Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 103 - Beno kembali

Chapter 103 - Beno kembali

"Ah.. Hh.. Petinya sudah siap," Lirih Bonar terengah. Ia baru saja membawa peti dari ruangan lain di bawah sana. Namun tugasnya belum usai, ia masih harus memasukkan Langit ke dalam peti tersebut.

Bruk..

Bonar menutup peti yang berisi Langit tersebut. Lalu ia menaikkan peti tersebut ke atas sebuah troli untuk mendorongnya dan membawanya ke atas.

Cukup tergesa dan panik, Bonar mendorong troli dan peti diatasnya melewati lorong dingin nan sepi. Hingga tibalah ia di depan sebuah pintu. Pintu dimana saat pertama kali Langit salah memasukinya kala melarikan diri. Pintu bertuliskan kata "Loker" di depannya.

Cklek..

Bonar membukanya tanpa mengetuk terlebih dulu sambil terengah.

"Aku menemukannya," Singkatnya.

Seorang pria berjas putih yang dulu sempat berpapasan dengan Langit di ruang makan muncul dan ia mendekat dari ruang setengah gelap itu dan bertanya memastikan,"Beno?"

Jadi, Langit adalah Beno yang ada di awal cerita ini. Bonar hanya mengangguk mengiyakan. Pria itu segera melangkah makin dekat.

"Apa dia tewas?" Tanya pria itu.

Sekali lagi Bonar hanya mengangguk mengiyakan. Sedangkan pria itu berdecak kesal, menghela napas panjang dan memalingkan wajahnya dari peti yang barusan dipandangnya cukup lama.

"Baiklah, buang saja dia," Ucap enteng pria itu setelah beberapa saat memalingkan wajah dari Bonar.

Bonar hanya menerima perintah dan berbalik mendorong peti tersebut ke arah semula ia datang dengan tergesa setengah berlari. Sedangkan pria itu kembali masuk menemui rekannya yang lain di dalam ruangan.

Brak..

Pria itu memukul mejanya hingga membuatnya menjadi pusat perhatian di ruangan penuh meja kerja itu.

"Sial! Beno tewas! Kita harus cari peran pengganti," Kesalnya.

"Apa?! Kok bisa?!" Tanya salah satu rekannya heran.

Pria berjas itu menatap tajam rekannya yang berbicara barusan. "Mana aku tahu, kenapa tanya aku pula?!" Timpalnya kesal.

"Tanyalah si Bonar itu," Lanjutnya.

"Si Bonar yang menemukannya?" Tanya rekannya yang lain.

"Apa kau tak nampak, barusan dia kemari mendorong peti, hah?!" Kesal pria berjas yang membuat semua rekannya terdiam.

Di sudut lain, Bonar berhasil membawa peti berisi Langit atau mungkin nama aslinya Beno keluar dari bangunan penuh ruangan itu. Sepi, masih sepi, ia melewati jalanan aspal menurun mendekati dermaga. Namun bukan jalan itu yang akan ia tempuh. Ia berbelok menuju jalan setapak tanah selebar 1 meter. Rumput-rumput di sekitarnya masih tak terjamah, pepohonan masih menghiasinya, lautan menghiasi sepanjang mata memandang di sudut kirinya, sedangkan di bagian kanannya hanya nampak lereng berhiaskan pepohonan, masih nampak sedikit bagian dari bangunan besar berwarna putih pucat itu.

Bonar masih terus melangkah, hingga nampak apa yang seperti terlukis dalam pandangan Langit kala mengintip di sebuah lubang.

'Lautan tenang, mentari, dan apa itu? Semacam pembatas? Terbentang dari bangunan tempat ia berada sampai ke ujung lautan? Sungguh ia tak tahu apa itu'

Pembatas. Pembatas semacam tirai, tapi transparan. Pembatas ini semacam pemisah antara dua dunia, tapi ini dunia buatan manusia. Tak sembarang manusia bisa kesana, karena memang di bagian sebelah pembatas lainnya dibuat semacam rintangan seperti badai lautan yang dahsyat. Masih ingatkan awal mula bagaimana Beno bisa terjebak di sebuah pulau? Yupss dia dan kawannya, Indra melewati badai dan pusaran air yang dahsyat, namun sayang kawannya itu meninggal dan hanya ia yang selamat tetapi malah terjebak di pulau buatan dalam pulau buatan lainnya.

