Ya, kejadian itu 4 bulan lalu. Aku masih belum bisa menghapus ingatanku tentangnya. Semua itu terlalu indah untukku. Juga terlalu menyakitkan. Saat itu aku baru pertama kali merasakan apa itu cinta. Bahkan, aku masih sangat menyayangi Raka hingga saat ini. Bayangnya masih terekam jelas dalam ingatanku. Kerap kali, aku merasa kepergian Raka karena diriku. Namun, aku harus bangun dari ruang masa lalu yang membuatku berada dalam keterpurukan ini. Aku berharap akan ada mentari yang membuatku tersenyum lagi.
"Vini belum pulang? " tanya Rama, membuyarkan lamunanku.
"Heh? Iya, lo sendiri kok belum pulang? " aku balik bertanya padanya, berusaha terlihat ramah.
"Gue masih ada urusan barusan. Lo mau pulang bareng? "
"Hmm. Gue pulang naik taksi aja. Kan hujannya sudah reda. Duluan, Ram" ucapku dan berlalu dari hadapan rama. Rama itu anak kelas sebelah, lebih tepatnya 11.2. Aku tak mengenal banyak tentangnya. Yang aku tau Rama anak yang baik.
---
Hari demi hari terus kulewati. Ya, bisa kalian tebak. Berawal dari percakapan singkat saat hujan kemarin. Sekarang Rama lebih sering bersamaku, membagi tawanya denganku. Jujur saja, semua itu mengingatkanku tentang Raka. Seseorang yang pertama kali aku sukai, bahkan mungkin hingga saat ini. Namun, kehadiran Rama tak bisa kupungkiri bahwa ia juga bisa membuatku tersenyum di tengah luka yang belum kunjung sembuh. Apa mungkin Rama menyukaiku? Ah, pikiran macam apa itu? Mungkinkah seseorang yang berbakat di bidang olahraga menyukai gadis sepertiku yang sama sekali tidak berbakat di bidang olahraga.
Yah, dan kali ini puncaknya. Sekitar 2 bulan dekat denganku, Rama menyatakan perasaannya padaku.
"Tapi aku masih trauma dengan kisah cintaku yang dulu. Jujur, aku masih belum bisa melupakan Raka. Aku takut kamu merasa tersakiti saat aku membicarakan tentang Raka di depanmu" ujarku, lirih.
"Aku gak minta kamu melupakan Raka. Aku gak ngelarang kamu menceritakan tentang Raka. Aku hanya ingin sedikit tempat di hatimu. Aku akan membuatmu melupakan trauma kisah cintamu, bukan untuk melupakan Raka" jelasnya dengan senyum yang tercetak jelas di sudut bibirnya. Akhirnya, aku iyakan permintaannya. Satu hal yang perlu diperjelas. Aku bersama Rama bukan ingin melupakan Raka tapi aku ingin sedikit kebahagiaan seperti yang dulu Raka berikan kepadaku.
---
Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang. Aku tak kesepian lagi. Bahkan, aku bisa tersenyum lepas seperti dulu lagi. Terima kasih Rama, yang sudah membuatku seperti dulu lagi. Bahkan, kali ini aku mencari Rama untuk memintanya menikmati bekal bersama.
"Nir, lo ngeliat Rama gak? " tanyaku pada Nira saat aku menyadari bahwa aku tak melihat batang hidung Rama sekali pun.
"Nggak tuh. Mungkin di kelasnya"
"Gak ada. Cuman tasnya doang. Masa gue mau ngomong sama tas? " kataku menghela nafas panjang. Aku berlalu dari hadapan Nira dan memilih duduk di bangku taman depan kelasku. Memandang sekeliling, berharap bisa melihat Rama.
"Rama ke mana ya? Dihubungin juga gak bisa" aku mendumel dengan perasaan setengah bergemuruh, khawatir terjadi sesuatu dengannya.
Bel pulang berbunyi. Aku segera ke kelas untuk membereskan barangku dan pulang. Aku berjalan keluar kelas sendiri karena Nira sudah tak berada dalam pandanganku lagi.
"Ramaaaaaaaa" panggilku saat melihat Rama nemasuki mobil merahnya.
"Dia gak denger apa pura-pura gak denger sih? " kataku sambil mengernyitkan dahi.
"Ngapain ngernyitin dani... Eh.. Dahi gitu sih? " tanya Nira yang tiba-tiba ada di sampingku.
"Aku kesel sama Rama"
---
Aku duduk di dekat jendela sambil memandang langit yang sedang bertabur bintang, bertolak belakang dengan perasaanku saat ini karena bintangku yang paling terang aku tak tau ada di mana.
"Klung"
Aku meraih ponselku, senyumku terukir sempurna saat membaca pengirim chat itu.
