Saat mereka menyusuri lorong untuk menuju ruang makan yang dimaksud, beberapa pria berpakaian layaknya dokter berlarian menuju ke lain arah.
Selintas Langit mendengar mereka berbincang sambil terus berjalan setengah lari, "Kenapa wanita muda itu bisa terkunci disana, hah?!"
Seketika Langit teringat seseorang yang ia tinggalkan di ruang tempatnya terbangun tadi. 'Jangan-jangan mereka teman orang itu? Kemudian mereka akan membuka pintu dan orang itu akan menjelaskan kalau aku telah melarikan diri? Aduh... Jangan sampai aku ketahuan ini,' Gumamnya.
"Kenapa mereka berlarian seperti itu?" Celetuk Langit pada Bonar.
Bonar yang sedang melangkah di depannya seketika berbalik dan berkata,"Sudah.. Jangan lah kau hiraukan mereka itu, mereka cuma orang-orang sibuk yang menggaji kita,"
"Memangnya mereka kerja apa? Dokter kah? Pakaian mereka tadi seperti seorang dokter," Tanya Langit makin penasaran
Sambil kembali melangkah, Bonar sedikit memberikan informasi yang ia tangkap dari orang-orang. "Yang kudengar dari orang-orang, mereka lebih cocok disebut sutradara katanya,"
"Kenapa?" Rasa penasaran Langit semakin bertambah.
"Aduh.. Aku pun kurang tau kalau soal itu, tapi katanya cerita mereka itu laris dan terkenal di kalangan atas, cuma orang-orang berduit yang bisa nonton cerita mereka," Timpal Bonar.
"Sudah.. Sudah jan banyak tanya lagi, kau harus segera bereskan ruang makan itu," Sambung Bonar untuk menghentikan rasa penasaran Langit.
Tanpa terasa, langkah mereka pun terhenti di depan sepasang pintu berukuran lebar. Terbuat dari kayu dan ukirannya sangat mendetail. Namun satu hal yang sedikit aneh, pintu itu tidak memiliki handle untuk membukanya, sebagai penggantinya ada sensor disana.
Bonar yang sudah bekerja cukup lama, ia menunjukkan sesuatu yang cukup penting bagi Langit. Ia menggunakan identitas yang terlilit di lehernya untuk membuka pintu itu dengan meletakkan lempengan kuning di baliknya ke sensor di pintu itu.
Dan..
Pintu pun terbuka lebar, meja dan kursi dengan desain unik layaknya di sebuah restoran mewah. Langit tertegun kala melihatnya.
"Whoaa.." Lirihnya yang hanya membuka mulut tanpa mengeluarkan suara.
Memang mejanya tampak berantakan, banyak piring bekas makan berserakan disana. Tapi itu tak menyulutkan kekagumannya. Matanya memandang luas menyisir seisi ruangan, kala ia terus masuk ke dalamnya sambil menenteng alat kebersihan.
"Cepat bersihkan ya, tempat ini akan digunakan 2 jam lagi," Tegas Bonar lalu meninggalkan Langit di ruangan itu.
Kekagumannya terhenti sesaat setelah ia ingat kejadian 15 menit yang lalu. Dimana ia kini haruslah menghapus segala jejak agar ia tak dapat ditemukan dan dikenali para dokter itu.
'Astaga! Aku harus cari ruang itu,' Ucapnya dalam hati. Ia pun meninggalkan alat kebersihan itu dalam ruang makan tanpa pernah menggunakannya.
Dengan langkah agak cepat Langit menuju ruangan yang ia pikir harus ia kunjungi pertama kali. Keluar dari ruangan itu, ia melangkah ke arah kirinya menuju pintu lain yang terlihat dari tempatnya berdiri terakhir kali sebelum memutuskan untuk bergerak cepat.
Pintu yang serupa dengan pintu yang sebelumnya saat ia melarikan diri dari seseorang yang hampir saja memergokinya. Kini ia tengah berdiri di depannya, sebuah pintu dengan tulisan 'Ruang Pengawas'.
Dengan hati-hati, tangan kanannya mendorong masuk pintu yang sudah terbuka setengahnya itu.
"Kenapa pintunya tidak terkunci?" Tanya batinnya. Kepalanya pun melongo masuk ke dalam ruangan. Matanya hampir tak menangkap apa-apa, lampunya redup setengah gelap.
