Mariposa memutuskan berdiam diri di kamarnya. Sebenarnya ia sangat merindukan Marvel, pelayan yang sangat setia dan selalu mendukungnya dalam kondisi apapun. Mariposa ingin sekali bercengkrama dengan Marvel dan saling berbagi kasih selama dua tahun belakangan mereka tidak bertemu. Tetapi melihat wajah ayahnya membuat Mariposa mengurungkan niatnya. Mulai sekarang Tuan Badra pasti akan melarangnya untuk berdekatan dengan Marvel karena sebentar lagi statusnya akan berubah. Persetan dengan status, Mariposa sangat membenci ayahnya.
Mariposa duduk dijendela sambil meratapi nasibnya. Seminggu lagi ia akan melepas masa lajangnya. Hanya seminggu lagi ia akan menjadi istri orang. Betapa membosankannya menjadi istri dari lelaki yang tidak dikenalnya. Mariposa jadi merindukan ketiga kakaknya. Mereka pun pasti tersiksa dengan pernikahan paksa itu. Mariposa tidak ingin bernasib sama seperti ketiga kakaknya. Apapun yang terjadi, Mariposa tetap tidak akan menikah sesuai keinginan ayahnya.
TOK TOK TOK
Mariposa melirik pintu kamarnya. Seseorang telah membuyarkan lamunannya diluar sana. Ia menghela nafasnya.
"Siapa?"
"Ini aku, Marvel." Serunya.
Senyum langsung mengembang diwajah Mariposa. Dengan berlari kecil Mariposa membukakan pintu untuk Marvel lalu mengundang lelaki itu masuk ke kamarnya. Kebiasaan dulu. Yaitu Marvel selalu menemaninya bermain boneka di kamar Mariposa. Tak peduli usia mereka yang terpaut cukup jauh, Marvel tanpa malu menemaninya bermain permainan anak kecil saat itu.
"Masuklah, Marvel." Sahut Mariposa ketika menyadari Marvel hanya diam diambang pintu.
"Ummmm tidak, Mariposa. Aku harus mengajakmu keluar."
Alis Mariposa berpaut. "Untuk apa?"
"Itu.. sebenarnya ini perintah dari Tuan. Tapi aku juga ingin berkeliling desa bersama gadis kecilku yang manis ini!" Pekik Marvel di akhir kalimat.
Mariposa meringis gemas ketika Marvel mencubit kedua pipinya.
"Aku juga!"
"Kalau begitu cepat ganti baju! Aku tidak bisa menunggu terlalu lama."
"Kenapa?" Mariposa merasa sedikit sedih karena dulu biasanya Marvel akan selalu menunggunya selama apapun itu.
"Karena aku tidak sabar berkeliling dengan gadis manis ini!" Pekik Marvel yang membuat Mariposa terkekeh.
"Baiklah baiklah, tunggu aku."
~~
Sementara itu, lelaki yang hanya berbalut kaus merah dan celana training hitam menghela nafasnya berat. Kepalanya dihantui oleh bayang-bayang kehilangan orang yang paling ia sayang di dunia ini. Ia begitu frustasi sampai-sampai tak berselera untuk mengisi perutnya yang sudah dua hari ini tidak diberi asupan apapun.
"Satria, sudah makan?" Suara parau dari pria itu membuyarkan lamunannya.
Lelaki bernama Satria itu hanya mendongak untuk melihat wajah yang kini sudah mulai penuh dengan keriput itu sebelum memutuskan kembali menunduk.
"Aku tidak lapar, Pak."
"Bapak sudah masak kentang rebus untuk kamu. Makanlah selagi hangat."
Satria mengulum bibirnya. Betapa menyedihkan hidupnya yang hanya bisa berdiam diri di kamar kecil kumuh itu tanpa melakukan usaha apapun untuk orang tuanya. Bahkan pria tua yang ia sebut Bapak itu masih memperjuangkan hidupnya hanya dengan mengingatkan makan. Walau entah kapan Satria akan mulai makan. Dengan kondisi yang tak lagi kuat itu Bapaknya masih sanggup merebuskan kentang untuk perutnya. Satria merasa ia tak pantas memakan kentang rebus itu karena seharusnya ia lah yang memasak, bukan pria tua itu. Satria menatap Bapaknya yang kini duduk ditepi kasur lantai miliknya.
Kian hari Satria merasa jika Bapaknya itu semakin terlihat lemah dan rapuh. Bak kursi tua yang sebentar lagi akan patah salah satu kakinya.
