Terkadang ia diam mematung, menajamkan pendengaran untuk menangkap bunyi-bunyi yang bisa memberinya petunjuk. Lalu ia berjalan seperti orang mabuk kembali, qngin dingin kini semakin dingin. Ia menutup rapat-rapat kedua tangannya dan bernafas melalui sela-sela jarinya. Ternyata percuma saja, ia tidak merasa lebih hangat, namun tetap saja ia lakukan. Lalu ia terus berjalan, melangkahkan satu kaki di depan sehingga membuatnya jatuh terguling.
Perempuan itu pingsan, tak sanggup lagi meneruskan. Ia merangkak dengan tangan dan lututnya menuju pohon besar yang ada di dekatnya. Ia menyadarkan diri ke batangnya, mendekap kakinya dan berusaha keras membuat dirinya sekecil mungkin.
******
Selasa, 15 Juni, Devian Brave terbangun dari tidurnya. Sudah hampir pukul lima pagi, dan sinar matahari masuk ke kamarnya melalui jendela. Ini waktu yang normal untuk memulai hari selama ia menghabiskan dua tahun di ketentaraan, dan kebiasaan ini tidak membuatku terganggu. Ia bangun dan mulai beraktivitas sebelum matahari terbit.
Akan tetapi pagi ini Dev merasa seperti orang lain, dan itu bukan hanya karena kurang tidur. Ia memisahkan selimutnya, turun dari tempat tidur, dan bergegas ke kamar mandi. Ia melihat laki-laki berusia tiga puluhan saa memandang dirinya di cermin, dengan rambut orange dan lengkung hitam dibawah matanya.
Dev melepaskan celana panjang dan masuk ke kamar mandi. Setelah mandi dan mengeringkan tubuh dengan handuk, ia memilih pakaian yang nyaman, celana jins, kaus hitam dan kemeja. Ia pun siap. Pria itu sudah mengemas satu tas untuk akhir pekan ini semalam sebelumnya. Ia masih punya banyak waktu. Satu-satunya yang masih harus dilakukannya adalah menelpon Andrian Ace, rekan kerjanya. Tapi itu belum bisa ia lakukan sebelum kantor buka.
Dev memutuskam untuk membuat sarapan terlebih dahulu. Kalau hari ini akan jadi hari yang sangat panjang seperti yang di khawatirkannya, sarapan lezat akan menjadi awal sempurna untuk memulai hari. Pelatihan yang didapatnya saat bertugas di militer hampir lima belas tahun dan masih diingatnya.
Di dapur kecil dalam rumahnya di bogor, indonesia, ia menyalakan kompor, menaruh wajah di atasnya, menyendok mentega dan memecahkan satu telur. Saat telur mulai matang dan aromanya mulai keluar menyebar ke seluruh ruangan, ia sangat lapar. Kapan terakhir kali ia makan? Ia tidak ingat, Tapi sudah cukup lama.
Waktu berjalan lambat dan menyiksa. Pada pukul enam tiga puluh, Dev sudah menunggu cukup lama dan memutuskan untuk pergi. Dengan begitu ia masih harus menunggu lebih lama di bandara, tapi ia tidak memperdulikannya, Paling tidak ia sudah berada di bandara.
Dev memakai jaket hitam, mengangkat tas akhir pekannya, dan menutup pintu setelah keluar. Dia menaiki mobil Honda merah tua miliknya dan ia pun mengendara di jalanan yang basah menuju Heathbreaker. Penerbangannya akan lepas landas empat jam lagi, tapi tetap saja ia menancap gas. Perasaan takut dan bingungnya bertambah saat ia sudah dekat dengan bandara.
Ia memakirkan mobilnya dan naik bus menuju tempat terminal penerbangan. Setibanya di sana, pukul tujuh lebih lima puluh menit, masih terlalu pagi untuk menelepon kantor. Dev memencet nomor lain di telepon genggamnya. Seperti yang ia duga, ia segera terhubung dengan pesan suara yag sudah bosan ia dengarkan berulang kali.
Devian menutup telepon.
-Bersambung-