Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 92 - Langit

Chapter 92 - Langit

~~~

Dirinya memandangi sekitar. Membersihkan bajunya dari rumput-rumput kecil yang menempel. Wajah wanita manis itu menatap dirinya yang masih di posisi duduk lebih rendah dari wanita itu.

Dirinya hendak menarik kembali uluran tangannya ke tempat semula teringat sebelumnya ia telah memperkenalkan dirinya namun tak segera disambut wanita itu. Namun tanpa diduga, Gadis itu langsung menyambutnya dan menyebutkan namanya,"Aku Elia,"

~~~

"Elia!" Teriak pria itu dengan mata terpejam.

~~~

"Perkenalkan, namaku Candra. Kamu salah satu dari Para Pengawas itu, kan?" Ucap seorang pria dalam kurungan lain yang berupa sangkar burung namun drngan ukuran yang besar.

"Hei! Jaga ucapanmu ya! Aku bukan Para Pengawas itu, siapa mereka saja aku tidak tahu!" Timpalnya kesal pada Pria bernama Candra itu.

Pria itu kembali melihat ke kanan-kirinya, juga sekelilingnya dan berkata, "Jangan keras-keras!"

Lantas keduanya pun terdiam di dalam kurungan masing-masing.

~~~

"Candra!" Teriaknya lagi yang masih dalam posisi terbaring dan matanya terpejam.

~~~

Banyak wajah yang tak asing muncul dalam mimpinya. Pria pendek dengan tahi lalat di bawah hidungnya yang selalu ia panggil dengan sebutan, "Dokter Ben!"

"Arashita Mashami,"

"Max!"

"Ji Leah Hendrawan,"

Semua nama itu terngiang dalam mimpinya yang sangat membingungkan.

Terlintas pula saat semua perjalanannya dimulai dari kekesalannya pada kedua orang tuanya yang berlanjut pada kepergiannya bersama Indra menggunakan Perahu layar canggih itu. Kemudian bertemu Elia dan akhirnya masuk ke dalam sangkar menyebalkan. Berteman dengan si bawel, Candra. Dibantu Andre dan Dokter Ben. Tanjakan-turunan hambatan dan rintangan dihadapi bersama. Mencintai Leah hingga ia tewas diterkam makhluk menjijikan. Hingga akhirnya bisa menaklukkan Max.

B O O M !!!!!!

Dentuman keras. Kepulan asap tebal yang menjunjung tinggi. Api membesar membakar sebuah bangunan secara menyeluruh.

~~~

Tubuhnya terbangun sekaligus. Dentuman itu seakan nyata bising dalam telinganya.

"Tempat itu?" Lirihnya.

"Leah?" Lirihnya lagi.

Pikirannya kembali mengingat hangatnya pelukan tubuh yang lebih kecil darinya itu. Tanpa disadari, ingatan tentang gadis itu juga terlintas saat ia melihat secara gamblang bagaimana makhluk menyeramkan itu menerkamnya secara brutal tepat di depan matanya.

Air matanya menetes tak dapat terbendung. Kembali mengingat gadis yang hanya beberapa bulan dikenalnya dan mampu membuatnya jatuh hati itu.

"Leah?" Lirihnya sekali lagi.

"Siapa Leah? Kau sudah ingat sesuatu?" Tanya Matt dari balik pintu dan tak sengaja mendengar lirihan dari mulut pria yang kini tengah menyeka air matanya kasar.

Pria itu mengiyakan pertanyaan Matt, "Mm.. Sepertinya aku mengingat semuanya, kecuali.."

"Kecuali apa?" Tanya Matt antusias.

"Kecuali.. " Pria itu menahan ucapannya lagi dan membuat Matt tak sabar untuk mendengarnya hingga ia kembali menyelanya lagi dengan nada sedikit lebih keras, "Kecuali apa?!"

"Kecuali.. " Pria itu mengulangi tempo ucapannya barusan, namun langsung disambung sebelum Matt kembali menyelanya untuk ke sekian kali, "Namaku,"

"Kau ingat semuanya, kecuali namamu?" Tanya Matt.

Pria itu mengangguk pelan sedangkan Matt sedikit kebingungan. Rasa curiganya pada pria itu berubah menjadi iba kini.

"Kalau begitu, biar aku panggil kau 'Langit' saja," Celetuk Matt.

Pria di hadapannya tampak mengernyitkan dahinya. Namun Matt mengerti raut wajah itu dan segera menyambung ucapannya tadi, "Untuk sementara dan memudahkanku memanggilmu,"

Pria itu mengangguk pelan tanda ia setuju.

"Kenapa harus langit? Kau suka langit, ya?" Tanya Pria itu sesaat setelah menyetujui saran Matt.

"Bukan.. Bukan karena aku suka langit, tapi langit itu singkatan dari 'hilang ingatan', cocok untukmu yang sedang hilang ingatan,"

Pria lusuh itu hanya terkekeh pelan mendengar ucapan Matt barusan. Terlebih pada gaya pengucapannya yang polos dan terkesan ceplas-ceplos, mengingatkan dirinya pada sosok Candra dalam mimpi tadi.

"Oke langit! Apa kau merasa lapar? Kalau ya, aku akan sekalian membuatkanmu makanan karena aku juga lapar sekarang," Tawar Matt pada pria itu.

"B.. Boleh," Timpalnya dibarengi suara dari balik perutnya yang terdengar juga oleh Matt.

"Ahahhaahh!!" Gelak tawa mereka bersamaan.