"Bagaimana kondisi ibu, Pak?" Tanya Satria hati-hati.
Kemudian terdengar helaan nafas berat disana.
"Masih sama."
Satria semakin menundukkan kepalanya lebih dalam. Hatinya kembali sakit ketika mengetahui fakta yang sangat tidak ingin ia dengar.
"Maafkan bapak ya Satria, seharusnya kalian bisa hidup enak."
Satria tertawa hambar merasakan kepiluan yang ada.
"Bapak ini bicara apa sih. Sudah jangan dipikirkan, biar Satria yang menggantikan posisi Bapak."
Satria pun bangkit dan berjalan menuju ambang pintu.
"Mau kemana kamu, nak?"
"Keluar sebentar, mencari pekerjaan."
Alasan klasik yang selalu Satria gunakan untuk pergi keluar rumah. Padahal selama ini ia tidak pernah menghasilkan apapun ketika pulang ke rumah. Satria malah selalu membuat petaka ketika pulang. Bukanya membawa hasil malah harus meminta pertolongan pada orang tuanya. Selama ini Satria selalu pulang dalam keadaan celaka. Alhasil orang tuanya lah yang harus kembali menanggung beban yang dimiliki Satria. Jujur, sebagai lelaki Satria pun malu akan dirinya sendiri yang selalu menanam janji tapi tak pernah ia tuai kembali hasilnya. Jangankan dituai, tumbuh saja tidak.
Sebelum pergi Satria menyempatkan diri untuk melihat kondisi ibunya di kamar. Ditatapnya wanita yang sudah melahirkannya itu dengan nanar. Mata yang tertutup itu selalu membuat Satria jadi takut. Takut jika mata itu tak akan terbuka kembali untuk selama-lamanya. Membayangkannya saja sudah membuat Satria gila sendiri. Tepukan di bahu kirinya pun menghancurkan segala bayang-bayang Satria.
"Bapak mau ke sawah dulu. Kamu di rumah saja jaga ibu." Kata Herman.
"Enggak usah, Pak. Satria aja yang gantiin bapak hari ini. Bapak istirahat saja sambil jaga ibu."
"Gak usah repot-repot. Nanti kamu capek Satria."
Satria malah tersenyum miris mendengarnya. Maksudnya bukan capek mungkin. Satria tahu jika Bapaknya itu takut menanggung beban yang bertambah jika dirinya keluar rumah dan memaksakan segala cara demi membantu keadaan keluarga. Bukan membantu, Satria malah semakin menyusahkan karena tidak pernah benar melakukan pekerjaan. Terakhir kali Satria menggantikan pekerjaan Bapaknya itu yang ada malah berujung merusak kebun orang. Alhasil mereka tidak digaji saat itu. Satria semakin miris mengingat kejadian itu.
"Ibu pasti lebih membutuhkan Bapak daripada Satria."
Setelah mengatakan kalimat itu Satria langsung berlalu keluar rumah. Ia berjalan seadanya tanpa tujuan. Bahkan masih mengenakan pakaian yang biasa dipakainya untuk tidur.
Satria tidak pernah sekalipun memikirkan tentang apa pendapat orang lain tentang dirinya. Toh, dirinya sendiripun sadar Satria memanglah buruk. Di usianya yang sekarang seharusnya Satria bukan pengangguran lagi. Tapi bagaimana mau dapat pekerjaan jika bekerja di kebun orang saja tidak becus.
Tapi Satria masih berusaha dan berpikir hingga hari ini demi satu nyawa yang harus ia selamatkan. Satria tak sanggup dan belum siap jika harus ditinggal pergi ketika dirinya belum sukses sama sekali. Setidaknya minimal sampai Satria memiliki pendamping hidup pun itu sudah cukup baginya. Satria ingin kedua orang tuanya dapat melihatnya tumbuh sukses dan ikut berbahagia atas kebahagiaan yang Satria peroleh.
BUKK
Langkahnya terhenti ketika mendapati sebuah bola plastik menghantam kakinya cukup kencang. Siapa yang sudah menendang bola sekencang itu?
Cukup lama Satria memandangi bola itu sambil mencari si pelaku yang tak kunjung muncul. Lelaki itu memutuskan untuk mengambil bola itu lalu berniat ia bawa. Tapi tak sampai lima langkah, muncul seorang bocah laki-laki bertubuh gemuk yang tengah mencari bolanya itu.
"Itu bola aku, Om!" Serunya ketika melihat bola yang berada ditangan Satria.
