Chapter 4 - Mommy

Justin berlari ke bagian informasi untuk menanyakan keberadaan ibunya. Dia berharap agar ibunya tidak terluka parah, meskipun orang yang meneleponnya tadi sama sekali tidak menggambarkan kondisi ibunya baik-baik saja.

"Permisi, aku anak dari Mrs. Margaret yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Dimana ibuku sekarang? bagaimana keadaannya?" tanya Justin kepada seorang pegawai wanita yang sedang berjaga.

"Sekarang dia masih berada di ruang ICU, kami menunggu persetujuan dari keluarga untuk operasi. Apa tidak ada anggota keluarga yang sudah cukup umur?"

"Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku di kota ini. Semua keluargaku tinggal jauh dari sini. Tidak bisakah aku saja?"

"Ikut denganku, aku akan mengantarkanmu ke dokter yang menangani ibumu."

Dokter yang menangani ibunya adalah seorang dokter wanita yang masih cukup muda tapi terlihat sangat berpengalaman. Dokter itu menyapa Justin dengan sangat ramah, seolah tahu betapa berat beban yang sedang Justin tanggung sekarang. pegawai itu menerangkan kepada dokter situasi Justin yang hanya seorang diri tanpa ada orang dewasa di sampingnya.

"Begini saja, karena operasi ini sangat urgent dan harus segera dilaksanakan, bisakah kau telpon salah satu keluargamu dan aku akan menjelaskan kondisi ibumu kepadanya. Kami akan segera melakukan operasi begitu keluargamu menyetujuinya. Telpon keluarga yang memang bisa secepatnya datang kesini." ucap sang dokter dengan begitu lembut kepada Justin.

Justin memutuskan untuk menelepon pamannya yang tinggal di Boston. Meski pamannya tinggal cukup jauh, tapi satu satunya keluarga yang mungkin akan datang bagaimanapun caranya adalah pamannya yang satu itu. Dia tidak mungkin menelepon neneknya, meskipun neneknya tinggal paling dekat. Dia bahkan ragu untuk memberitahu neneknya tentang kecelakaan ini. Neneknya sudah terlalu tua untuk berpergian jauh apalagi dalam kondisi badai salju seperti ini. Bahkan mungkin terlalu lemah jantungnya untuk mendengar kabar buruk ini. Dia memutuskan menyerahkan keputusan ini kepada pamannya. Untungnya pamannya langsung mengangkat telpon darinya.

"Paman… mommy.. kecela-kaan." ucap Justin kembali menangis. Dia bahkan tidak memberi kesempatan untuk pamannya berkato halo.

"Kecelakaan?"

"Iya paman, mommy harus segera di operasi, tapi pihak rumah sakit butuh izin dari keluarga. Mereka tidak mau menerima izin dariku karena aku masih dibawah umur. Paman, tolong datang segera. Aku mohon paman??"

"Paman akan segera menuju kesana ya, kamu kirim alamat rumah sakitnya pada paman. Sekarang, biarkan paman berbicara dengan dokternya."

Justin langsung memberikan telponnya kepada dokter dan dokter langsung menjelaskan keadaan ibunya Justin sekarang, yang semakin membuat Justin menangis. dokter bilang terdapat pendarah di dalam yang harus segera dihentikan, sehingga operasi tidak bisa ditunda lagi. Meski begitu dokter tidak bisa menjamin ibunya akan benar-benar sembuh setelah operasi. Lebih tepatnya dokter bahkan ragu ibunya dapat bangun lagi. Operasi ini hanyalah satu satunya harapan dan pilihan yang ibunya Justin punya, meski harapannya bahkan tidak lebih dari 50%.

Setelah pamannya Justin mengatakan iya dan berjanji akan segera datang. Operasi langsung dimulai. Justin diberi kesempatan untuk melihat ibunya dulu sebelum akhirnya masuk ruang operasi. Justin yang menunggu operasi seorang diri sepertinya membuat beberapa pegawai disana merasa kasian. Seorang suster bahkan menghampirinya dan memberikan Justin segelas coklat panas.

Operasi berlangsung sampai tujuh jam. Selama itu Justin tidak bisa merasa tenang. Setiap ada dokter atau suster yang keluar ruangan, rasanya jantungnya akan berhenti berdetak. Dia terus mondar-mandir meski dirinya merasa sangat lelah. Dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana jadinya hidup tanpa ibunya. Pikirnya dirinya tidak mungkin bertahan lebih dari sehari. Ibunya adalah segalanya untuknya, satu-satunya orang yang dia punya di dunia ini. Baginya hidup tanpa ibunya sama saja dia kehilangan tujuan hidupnya.

Pamannya Justin sampai dirumah sakit setelah operasi selasai di laksanakan. Meski dokter bilang operasi berjalan dengan lancar, namun dokter tidak dapat memastikan ibunya dapat bangun lagi atau tidak. Dokter bilang ibunya dalam kondisi koma dan kesempatannya untuk bangun sangatlah kecil. Justin tidak bisa menahan tangisnya saat mendengar itu. Di bahkan menangis dalam pelukan sang dokter.

Begitu Justin melihat pamannya datang dia langsung berlari memeluk pamannya dan menangis dalam pelukannya. Meski Justin memang tinggal jauh dari pamannya, tapi hubungan mereka cukup dekat. Dan Justin sudah sangat ingin meluapkan seluruh perasaannya saat ini sejak tadi. Pamannya membiarkan Justin tetap memeluknya untuk beberapa menit. Dia mengerti betapa terpuruknya Justin saat ini. Dan meski hanya sebuah pelukan, tapi dia tahu betapa berartinya hal ini sekarang.

"Justin, sekarang kamu pulang saja ya.. Kamu pasti sangat kelelahan. Biar paman yang menjaga ibumu hari ini."

"Tidak mau!"

"Dengarkan paman, dokter sudah menelpon paman sebelumnya dan memberitahu keadaan ibumu sekarang pada paman. Kita tidak tahu kapan dia akan sadar. Jadi kamu harus menjaga kesehatanmu sendiri sebisa mungkin. Jangan sampai kamu kelelahan dan jatuh sakit. Siapa yang nanti akan menjaga ibumu jika kamu sakit? Paman tidak mungkin bisa disini lama-lama. Ayo, paman antar kamu pulang!!"

Dengan berat hati Justin setuju untuk pulang. Dia menengok ibunya sebentar dan memberi ibunya kecupan kecil, sebelum akhirnya berpamitan pulang. Pamannya mengantar Justin pulang dan langsung kembali ke rumah sakit. Dia hanya singgah sebentar untuk menaruh kopernya. Meski sebenarnya dia ragu untuk meninggalkan Justin sendirian dalam kondisi seperti ini, tapi dia juga tidak mempunyai pilihan.