Putih bersih tangga menurun yang ku lewati, selangkah demi selangkah kakiku menuruninya, tak perduli pria bersetatus calon suami di sampingku yang memandang diriku bingung karena pandangan mataku tertuju pada sebuah cahaya putih bersinar yang secara tiba-tiba muncul di depan mata.
"Arsy. " pria itu memanggilku tapi rasanya telinga ini telah ditulikan oleh cahaya putih itu. Suaranya kian menjauh semakin kecil dan perlahan menghilang.
Seorang pria bertubuh tegap mengenakan jubah putih bersinar di lehernya dililit sebuah syal warna merah mengulurkan tangannya seakan memintaku mendekat padanya,"Kau siapa? " tanyaku bingung.
"Calon suami mu. " Tubuhku membeku mendengarnya, wajahnya bahkan tak jelas karena sinar putih itu menyilaukan mataku. Aku baru menyadari kalau kakiku tidak lagi menginjak tangga putih keramik tadi melainkan lantai marmer yang dilapisi karpet permadani warna merah, entah sejak kapan tubuh ini pindah tempat, lalu dimana calon suami ku yang sebenarnya tadi? Kenapa tidak ada?.
********
"Fira, hei, Fira. Sudah pukul delapan kamu belum bangun juga! Mau sampai kapan kamu tidur?! "
Seorang wanita payuh baya membangunkan putrinya yang sedari tadi susah untuk di bangunkan, wanita itu tidak habis pikir kenapa putrinya itu susah sekali untuk bangun.
Fira terkejut mendengar sang ibu berteriak saat memanggil namanya, ia mengumpulkan separuh jiwanya yang masih tertinggal di alam mimpi bersama pria bercahaya itu, dia mengerjapkan matanya yang masih terasa berat bahkan kepalanya juga pusing.
"Kenapa masih tidak mau bangun?! Cepat! Piring kotor masih numpuk di belakang, cucian masih segudang. Jadi anak gadis itu jangan bermalas-malasan! Mana ada pria yang mau menikahimu kalau caramu begini,"omel sang ibu yang kesal melihat sikap putrinya.
"Hn, " jawab Fira sambil beringsrut turun dari ranjangnya. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju dapur untuk mencuci piring. Gadis itu tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan pria yang mengaku sebagai calon suaminya tersebut.
"Kak, Fira. Aku masak oseng kangkung, makanlah! " Fifi adalah adik perempuan gadis itu, meski wajahnya tak secantik dirinya tapi gadis itu sangat cerdas dan banyak disukai orang, punya banyak teman yang sayang padanya berbeda dengan dirinya yang selalu dikucilkan dan diperlakukan secara tidak adil.
"Hn. " hanya gumaman tak jelas yang Fira berikan sebagai balasan. Ia segera membereskan dapur lalu menumpuk piring kotor yang sudah segunung, terkadang dia heran tiap pagi dan sore dirinya selalu mencuci piring-piring itu, tapi tetap saja tiap nyuci selalu sugunung.
Klek...
Tangannya terulur menghidupkan sanyu lalu mulai memutar air kran, gadis itu sudah menaruh ember hitam besar di bawah kran sebagai tempat menampung air, ia mulai berjongkok dan mengambil satu persatu piring kotor itu lalu memnggosoknya dengan sabun pencuci piring.
Suasanya hatinya sangat baik, otaknya terus berputar pada sosok pria yang berada dalam mimpinya tersebut, entah itu hanya mimpi biasa atau suatu pertanda dari Tuhan bahwa dirinya akan mendapatkan seorang yang lebih baik untuk dirinya.
"Kak, Fira, sedang senang kelihatannya, " Komentar Fifi yang kebetulan lewat, gadis itu sudah rapi dengan stelan celana jins hitam kaos lengan panjang putih. Fira menengok sekilas lalu kembali melajukan nyuci piringnya.
Fifi tau kakaknya itu tipe pendiam, seandainya dia seorang pria mungkin akan dikatakan pria dingin tapi baginya kakaknya itu hanya kuper senyumnya saja selalu terlihat sedih, ia berharap kakaknya itu akan bahagia suatu hari nanti.
"Aku kekampus dulu, ya? Nanti kakak mintak ayah saja untuk mengantarkannya, karena aku ada kelas pagi, " pamitnya.
