Chereads / Ada Apa dengan Empat? / Chapter 2 - Hari Pertama dan Kedua

Chapter 2 - Hari Pertama dan Kedua

Pagi-pagi sekali aku segera turun dan sarapan bersama ayah.

"Aley, buru-buru banget sih makannya? Baru aja jam enam," Ayah menatapku heran.

"Ayah lupa? Sekarang hari pertama Aley di SMP! Ya udah, Aley berangkat yak," ujarku seraya menyalami tangan ayah dan segera bergegas.

Aku memasukkan tas punggyng warna biru muda dengan kombinasi biru tua milikku ke jok belakang mobil dan segera memacu mobilku menuju rumah Ajo dan Syakira bersaudara untuk menjemput dan berangkat bersama ketiganya. Di perjalanan, kami sempat bercanda tawa hingga hampir saja aku menabrak seekor kucing yang sedang menyebrang.

Sesampainya di sekolah. Kami segera saja mencari papan pengumuman. Akhirnya, kami menemukannya dan ternyata aku sekelas dengan Ajo di kelas 7.1. Sedangkan Shifa dan Shafa di kelas 7.2. Walaupun kelas kamu bersebelahan  kami masih sedikit sedih karena tidak bisa sekelas. Akhirnya, aku dan Ajo memasuki kelas 7.1. Aku mencari tempat duduk di depan karena aku sedikit pendek dari teman-temanku yang lain. Aku memilih kursi paling depan nomor empat dari timur dan Ajo duduk di belakangku. Saat aku menduduki kursi itu, semua murid di kelas 7.1 terdiam dan menatapku. Aku dan Ajo keheranan. Tak lama, seorang wanita memasuki kelasku. Semua kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Sekarang Ibu akan mengabsen kalian, dan ini merupakan absen permanen kalian. Ketika Ibu menyebut nama kalian, harap angkat tangan," jelas Ibu yang belum memperkenalkan diri itu. Aku mengangkat tanganku dan Ibu tadi menatapku.

"Maaf sebelumnya, Ibu belum memperkenalkan diri," ucapku dengan suara kecil.

"Oh ya, maaf. Nama Ibu Maysaroh. Kalian bisa memanggil Ibu May. Terima kasih," ucap Ibu May, semua murid tidak terlalu memperhatikannya. Aku menunggu namaku dipanggil. Setelah Akeysha Putri absen ketiga disebut, semua murid mendadak senyap.

"Absen keempat, Aleysha Tachibana," panggil Ibu May, aku mengangkat tanganku. Saat aku mengangkat tangan, semua murid memandang ke arahku. Ada yang berbisik, ada yang terlihat ngeri melihatku, dan ada pula yang ketakutan. Aku sendiri tak paham akan tingkah mereka. Setelah Ibu May selesai mengabsen, beliau meminta setiap siswa maju untuk memperkenalkan diri diurut absen. Tibalah saat aku harus memperkenalkan diri.

"Namaku Aleysha Tachibana. Kalian bisa..." ucapku terputus karena mendengar suara orang berteriak.

"Kenapa berhenti Tachibana? Ayo lanjutkan," suruh Ibu May yang membuatku melanjutkan perkenalan.

"Kalian bisa memanggilku Aley. Alu dari SD..." ucapku yang kembali terputus karena mendengar suara tangisan seseorang.

"Aley? Kamu kenapa? Sudah dua kali kamu memutuskan ucapanmu," tanya Ibu May, aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya.

"Saya... Saya mendengar suara orak berteriak lalu tangisan seseorang," akhirnya aku menjelaskan apa yang aku alami.

"Mungkin itu hanya halusinasimu," ucap Ibu May diakhiri dengan senyuman.

"Hmm. Aku dari SD Sumber Ilmu. Semoga kalian bisa berteman dengaku," ucapku melanjutkan perkenalan dan kembali duduk di kursiku. Aku masih memikirkan suara yang tadi sempat kudengar. Aku pikir itu bukan halusinasiku, sebab aku mendengar jelas suara itu.

***

Saat jam istirahat, Shafa dan Shifa ke kelas 7.1 untuk sekadar berbagi cerita. Namun, ketika aku, Ajo, Shafa, dan Shifa sedang berkumpul dan bercerita di kursiku, ada dua gadis yang menghampiri kami dan mengajak kami ke kantin. Kami hanya mengangguk, tanda menurut.

"Perkenalkan, aku Lala, dan ini temanku Clara," ucap salah satu dari mereka untuk memperkenalkan diri.