"Tugas matematika itu kayak apa? Tugasmu sama, kan? " bacaku. Aku segera membalas chat itu. Aku jelaskan tugas matematika yang Rama minta dengan sedetail-detailnya. Di akhir penjelasan, sempat kutanyakan keberadaannya. Namun, ia hanya bilang sibuk. Ya, mungkin dia benar-benar sibuk. Aku harap ia baik-baik saja.
---
Aku kembali mengunjungi kelas dengan nuansa biru ini untuk menemui Rama
"Rama gak masuk, sakit" kata teman sebangku Rama.
"Oh, ya udah makasih ya" ucapku dan segera berlalu. Aku mulai bingung dengan sikapnya akhir-akhir ini. Ada apa dengannya? Apa benar Rama sakit?
Tanpa pikir panjang, sepulang sekolah aku segera ke rumah Rama untuk memastikan keadaannya. Sesampainya di rumah bercat hijau terang itu, aku menemukan Rama dengan keadaan baik, wajahnya tak menampakkan ia sedang sakit sedikit pun.
"Kamu kenapa gak masuk? Kamu sakit apa? " tanyaku lembut.
"Ngapain kamu ngurus-ngurus aku? Kamu gak usah urusin aku lagi! Makasih udah ke sini! Sekarang, lebih baik kamu pulang aja! " ucapnya ketus.
"Ram, aku salah apa sama kamu? Setiap kamu nanya aku jawab, kamu butuh apa aku bantu. Aku salah apa lagi sama kamu, Ram? Kamu janji sama aku buat ngebahagiain aku. Untuk menutupi luka karena Raka. Tapi apa? Sekarang sikap kamu berubah, aku salah apa sama kamu Ram? " ucapku dan berlalu dari hadapannya dengan air mata yang sudah membanjiri pipiku. Kenapa semua harus seperti ini? Setiap aku mencintai seseorang, aku tak bisa mendapatkannya. Dulu Raka, apa Rama juga akan seperti itu?
---
Bulan dan bintang kembali menemaniku malam ini, aku tersenyum melihat sebuah bintang kecil yang redup tapi mencolok walau letaknya sangat jauh dari kumpulan bintang lainnya. Terkadang, aku merasa seperti bintang itu. Ntahlah.
Nada dering ponselku membuatku beranjak dari tempatku untuk mengambil ponsel di nakas.
"Vini, ternyata Rama pindah ke Roma. Gue barusan ke rumahnya, pembantunya bilang kalau Rama sudah ke bandara sekitar satu jam yang lalu" suara Nira terdengar tergesa-gesa di seberang sana. Aku tak menjawab dan langsung menutup sambungan telepon secara sepihak.
"Ram, kenapa kamu juga ninggalin aku kayak gini? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu mau pindah? Aku apa bagimu Ram? " ucapku seolah bintang di depanku adalah Rama. Aku mulai menikmati isakku.
"Kamu meminta padaku sepenggal kata, namun aku berikan cerita. Ku meminta padamu seberkas cahaya namun engkau berikan kegelapan. Hanya kenangan yang tersisa hanyut dalam sepenggal kisah. Hingga kerap akan terasa kerinduan memaksa" tangisku mulai menjadi
"Tiada sekejap ku terdiam. Tiada sempat ku merasakan, ku menanti namun kau menghilang, tanpa bahasa. Aku selalu mengira kau mengharapkanku, namun engkau tak pernah merindukanku" semua air mataku tumpah, tak peduli seberapa banyak tisu yang kuhabiskan.
"Selama ku bisa, ku kan coba melupakanmu" aku berharap hal seperti ini tak pernah lagi terjadi padaku. Cukup untuk Raka yang meninggalkanku tanpa ada siapa pun yang menduga. Atau Rama yang meninggalkanku tanpa alasan. Kenapa semua menjadi bisu, tanpa bahasa?
"Vini, keluar, Nak" panggil Bunda. Aku mengusap air matakh dan membuka pintu. Mengikuti langkah Bunda menuruni tangga tanpa banyak bertanya.
Sampai di ruang tamu, air mataku kembali menetes. Aku tak bisa menahan semua ini. Ini terlalu tiba-tiba. Ia menghampiriku. Mengelus kepalaku dengan lembut. Aku masih terpaku dalam senyumku.
"Sebenarnya Ayah mengajakku pindah ke Roma. Tapi aku gak bisa ninggalin kamu. Aku masih ingin menepati janjiku untuk membahagiakanmu. Jadi, aku membatalkan penerbanganku hanya untukmu" ujarnya.
Aku tak bisa menahan air mataku. Aku bahagia untuk kali ini. Rama kembali hanya untukku. Semua ini di luar dugaanku. Aku harap aku terus bersama Rama. Walau aku masih belum bisa melupakan Raka sepenuhnya.
Memang benar, ribuan pelukan akan tetap menguap bila dihadapkan sebuah kepergian. Namun, kesedihan karena kepergian itu bisa sirna dengan kehadiran senyum bahagia tanpa bahasa.....
The end
***
Hai, sudah selesai nih. Jangan lupa vommentnya yaa