Mereka semua masuk ke dalam lift. Max menatapi setiap lantai yang mereka lewati. Dan benar, banyak mayat bergelimpangan disana.
"Kasihan sekali mereka", gumamnya pelan.
"Lalu setelah ini kita pergi kemana?", tanya Andre yang memecah tatapannya lewat pintu kaca lift.
"Kita harus pasang dulu bom itu", ucap Dr. Ben.
"Beno, apa kita bisa pakai layar hologram buatanmu itu?", tanya Max.
"Sepertinya bisa, apa kau punya ilustrasi hologramnya?"
"Aku rasa ada", timpal Max.
"Tapi ruangan itu sangat bahaya, apa kau punya ruangan lain dengan layar hologram seperti disana?"
Drrgg..
"Apa ini?", cemas Arash.
Lift mereka tiba-tiba berguncang dan terhenti. Listriknya padam.
"Uhh.. Sial!!", gerutu Max. "Listriknya padam!".
"Gensetnya masih berfungsi kan?", tanya Dr. Ben.
"Aku tidak tahu, biasanya akan langsung menyala secara otomatis dalam hitungan detik".
"Kita ada di lantai berapa ini?"
"Entahlah, aku pikir kita ada di lantai -3", terka Max karena dari tadi ia menatapi setiap bagian lantai, jadi ia mengira mereka sudah ada di lantai -3, 2 lantai lagi untuk menuju ruangan berisi layar hologram.
"Aku rasa di lantai ini pun ada layar hologram", celetuk Max. Seingatnya di lantai itu adalah tempat ia mengurung sebuah desa seperti desa siaga. Dan tentunya disana ada layar hologram tempat mereka mengatur pengurungan dan mengawasi desa itu.
"Apa di ruangan ini aman?"
Arash pun mengeluarkan senter dari dalam saku kecil tasnya. Ia mencoba menyalakannya. Sinar dari senter itu bisa menembus pintu kaca yang transparan sehingga mereka benar-benar bisa melihat apa yang ada di lantai itu. Dan.. Saat pertama kali ia sorotkan senter ke bagian lantai itu, ia menjerit terkejut, "Aaaaa!!!!".
Bukan hanya ia yang terkejut, tapi juga mereka yang berada di dalam lift itu. Sepasang mata sayu menyorot tajam ke arah mereka, pembawa kapak, mulut berlumuran darah. Itu penjaga pembunuh.
Saat Arash kembali sorotkan senter itu ke bagian lain lantai itu, bukan hanya satu penjaga yang mereka lihat, ada banyak disana. Tapi tenang saja mereka masih bisa dihitung dengan jari. Jadi, itu hal yang mudah bagi mereka yang punya senjata.
"Mereka berjalan lamban, jadi mereka bisa lumpuh dengan cepat sebelum mereka menerkam kita", jelas Dr. Ben.
"Tapi Bagaimana kita membuka pintu lift ini?", tanya Beno.
"Coba pakai ini!", seru Andre seraya mengangkat sebuah fire extinguisher yang entah datang dari mana, tapi yang pasti itu sudah tergeletak di lantai lift yang mereka naiki.
"Tunggu apalagi, cobalah!", pinta Max.
Andre pun mencoba memukulkan benda itu pada pintu kaca lift. Tapi, sudah beberapa kali mencoba bukannya terbuka jalan keluar, malah lelah yang ia dapat.
"Su..sah.. Skali", ucap Andre yang sudah mulai kelelahan dengan irama napas tak beraturan. Hingga ia pun berhenti menggunakan benda itu untuk mencoba membuka pintu lift.
Andre pun kembali mengeluh akan pintu lift itu, "Hhh.. Hhh... Kenapa.. Sangat sulit sekali, ya? Tadi si penjaga gila itu bisa menghancurkannya".
"Kau pun dikejar olehnya? Hingga ke dalam lift", tanya Beno seraya memegang pundak Andre.
Andre hanya mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan itu.
"Lalu? Cara kau kabur darinya setelah ia berhasil masuk?"
