Chereads / DEAD ZONE Zombie Crisis / Chapter 12 - Imperial Hospital II

Chapter 12 - Imperial Hospital II

DEAD ZONE

Zombie Crisis

Secepat mungkin ia melesatkan sebuah serangan berupa hantaman tangan kepada Alice hingga membuatnya terpental ke dinding pembatas halaman rumah sakit Imperial.

Benturan keras pada belakang kepalanya membuat Alice tak sadarkan diri dibuatnya, hingga pada akhirnya makhluk itu pun kini memandangku sebagai target berikutnya.

Perlahan ia mendekatiku dengan langkah kaki yang melambat. Namun aku berusaha untuk tetap tenang meskipun aku di buat mundur olehnya.

Makhluk itu membuka mulutnya selebar mungkin di hadapanku. Taringnya yang tajam melambangkan rasa haus darah yang amat mendalam, di tambah oleh postur tubuh serta sebelah tangan yang hampir menyerupai lengan gurita ikut mendominasi wujud seramnya.

Tangannya menggeliat, melesat kencang bagaikan kilat dalam rangka melakukan penyerangan pertamanya terhadap lawan yang tengah di hadapinya.

*SLAASH!

Pukulannya cukup keras menyambar tanah lapang yang dipenuhi oleh rerumputan. Meski lengannya dipergunakan sebagai cambuk untuk melawan diriku, aku harus tetap tenang dalam melakukan sebuah penyerangan terhadapnya.

Ia kembali menyerangku dengan pukulan yang sama, namun aku segera berguling ke samping dan berlari sekuat tenaga untuk menghindarinya.

Aku terus berlari sekuat tenaga dengan seluruh kekuatan yang bertumpuh pada kedua kakiku. Sayang, ada kalanya aku yang terjatuh akibat sebuah potongan tubuh manusia pada halaman belakang rumah sakit Imperial.

Aku membalikan tubuhku, mendapati ia yang kini tengah berdiri tegak di hadapanku. Makhluk itu segera menjerat leherku dengan dengan sekuat tenaga, dan hampir saja aku kehabisan nafas karena cekikannya.

"Arrgk! Errgk!"

Sesaat aku mencoba untuk mengambil sebuah belati yang terselip pada pinggangku. Naas, tanpa sengaja aku telah menjatuhkan senjata yang telah kupersiapkan tersebut.

*CTIINK, TIING...!

Dadaku serasa sesak, sepertinya aku telah kehabisan oksigen untuk bernafas. Kini pandangan mataku mulai kabur dan kepalaku terasa berkunang-kunang dibuatnya.

Disaat kedua mataku hendak tertutup, sesaat itulah aku yang kini mulai melihat Alice yang tengah berlari dengan sebilah pisau pada genggaman tangannya.

Alice segera melompat ke udara seraya menjunjung tinggi kedua tangannya. Sebilah pisau kini tengah dilesatkannya pada kepala sang korban. Naas, makhluk itu sama sekali tak ingin melepaskanku dari jeratan tangannya, hingga pada akhirnya Alice mengambil belatiku yang berada di permukaan tanah untuk menebas lengan makhluk tersebut.

Aku pun mulai terjatuh dalam kondisi lemah tak berdaya, berharap semoga Alice dapat mengalahkannya hanya dengan bermodalkan belati pada genggaman tangannya.

Ujung lancip pada lengan panjangnya di manfaatkan untuk memberikan sebuah serangan berupa tusukan pada tubuh Alice yang tengah berhadapan dengannya.

*WHUUS!

Secepat mungkin Alice berusaha untuk menghindari serangan dari sang lawan, meskipun luka goresan telah ia dapatkan pada lengan kirinya. Tak tinggal diam, aku mencoba untuk mengambil sebuah pistol yang terselip pada pinggang kiriku, berharap dapat mengambil keuntungan dari pertarungan yang tengah dilakukan oleh Alice kepada mahluk tersebut.

*DUUAR!

Sebuah desingan peluru tampak terdengar menggemah kesepenjuru arah, diikuti oleh tumbangnya mahkluk tersebut.