Layar lebar mendominasi ruangan gelap tersebut. Cahaya yang menerangi ruang itu hanyalah dari layar lebar yang terbagi beberapa bagian. Langit masuk dari ujung kirinya, sedangkan layar itu ada jauh di ujung lain dinding. Langit mengendap masuk, setelah ia yakin disana tidak ada orang sepertinya.
Meja-meja rapi tertata berjejer sampai 4 baris ke belakang dengan banyak alat dan tombol entah apa itu diatasnya. Meja-meja itu tepat berada di depan layar lebar yang menyinari ruangan gelap, berjarak hanya sekitar 2 meter dari sana. Tak hanya meja, ada kursi-kursi pula di depannya yang kian lengkap sepertinya untuk orang-orang bekerja. Namun sepertinya layar, meja dan kursi itu tampak tak asing bagi Langit.
Layar lebar itu tak pernah luput dari pandangan Langit sejak masuk ke dalamnya. Ia memandangi layar itu sambil sesekali memperhatikan langkahnya. Layar-layar itu..
"Itukan... "
Brayyy... Lampu menyala seketika, membuat Langit segera mencari tempat sembunyi. Tepat di samping kiri meja-meja tempat tombol-tombol itu berada. Karena jika tidak buru-buru sembunyi, ia bisa saja ketahuan oleh entah siapa yang memasuki ruangan itu namun kedengarannya segerombolan orang masuk dari pintu depan yang tak jauh dari layar lebar itu. Kemudian mereka menduduki kursi yang tersedia di depan meja-meja penuh tombol.
"Buat skenario baru! Pria itu masih dilacak oleh tim pengintai," Ujar seseorang.
"Jangan sampai uang kita melayang begitu saja!" Lanjutnya dengan suara sama.
"3 jam lagi harus segera tayang, jangan keluar atau istirahat sampai ini selesai!!" Sambungnya seraya menutup kembali pintu dimana ia masuk tadi. Dan ruangan pun kembali meredup seperti semula kala Langit masuk.
Seketika itu pula orang-orang yang telah menduduki kursinya itu menekan tombol-tombol di hadapannya yang hampir membuat pening kepala Langit yang tengah bersembunyi di dekatnya. Perlahan ia mundur ke bagian belakang ruangan agar ia bisa keluar lewat pintu masuknya tadi, karena jika terus berada disana, sepertinya ia bisa pingsan nanti.
Sembari berjongkok kemudian merangkak ia berusaha mencapai pintu belakangnya. Namun baru saja sampai di baris ke 3 meja itu, lirihan suara membuat Langit membeku dalam posisinya.
"Heh! Ngapain kamu?" Tanya lirih pemilik suara itu.
Langit menggerakkan kepalanya ke arah suara yang sepertinya pria itu secara perlahan dan terpatah-patah seperti robot. Namun saat pandangan Langit sudah sepenuhnya menatap ke asal suara itu, ternyata pria yang dikira pemilik suara lirihan tadi tidak menatapnya, melainkan masih menatap layar dengan kedua tangan dan kesepuluh jarinya menempel erat di atas tombol-tombol di hadapannya.
"Apa dia yang memanggilku tadi?" Tanya batin Langit. Tak mau ambil pusing, Langit pun mengubah kembali posisi pandangannya ke arah semula, yaitu ke depan. Namun, betapa terkejutnya Langit saat itu, saat dihadapannya sudah ada Bonar yang dengan sigap menutup mulut Langit yang tertutup masker dengan tangannya, kalau tidak, Langit bisa jadi pusat perhatian orang-orang sibuk itu saat itu juga.
"Ngapain kau disini hah?" Bisik Bonar dengan tangan masih menempel di mulut Langit. Ia menarik Langit sambil membekam mulutnya dengan posisi merangkak mundur menuju pintu keluar yang sedikit lagi tercapai oleh keduanya.
Akhirnya mereka berdua berhasil keluar tanpa membuat gaduh dan ketahuan, mungkin tapi semoga saja tidak. Tangan Bonar telah lepas dari mulut Langit, ehh apa mungkin terbalik, Mulut Langit telah lepas dari bekaman tangan Bonar. Dan ia pun bisa kembali bernapas lega, "Ahhh..."
"Cari mati kau ya?!!" Ujar Bonar dengan tatapan tampak marah kepada Langit.