Andre menunjuk sebuah pintu kecil di bagian bawah dinding belakang lift sembari mengeluarkan beberapa kata, " Lewat sana".
"Lalu makhluk itu mengikutimu juga kesana?"
Andre lagi-lagi menjawab dengan sebuah anggukan.
"Pantas saja saat kita kesana ada seorang penjaga itu dan hampir saja kita terkurung disana bersamanya"
"Oh, ya kenapa kita tak gunakan tangga ini lagi? Lalu kembali masuk lewat pintu depan", lanjut Beno dengan memberikan sebuah usulan.
Dr. Ben segera menjawab usulan Beno dengan nada sedikit kurang yakin, "Bisa saja, tapi kau tahu kan disana itu banyak makhluk itu berkeliaran, apa kita bisa menanganinya?".
"Aku pikir kita bisa", lantang Beno.
"Kalau begitu, ayo!", tegas Andre dan Dr. Ben serentak.
Beno membungkuk dan membuka pintu kecil di lift itu. Menyoroti tangga besi itu dari mulai atas sampai bawah. Samar-samar ia melihat penjaga gila itu di bagian paling bawah, tapi sepertinya ia sudah terkapar tak berdaya disana.
"Aman!", tegas Beno yang kemudian masuk ke dalam ruangan kecil itu lagi.
Di belakangnya ada Max kemudian Andre, seusai Andre berhasil melewati pintu kecil itu, kini giliran Arash, ia memasukkan kepala dan tangannya terlebih dahulu untuk meraih pegangan tangga besi itu. Tapi, baru saja ia hendak mengeluarkan kaki kanannya, tiba-tiba..
Drghh...
Lift itu tiba-tiba berjalan kembali dan lampu kembali menyala. Secara spontan Arash melepas genggaman tangannya pada besi pijakan tangga. Dan kembali memasukkan tubuhnya ke dalam lift. Hingga hanya ia dan Dr. Ben yang ada di dalam lift. Mereka melaju dengan cepat menuju lantai 1 meninggalkan Beno, Andre dan Max di ruang kecil itu.
"Ayo!!", seru Beno seraya meraih anak tangga demi anak tangga dengan cepat.
Andre mengikutinya, begitu juga dengan Max. "Tunggu aku!", pinta Max yang tak terbiasa dengan kegiatan itu.
Hanya beberapa puluh anak tangga yang mereka pijaki, tak terlalu jauh dari tempat awal mereka masuk.
Pintu lift terbuka secara otomatis diikuti bunyi denting pertanda lift mereka telah sampai di tujuan.
Tring...
Bunyi itu membuat banyak pasang mata sayu kembali menyorot ke sumber bunyi itu berasal.
Mata Dr. Ben dan Arash sama-sama membulat, dan dengan sigap Arash menekan salah satu tombol untuk menutup pintu lift itu.
Mereka berjalan lambat, tapi lama kelamaan mereka mendekat. Semakin dekat.
"Dr. Ben apa disana aman?", tanya Beno secara tiba-tiba dari balik pintu lift kecil tadi dan tentu saja hal itu membuat mereka terkejut.
"Ah.. Beno! Kau membuatku terkejut saja", pungkas Arash.
"Aman,, coba kau lihat itu", ucap Dr. Ben untuk menjawab pertanyaan Beno seraya menunjuk ke arah pintu lift. Beno segera melirik ke arah jari Dr. Ben diarahkan.
Mata Beno ikut-ikutan membulat seperti Arash dan Dr. Ben, ia tak menyangka disini akan ada banyak sekali makhluk itu, "Woww... Mereka banyak sekali".
"Beno!! Cepatlah!! Kita sudah penat di dalam sini!!", teriak Max dari dalam ruangan kecil itu. Kaki dan tangannya sudah lelah menunggu.
Tapi, Beno tak menghiraukan ucapan Max. Ia hanya diam tak bisa berkata, tapi dalam benaknya ia berpikir lagi apa yang harus ia lakukan.
