yang baru pertama kali ditembak oleh perempuan juga merasakan degupan jantungku begitu cepat seakan hendak loncat keluar.

Tapi, rasa sukaku pada Irina hanyalah buatan semata. Meskipun aku bilang berusaha suka sama Irina, namun masih belum bisa menandingi perasaan sukaku kepada Rika.

Seakan membaca pikiranku, Irina berkata.

"A-aku tahu aku memaksamu untuk suka padaku. T-t-t-t-t-tapi, a-a-aku akan mencuri hatimu bagaimanapun caranya!"

Pernyataan dan kegagapan Irina seakan memberikan deklarasi perang pada diriku.

Deklarasi perang untuk merebut hatiku...