"Hn, hati-hati, Fi. Jangan lupa membaca sholawat 3x dan bismillah," jawab Fira tanpa menoleh.
"Iya, kakak, " balas Fifi sambil mengeluarkan motor supra X 125 merah putih miliknya.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya, ia mengambil ponsel nokia 2730 clasik yang di taruh di kamarnya, pertama yang dia bukak adalah facebook, gadis itu mulai membuat postingan.
Matamu yang tajam,,,
Senyummu yang menawan,,
Wajahmu yang rupawan membuat hati ku tak bisa bertahan,,,
@ Aini. Azam.
Bibirnya menyunggingkan senyum bahagia, terlihat seperti orang yang sedang kasmaran mungkin orang yang mengira itu untuk kekasihnya tapi tidak ada yang tau kalau itu untuk sosok pria dalam mimpinya.
"Fira!!! Fir." suara teriakan ibunya kembali mengejutkannya, buru-buru ia taruh ponsel itu di bawah bantal lalu keluar memenuhi panggilan sang ibu.
Matanya yang sendu memandang sang ibu yang menatapnya nyalang, ia tak tau kenapa wanita yang melahirkannya itu selalu memandangnya penuh kebencian, apa salahnya? Dirinya sudah menyelesaikan semua tugas rumah yang diberikan, tapi apa mau dikata tiada yang bisa dilakukannya selain menahan sesak dalam dada.
"Ya, bu, " jawabnya dengan suara lirih.
"Ngapain saja kamu?! Pasti main Hp, kamu ini telponan dengan siapa si?! Pagi-pagi sudan Hp an. " Wanita itu selalu berbicara dengan nada kasar dan membentaknya. Fira tak menjawab, dia enggan untuk menjawab pertanyaannya sang ibu yang selalu marah-marah padanya, baginya dijawab pun tidak ada gunanya, paling tidak akan percaya. Biarkan saja ibunya berkata apa, marah sesuka hatinya asal sang ibu bahagia tidak jadi soal untuknya.
"Pekerjaan mu sudah selesai?" tanya sang ibu.
"Hn, "jawab Fira.
"Maria..." Seorang wanita berusia 73 tahun namun masih terlihat sehat dan kuat memanggil ibunya Fira.
"Iya, bu, "jawab Maria sambil berjalan menghampiri sang ibu yang berjalan kearahnya.
"Kenapa ibu kemari? " tanya Maria.
"Kamu itu jangan suka marah-marah pada, Fira. Lihat! Anakmu itu kurus, tidak seperti adiknya. Jangan-jangan dia mengalami tekanan batin," tegur wanita itu.
Fira tersenyum tipis, ia membenarkan apa yang dikatakan neneknya tersebut berharap dengan ucapan sang nenek bisa membuka hati sang ibu agar lebih melihat kearahnya.
"Halah, dia itu memang begitu sejak kecil. Membuatku selalu merasa malu karena jadi bahan pembicaraan tetangga, "balas Marina semakin kesal pada putrinya. Hanya bisa menundukkan kepalanya mendengar balasan jawaban dari ibunya, dia pikir ibunya akan mengerti tetapi justru semakin kesal, ia tersenyum sedih.
"Ibu, aku pun tidak ingin seperti ini, semua telah kulakukan sebisaku, tapi tetap saja kau anggap aku memalukan, maafkan aku ibu, "batinnya sedih.
"Ibu, ayo! Tidak usah mengurusi anak itu, dia itu hanya suka mencari perhatian saja, dari tadi dia bahkan hanya main ponsel." Maria memutar pelan bahu ibunya agar pergi meninggalkan anaknya, sebisa mungkin wanita itu mangalihkan pembicaraan agar tidak diomeli oleh sang ibu yang menurutnya selalu membela anak ketiganya yang dikenal sebagai anak pertama karena dua kakak laki-lakinya meninggal saat masih kecil.
Fira menghela napas lelah melihat sikap ibunya, ia hanya memandang pilu punggung sang ibu yang semakin menjauh bersama neneknya. Dia yakin Tuhan maka melihat dan mendengar, Ia akan bersikap adil dan menunjukkan jalan terbaik untuknya.