Matt mulai aksi memasaknya, tapi sebelum itu ada satu hal yang membuat pria yang kini dipanggil 'Langit' itu terkesan.

Seperti yang sudah pria itu amati tadi, di ruangan itu hanya ada sebuah kulkas dan kursi beton yang menempel di dinding. Tapi sepertinya perkiraan Langit salah. Matt tampak menekan salah satu bagian dinding di samping kulkas. Dan sebuah dinding berdimensi 200 x 100 cm menonjol disana.

Langit penasaran dengan yang dilakukan Matt. Tak sabar rasanya ingin melihat apa lagi yang akan dilakukan pria bertopeng itu.

Matt menarik dinding yang menonjol itu dengan mudahnya. Dan sebuah meja tercipta disana. Bagian menonjol tadi adalah kaki sang meja dan bagian atasnya berisi kompor 4 tungku.

"Wow!" Langit Terpukau.

Namun tak berhenti disitu, keterpukauannya kembali bangkit saat ia melihat bukan hanya sebuah meja dapur yang tercipta, melainkan ada kabinet atas juga lengkap dengan peralatan masak lainnya.

"Tempat apa ini?" Tanya Langit atas keterpukauannya.

Matt berbalik ke arah Langit yang ada di belakangnya. Ia pun menjawab, "Ini ruanganku, tak ada siapapun yang bisa masuk kesini, hanya aku dan Jo yang tahu,"

"Jo?" Penasaran Langit pada sebuah nama yang baru saja diceploskan Matt.

'Sial! Kenapa aku menyebut nama Jo?!' Kesal Matt dalam hatinya. Meski rasa curiganya telah berkurang pada pria dalam ruangannya itu, namun ia harus tetap hati-hati dan menjaga jarak darinya. Karena ia masih belum mendapat jawaban siapa sebenarnya pria itu.

"Mmm.. Dia temanku," Timpal Matt.

"Seorang perempuan?" Tanya Langit.

"Bukan urusanmu," Singkat Matt yang kemudian melanjutkan aksi memasaknya.

Mendapat jawaban seperti itu Langit hanya bisa terdiam tak terlalu peduli juga pada jawaban Matt tentang Jo nantinya.

"Oh Ya! Aku belum tahu namamu, siapa namamu?" Tanya Langit.

Matt menoleh ke arah pria itu. Dalam benaknya kembali berkecambuk segala kecurigaan, "Apa aku harus berterus terang padanya? Bagaimana kalau dia hanya pura-pura ingin tahu namaku padahal aslinya dia sudah tahu? Atau memang dia bukan orang yang patut aku curigai?"

"Aku.." Ucap Matt terinterupsi oleh Langit saat ia berhasil melihat sebuah nametag di seragam Matt.

"Matt? Namamu Matt?" Terka Langit.

Matt menatap nametag di bagian dada kanannya sebelum ia berkata, "Ya! Namaku Matt!"

'Sial! Siapa yang memasang nametag ini? Kan ketahuan jadinya,' Kesal Matt dalam hatinya.

"Matt? Nama yang unik, apa nama panjangnya?" Tanya Langit lagi.

'Rrrghh.. Kenapa dia banyak tanya sih, apa dia benar-benar ingin mencuri informasi dariku?' Geram Matt lagi.

"Untuk apa kau tanya nama panjangku?"

Langit menggeleng dan menjawab, "Tidak.. Aku hanya ingin tahu saja, kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak ada salahnya kan jika aku tahu tentang namamu,"

'Kenapa dia sangat menjaga jarak dariku, bahkan aku kan hanya ingin tahu nama lengkapnya saja,' Sesal dalam hati Langit.

"Nama lengkapku, Matt.." Ucapannya terpotong oleh bisikan dalam hatinya, 'Jangan-jangan dia ingin menyelidiki hubunganku dengan kematian Matt asli?'

"Ah.. Sudahlah jangan banyak tanya!" Lanjutnya dengan kesal.

'Ehh.. Tapi jika aku berkata seperti tadi, aku bisa membuatnya makin curiga nanti,' Bisik hatinya. Tangan kirinya diangkat, melirik smartwatch di tangannya. Ia tampak mengotak-atik smartwatch itu. Masakannya terlupakan.

'Ayo!! Pasti nama pria itu ada disini,' Geramnya saat mencoba mencari sebuah nama pemilik asli smartwatch itu.

Langit hanya menatapnya sedang kebingungan mengotak-atik jam pintar itu. Tentu saja ia penasaran. Ia memperdekat jarak duduknya dengan Matt. Matanya mencoba mencuri pandang pada alat di pergelangan tangan Matt itu.

"Sedang apa kau?" Tanya Langit yang membuat Matt terkejut sampai ia menoleh ke arah Langit yang sudah duduk tak jauh di sampingnya.

"A.. Aku sedang.." Ucapnya terbata hingga terinterupsi oleh Langit.

"Boleh aku lihat," Pintanya.

Matt memperlihatkan jam itu ke arah Langit namun tak sampai disentuhnya.

"Whoa.. Canggih sekali," Kagum Langit.

Langit hendak mencoba menyentuhnya, namun Matt segera menyembunyikan tangan berbelitkan jam itu ke belakang tubuhnya.

"Tidak! Mau apa kau?!" Waspada Matt yang kemudian berdiri dari duduknya.

"Aku.. Hanya ingin menyentuhnya, itu saja, percayalah," Yakin Langit pada Matt yang mulai secara perlahan menunjukkan smartwatch itu pada Langit. Namun belum juga Langit menyentuhnya, sebuah panggilan menghentikannya, "Matt!!"