Benjolan pada leher kirinya pecah dan mengeluarkan cairan hijau bercampur getah bening layaknya darah yang berceceran pada tanah berumput.

Meskipun aku telah membidiknya, aku sama sekali tidak merasa bahwa jari telunjukku telah menekan pelatuk pada pistolku. Lalu siapa yang telah melakukannya? Sedangkan Alice hanya menggengam rapat sebuah belati yang hampir menyerupai bumerang pada sebelah tangannya.

Sesosok pria berambut hitam dengan balutan rompi anti-peluru pada bagian dadanya, tak lain ia adalah salah satu dari anggota WolfHunter.

Meski ia telah berhasil menumbangkan mahkluk tersebut, bukan berarti ia telah berpihak kepada kami.

Kini pria itu mulai berjalan menghampiri Alice yang tengah berdiri di hadapannya, tidak lupa ia untuk tetap mengarahkan acungan pistolnya terhadap seorang gadis berambut pirang di depannya.

Hanya dalam hitungan detik sebuah desingan peluru kembali terdengar menyayatkan gendang telinga.

*DUUAR!

Suara tembakan itu sempat mengejutkanku, membuatku tak habis pikir bahwa pria itu akan menarik pelatuknya di hadapan Alice,

Seorang gadis mulai tumbang bersimbah darah pada bagian dahinya pada saat sebutir peluru tengah bersarang pada kepalanya. Namun ia bukanlah Alice yang tengah melakukan sebuah misi bersamaku, melainkan sesosok zombie yang hampir menerkam Alice dari balik tubuhnya.

"Kau berhutang nyawa padaku Alice, setidaknya hanya untuk malam ini saja," ucap pria tersebut seraya berbalik arah dan pergi meninggalkan kami begitu saja.

"Steven! tunggu!" seru Alice memanggil Steven dengan sebelah tangan yang menggapai udara.

sesaat Steven mencoba untuk menghentikan langkahnya, dimana ia yang kini mulai membalikan tubuhnya dan berkata,

"Pergilah Alice, ribuan nyawa penduduk New Castile bergantung padamu."

"Kenapa... Kenapa kau memilih untuk memberontak kepada Mercenery dan beranjak pergi untuk bergabung dengan WolfHunter?" tanya Alice dengan raut wajah yang tampak gelisah.

Steven menundukan kepalanya, ia tak habis pikir bahwa Alice akan menanyakan hal itu kepadanya.

"Semua itu akibat dari kebodohanku karena sudah mempercayai Jessie, namun aku telah menebus semua kesalahanku dengan cara meracun seluruh anggota WolfHunter yang masih tersisa."

"Dasar binatang!" sahutku.

"Maafkan aku, aku hanya berusaha untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang sangat kucintai. Mungkin dengan cara itulah aku dapat menebus semua kesalahanku.

Selamat tinggal..."

Pria itu berbalik arah dan segera beranjak pergi meninggalkan kami begitu saja. Sedangkan Alice, ia hanya mampu untuk menatap pria tersebut dengan raut wajah yang sedih dikala pria itu berlari meninggalkannya.

Ada jeda yang menciptakan kecanggungan di antara kami berdua, hingga pada akhirnya aku mulai berkata,

"Alice, apakah kau baik-baik saja?"

"Entahlah Mich, aku hanya merasa bahwa hatiku mulai terluka pada saat aku dipertemukan lagi dengannya," ucapnya lirih dengan sedikit gelengan pada kepalanya.

perlahan aku mencoba untuk menghampirinya, dimana aku yang kini tengah meletakan sebelah tanganku pada bahu kirinya.

"Mungkin kita tidak dapat merubah masa lalu, namun kau harus percaya bahwa kita masih dapat berjuang di masa yang akan mendatang."

"Kau benar Michael, mungkin aku juga harus menghapus semua kenangan indah bersamanya dan berfokus pada tujuan utama kita."

"Mari kita lakukan sebelum menjelang fajar."

"Ya!"

-Bersambung-