Satria malah menautkan alisnya bingung.
"Om?" Kata Satria dengan nada tidak terima harus dipanggil Om.
"Iya Om, sini balikin. Nanti kakak aku ngomel kalo bolanya hilang lagi sama aku."
Satria menahan senyumnya. Lucu sekali anak kecil itu. Jelas Satria sedang menunjukkan raut wajah kesalnya karena dipanggil 'Om' , tapi bisa-bisanya bocah itu malah curhat soal kakaknya.
"Kamu mau bola ini?"
Bocah itu mengangguk dengan semangat.
"Ada syaratnya."
"Ih Om jahat sama aku!"
"Enggak, saya gak jahat sama kamu. Saya cuma kesal karena dipanggil 'Om' sama kamu, Dek kecil."
"Memangnya kenapa,Om? Kan emang udah om om?"
Satria menggeleng keras. Usia dua puluh lima tahun itu masih muda menurutnya. Ia jelas tidak terima disebut Om ketika dirinya saja masih melajang. Oh tidak, bahkan belum dapat pekerjaan.
"Saya itu masih muda tau! Panggil saya 'Kakak' saja itu sudah cukup."
"Iya deh, Kakak." Bocah itu mencoba-coba.
Satria tersenyum puas mendengarnya. Memang sudah seperti itu seharusnya.
"Terus kalo Om- eh, Kakak udah tua, masih mau dipanggil kakak? Kapan jadi om om nya?" Tanya bocah itu lagi penasaran.
"Nanti kalau saya sudah nikah dan punya anak, baru bisa disebut Om Om."
Bocah itu hanya bisa mengangguk tanpa mengerti maksud dari omongan lelaki dewasa tersebut. Satria sedetik kemudian tersadar, untuk apa juga ia berbicara hal yang tak penting pada bocah yang usianya berkisar lima tahun ini. Satria sendiri bahkan tak mengerti apa maksud dari ucapannya itu.
"Main sama aku mau gak, Kak?" Tawar anak lelaki itu.
Satria tampak menimang-nimang antara harus bermain dulu atau lanjut mencari hal yang bisa ia kerjakan dan menghasilkan uang. Tapi Satria pikir jika dirinya terlalu serius akhir-akhir ini sehingga lupa cara menghibur diri. Satria terlalu larut dalam masalahnya. Mungkin sedikit hiburan dari adik kecil didepannya bisa mengurangi beban hidupnya.
"Boleh."
Anak kecil itupun mengajak Satria untuk ke taman kecil yang ada dibalik perkebunan. Hanya taman yang tak luas dan terdapat bangku panjang disana. Bukan taman hiburan yang banyak wahana anak-anak seperti perosotan atau jungkat jungkit. Taman itu kadang menjadi tempat peristirahatan para petani atau tukang kebun dikala lelah melanda.
"Satria!" Panggil seorang gadis mengenakan dress coklat selutut.
Satria pun menoleh. Ia sangat kenal dengan suara itu. Kemudian senyum mengembang ketika mata mereka bertemu. Saat itu juga jantung Satria berdetak lebih cepat dari biasanya. Begitupun gadis itu yang wajahnya sudah memerah hanya karena seulas senyuman dari seorang Satria.
"Lama tidak melihatmu." Kata Satria.
"Rindu aku?"
Satria tertawa. Tentu saja dia merindukan sang pujaan hatinya itu. Satu Minggu tak bertemu saja sudah seperti satu tahun. Bahkan rasanya Satria ingin langsung memeluk gadis itu jika saja tidak ada sepasang mata yang tengah memperhatikan mereka.
"Iya, aku merindukan kamu."
"Aku juga, Satria."
Keduanya saling beradu tatap. Cukup lama untuk melepas rindu satu sama lain. Satria bahkan tak berhenti memuji gadis cantik itu dalam hatinya. Mini dress coklat itu terlihat sangat anggun dan pas sekali ditubuh mungil itu. Sang gadis pun malu-malu karena Satria tak juga memutuskan kontak mata mereka. Membuat hatinya menghangat dan geli. Bahkan gadis itu tak memandang penampilan kekasihnya yang sangat jauh berbeda dengan dirinya. Cinta memang dapat membutakan segalanya.
"Om, kapan mainnya?" Celetuk bocah yang mulai bosan.
Gadis itu pun terkejut lalu tertawa. Menyisakan Satria dengan raut wajah jengkelnya. Bahkan keduanya harus kembali tersadar jika ada seorang anak kecil yang sedari tadi menonton adegan roman picisan mereka.