Perahu layar kecil telah siap di ujung jalan, Bonar semakin mempercepat langkahnya dan bersiap melayarkan perahunya. Perahu layarnya siap, ia membuka peti berisi Beno itu sedikit, memastikan Beno masih mengembang-kempiskan perutnya.

"Syukurlah," Leganya.

"Bertahan, Nak," Lirihnya ke dalam peti.

Ia pun segera melayarkan perahunya melewati pembatas tadi. Benar saja, badai telah menyambut di baliknya.

Beberapa saat setelah Bonar pergi keluar membawa peti itu, pria berjas putih dan rekan-rekannya dalam ruangan tadi kembali bergaduh setelah sesaat terhela.

"Apa kau yakin Bonar hanya menemukan jasadnya saja?" Tanya seorang rekan pria berjas putih.

Pria berjas putih kembali menatapnya tajam. "Kenapa kau baru bertanya hal itu kepadaku sekarang?!" Tanyanya tegas yang kemudian ia segera berlari menyusul Bonar. Namun tak semudah itu ia temukan Bonar dan peti yang dibawanya, matanya segera meneliti ke berbagai arah kala ia keluar dari bangunan. Hingga ia tahu jalan lain yang mungkin ditempuh Bonar. Jalan setapak samping. Ia pun segera berlari menuju kesana. Dan benar saja, ia melihat ujung perahu layar Bonar melewati pembatas.

"Bonar!!" Teriak seseorang dari ujung jalan setapak yang tadi dilaluinya. Namun sayang Bonar terlanjur melewati pembatas, dimana ia tidak akan dapat mendengar suara itu dari sana. Pria berjas itu berdecak kesal, lalu kembali ke dalam bangunan buatannya.

Bonar bertarung dengan badai yang nampaknya sulit untuk ditaklukkan. Namun baru beberapa mil ia melawan badai, ia mematikan mesin perahu layarnya, goyangan ombang-ambing badai itu diabaikan saja oleh Bonar, ia baru ingat ia tak perlu susah-susah melawan badai itu. "Cukup ikuti saja alurnya," Kupingnya mendengar orang-orang pintar dalam bangunan itu bercakap.

Namun, saat ia tengah menikmati ombang-ambing badai itu, tiba-tiba badainya terhenti. Bonar mengamati sekitarnya berubah menjadi lautan tenang. Tak menunggu beberapa saat, tiba-tiba pusaran air tercipta diantara lautan tenang tersebut.

"Astaga! Apa ini?! Seingatku tak perlu ada pusaran jika ingin keluar dari pembatas," Heran Bonar. Perahu layarnya tersedot pusaran air. Ia tak dapat melawannya, sangat sulit, sangat mustahil baginya. Ia hanya bisa pasrah.

Pyurr...

Perahu layarnya hancur berkeping-keping terombang-ambing di lautan tenang lagi. Bonar masih sadar, ia bertahan di kepingan kayu perahunya. Nampak di matanya sebuah pulau buatan ada di hadapannya, ia mengarah ke dermaga sana, dimana sudah berdiri seseorang tengah menantinya.

"Sial!" Kesalnya.

~~~

Tubuhnya terasa lemah, kepalanya terasa berat, pria yang tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit itu memaksa membuka matanya.

"Dimana aku?" Tanyanya pelan.

Orang-orang segera mengerumuninya setelah mendengar rintihannya barusan.

"Beno?" Ucap wanita paruh baya.

Beno memandangi wajah orang-orang yang mengerumuninya satu persatu. Ayah, ibu, dan tetangga-tetangganya di kampung kecil para nelayan.

"Ibu?" Lirihnya sambil menahan air mata.

Wanita paruh baya itu memeluknya erat dan penuh kerinduan. Tak lagi terbendung air mata keduanya. Tak dapat lagi terucap kata-kata di bibir mereka, semuanya terwakilkan pelukan erat itu, tersalurkan semua rasa dalam diri mereka.

Beno kembali, tanpa diduga. Dua tahun lamanya, ia meninggalkan gubuk ternyaman sampai kedua orangnya tak berharap ia kembali. Namun mungkin memang takdir berkata lain, Beno kembali meski membawa luka fisiknya, tapi luka batinnya telah menemukan penawarnya kini.