"Ya. Senang berkenalan denhan kalian. Aku Shafa dan ini kembaranku, Shifa." ucap Shafa memperkenalkan diri. Lala dan Clara tersenyum menanggapi ucapan Shafa.

"Aley, kamu tadi mendengar apa?" tanya Clara padaku.

"Tadi? Pas perkenalan, kan? Awalnya aku denger orang teriak-teriak gitu, kenceng banget. Terus, yang kedua aku denger orang nangis," jelasku.

"Itu karena kamu absen empat dan duduk di kursi keempat," ucap Lala. Aku, Ajo, Shafa, dan Shifa saling memandang.

"Hah? Apa hubungannya?" tanyaku keheranan.

"Kalian gak denger kisah ini? Dulu, sekitar delapan tahun yang lalu, ada pembunuhan di sekolah ini," jelas Clara dengan suara rendah, seakan berbisik.

"Korbannya adalah anak 7.1 absen empat dan duduk di kursi keempat dari timur. Ia dibunuh tepat di kursi itu. Esoknya, ia ditemukan dalam keadaan mulai membusuk," jelas Clara, sedikit bergetar.

"Lantas, kenapa kursi itu tidak dimusnahkan?" tanyaku hati-hati.

"Kursi itu sempat dibuang karena sudah berlumuran darah tapi entah kenapa balik lagi dan guru-guru tidak menyadari kursi itu," balas Lala.

"Pernah coba dibakar?" Ajo bertanya sedikit ketakutan.

"Pernah, oleh tukang kebun sekolah. Tetep aja balik lagi. Akhirnya semuanya gak pernah ngapa-ngapain kursi itu lagi. Yang paling parah, setiap tahunnya, siapa yang menduduki kursi itu akan kehilangan nyawanya dan dengan syarat dia absen keempat," aku menelan salivaku sulit. Rasanya semua ini akan mimpi. Ingin sekali aku menepis rumor itu. Namun apa, aku saja sudah merasakan gangguan itu bahkan dinhari pertama ini.

"Katamu setiap tahun ada yang meninggal, itu artinya semua yang duduk di bangku itu, absen empat semua?" tanya Shifa mencoba memastikan.

"Ya. Semuanya seperti diatur. Aku juga bingung kenapa hal itu bisa terjadi," jawab Lala.

***

Esoknya, saat aku masuk ke kelas bersama Ajo, aku mendengar suara tangisan tapi aku tak mengatakan hal itu pada Aji karena khawatir ia akan takut. Saat jam pelajaran pertama dimulai, aku merasa ada yanh menarik kakiku. Aku mencoba melihat ke bawah, tapi tak ada apa-apa. Aku pikir hanya kaki jahil Ajo yang melakukannya. Tak lama, aku kembali mendengar bisikan, tapi aku tak tau isi bisikan itu, sehingga aku abaikan. Hingga akhirnya bisikan itu hilang dengan sendirinya dan aku mulai tenang.

Saat jam istirahat, aku menceritakan hal itu pada sahabatku. Mereka terlihat agak ketakutan. Aku juga tidak boleh membohongi diriku sendiri. Jujur, aku juga ketakutan. Hatiku selalu berdebar saar duduk di kursi itu. Aku belum oernah merasakan perasaan ini sebelumnya.

Bel masuk berbunyi, saatnya aku kembali ke tempat yang menyeramkan itu. Ketika aku mencatat apa yang ditulis Pak Jay di papan, tiba-tiba telapak tangan sebelah kiriku terdapat bercak darah. Padahal, telapak tanganku tidak terluka. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Aku membersihkan bercak darah itu dan segera membuangnya ke tempat sampah. Saat aku kembali duduk, aku mendengar suara tangisan lagi. Aku mulai ketakutan, hatiku mulai bergetar. Beberapa menit kemudian, suara itu mulai hilang dan aku sedikit lega.

"Saat di perjalanan pulang, aku menceritakan hal itu pada sahabatku.

"Aley, bertahan ya. Kamu pasti bisa lolos dari hal ini," Shafa mencoba untuk membesarkan hatiku.

"Tapi kalau dia bunuh aku gimana?" tanyaku yang mulai ketakutan lagi.

"Bukan dia yang akan membunuhmu, tapi Tuhan yang berkehendak untuk mencabut nyawamu. Tenanglah," ucap Ajo yang ingin menenangkanku. Mungkin tanpa mereka aku tak bisa apa-apa. Aku sendiri tak pernah menduga kalau aku harus menjalani kisah mengerikan ini.

.

.

.

.

.

.

.