"Om? Kamu udah jadi om om ya, Satria? Haha!"
Satria mendengus. "Tadi sudah dibilang kan panggil saya itu 'kakak', saya gak setua itu."
Satria memperhatikan kekasihnya yang masih tak ingin berhenti tertawa itu. Bahkan mata gadisnya sampai menyipit dan mengeluarkan air mata, seolah panggilan 'Om' untuk Satria adalah hal paling lucu di dunia.
"Dia siapa?" Tanya gadis itu.
"Nama aku Tio, kakak cantik."
"Sudahlah sayang, aku mau bermain bola dulu dengannya, kau duduk saja. Tunggu aku sebentar." Kata Satria.
Gadis itu pun meredakan tawanya dan duduk sesuai perintah Satria.
Satria segera menjaga jarak dari anak kecil itu. Lalu ia pun mulai menendang bola sebisa mungkin agar masuk kedalam gawang buatan mereka.
"Memangnya seru cuma main berdua?" Tanya Satria.
"Seru kok, biasanya aku main sendiri."
Satria mengaduh perih dalam hati. Sedih juga nasib bocah kecil itu. Sepertinya tak banyak anak sepantaran yang mau bermain dengannya. Satria bisa melihat jelas raut kesepian diwajah anak itu. Matanya pun melirik sang pujaan hati yang duduk di bangku sana. Sudah pasti gadis itu tidak akan tertarik untuk bergabung dengannya.
"Nama kamu siapa tadi?"
"Aku Tio, Kak- YEAYY! GOLL!"
Tio memekik girang ketika bola yang sedari tadi ditendangnya berhasil melewati batasan yang Satria jaga. Bahkan Tio tak malu melompat-lompat saking senangnya. Satria hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata kebahagiaan orang lain bisa sesederhana itu. Apa kabarnya dirinya sendiri yang belum mendapat kebahagiaan itu walau setitik pun? Ah, mungkin Satria tidak menyadarinya. Atau memang belum ada secercah kebahagiaan yang masuk ke hidupnya?
"Jago juga kamu ya." Puji Satria.
Satria sempat melirik gadisnya yang juga ikut bersorak girang karena Tio berhasil mencetak gol. Tio semakin melebarkan senyumannya hingga matanya menyipit. Satria ikut tersenyum bahagia melihatnya. Kemudian Tio langsung mengajaknya bermain lagi.
"Okay, tapi sekali lagi ya soalnya saya mau pacaran."
~~
Tanpa lelaki itu sadari, dirinya sudah diperhatikan dan diikuti oleh dua orang misterius yang kini tengah berusaha bersembunyi dibalik pepohonan yang ada. Gerak-gerik lelaki itu tak pernah disia-siakan barang sedetikpun olehnya. Melihat senyuman tulus itu membuatnya tersadar ke dunia nyata bahwa itu bukan sekedar mimpi. Senyuman dan suara lembut itu nyata.
Gejolak yang timbul entah darimana itu membuatnya sedikit tak nyaman. Terasa ada yang mengganjal namun samar rasanya. Gadis itu bahkan ikut tersenyum kecil saat sosok itu tertawa keras disana.
Gadis itu Mariposa, bersembunyi dibalik pohon dekat taman hanya untuk mengawasi lelaki asing yang entah sejak kapan mencuri perhatiannya. Padahal penampilan lelaki itu jauh dari kata luar biasa apalagi untuk gadis seperti dirinya. Sangat berbeda jauh dengan Mariposa yang anggun dan selalu mengenakan pakaian bagus. Mungkin jika disandingkan akan seperti langit dan bumi. Lelaki yang ikut bersembunyi dibelakangnya pun hanya bisa diam, mengikuti perbuatan anak majikannya. Siapa lagi kalau bukan Marvel. Bahkan Marvel sendiri bingung, untuk apa juga Mariposa menonton adegan romansa dari orang biasa yang bahkan jauh dari kata 'serasi'. Jangankan serasi dengan Mariposa, lelaki disana itu bahkan tidak cowok bersanding dengan gadis yang disebut kekasih itu.
Tapi, bukan Mariposa putri bungsunya Tuan Badra namanya jika ia tak memiliki sifat sama seperti ayahnya, yaitu keras kepala.
Mariposa tidak peduli lagi jika dirinya langit dan lelaki itu bagaikan buminya, yang ia mau hanya satu dan itu harus terjadi.
"Marvel, aku mau lelaki itu."