"Jadi kita lewat mana?", tanya Dr. Ben yang mulai cemas melihat keadaan sekitar, dimana sudah banyak manusia itu yang dekat jaraknya dengan lift.
Kepala Beno kembali dimasukkan ke dalam ruangan kecil itu, ia menundukkan kepalanya ke bawah untuk dapat melihat Max. "Di lantai -2 ada layar itukan?", tanya Beno pada Max.
Max terdiam sejenak sebelum berkata, " Ada, aku rasa ada".
Kepala Beno kembali dimasukkan lewat pintu kecil itu untuk meminta Dr. Ben untuk menuju lantai -2.
"Kita ke lantai -2", pintanya yang kemudian masuk ke dalam lift lewat celah itu. Diikuti Andre dan Max juga.
Tombol di dinding kembali ditekan oleh Arash. Kini tombol berangka -2 di tekannya.
Sepi. Sunyi. "Sepertinya disini aman", ungkap Andre.
Tring...
Pintu lift kembali terbuka. Tapi tiba-tiba..
Brugh...
Penjaga yang tadi hendak mendekati Dr. Ben dan Arash di lantai 1, menjatuhkan dirinya lewat celah antara jalan untuk menuju lift. Jadi, untuk menuju lift mereka harus melewati jembatan selebar pintu lift. Nah, jarak antar jembatan itu merupakan void di lantai tersebut. Hingga manusia itu bisa mencapai lantai -2 tanpa menggunakan lift.
"Sial!! Pandai sekali makhluk itu!", gerutu Andre yang kemudian dengan sigap kembali menutup pintu lift hingga makhluk itu tak bisa menggapai mereka. Langsung saja ia tekan tombol berangka -3 disana. Hingga mereka pun kembali ke lantai dimana lift itu terhenti karena aliran listriknya padam.
Tring..
Pintu terbuka. "Ayo cepat!", seru Dr. Ben seraya mengarahkan senjata di tangannya ke depan.
Ia berhasil melumpuhkan seorang makhluk itu dengan dua kali tembakan.
Tapi, bukan hanya satu makhluk yang ada disana. Ada sekitar 7 ditambah satu makhluk yang datang tiba-tiba dengan menjatuhkan diri seperti saat mereka tiba di lantai -2.
Max menunjukkan kelihaiannya dalam menggunakan senjata jenis shotgun. Ia menembaki semua makhluk itu seorang diri hanya dengan sekali tembakan setiap makhluk.
"Waw.. Tak kukira kau hebat menggunakannya", puji Andre pada adiknya.
Max tak memberi tanggapan apapun atas pujian Andre padanya. Ia hanya berjalan santai tapi elegan menuju ke salah satu sudut dimana disana terdapat sebuah benda yang tertutup kain hitam. Andre, Beno, Dr. Ben dan Arash hanya mengikutinya dari belakang.
Ia menyingkap sebuah kain hitam yang menutup meja itu. Dan disanalah layar canggih itu berada. "Coba gunakan ini Beno!".
Beno dengan cepat mengambil sebuah pena dengan disk berisi data-data bunker didalamnya. Ia juga menyalakan sebuah komputer yang ada disana dan tentunya tersambung dengan layar hologram di meja itu.
Beno memasukkan disk miliknya ke dalam port usb di komputer itu. Hingga muncullah semua data didalamnya. Dan...
Layar hologram itu pun menampilkan sebuah desa. Entah desa mana. Tapi kini ia tak butuh itu. Ia hanya mencari hologram bunker tempat mereka berada.
Cari.. Cari.. Temukan.. Temukan..
"Bunker.. Bunker.. Bunker.. ", gumam Beno pelan.
"Nah.. Ini dia!", seru Beno seraya menekan tombol 'enter' di keyboard untuk menampilkan hologram bunker itu.
Hologram bunker itu terpampang di depan mata mereka. Warna biru nan terang mendominasi semua bagian di hologram itu.
Lalu Beno mengucapkan dua kata ke atas benda datar semacam speaker di samping monitor sembari menekan tombol kecil di samping benda itu, "pasang Bom".