Ezra membelalakkan mata melihat sahabatnya tersebut akan menabrak sebuah tiang, sedangkan Zein Zulkarnain hanya memandang tanpa ekspresi seakan tidak melihat siapapun bahkan sedikit pun tidak melirik, pandangan matanya lurus ke depan tanpa sedikit pun terganggu oleh cantiknya paras seorang gadis.
"Arsy, awas!!!" Teriak Ezra memberi peringatan.
Arsy terkejut melihat sebuah tiang berdiri tegak di hadapannya, sedang dirinya sudah tidak dapat lagi mengelak atau pun menghindar.
"Aaa!!!" Dia hanya mampu berteriak sekalipun tetap tidak mampu menghindar dari menabrak tiang tersebut.
Dugh ..
Bruk ...
"Akh." Gadis bersurai hitam panjang itu meringis kesakitan setelah tubuhnya terjerembab ke lantai.
Zein menghentikan langkah kakinya sejenak."Alangkah lebih baik kalau seorang gadis menjaga pandangannya." Bibir seksi itu sedikit terangkat ke atas, setelah itu ia kembali melanjutkan perjalannya.
Mahesa menghela nafas, ia memandang iba pada gadis pelayan tersebut." Pelayan, Pangeran Mahkota sudah terbiasa mendapatkan tatapan memuja dari para gadis maupun janda, dan dia sangat tidak menyukai itu. Jadi ... Lebih baik jangan lagi memberikan tatapan memuja seperti itu, lihat sendiri akibatnya... Kamu yang celaka."
Arsy menatap pria cepak itu jengkel, dalam hati ia sangat ingin memasukkan semua cucian dalam keranjang ke dalam mulut pria tersebut agar berhenti bicara, tetapi status mereka sangat jauh berbeda. Mahesa adalah pengawal pribadi seorang Pangeran, sedang dirinya pelayan rendahan.
"Dasar pengawal sialan! Bukannya membantu malah ngatain orang. Awas saja, kalau sampai terjadi sesuatu padamu, aku adalah orang pertama yang akan menertawakan mu," umpatnya dalam hati.
Mahesa kembali melangkahkan kaki menyusul sang Pangeran Mahkota, pria bersurai kuning keemasan tersebut berjalan dengan sangat tenang bagaikan air.
Ezra segera menghampiri Arsy lalu membantunya berdiri."Sy, kamu jangan mengagumi Pangeran Mahkota lagi, dia itu bukan manusia."
Arsy menatap bingung sahabatnya tersebut, ia kembali memandang punggung sosok berjubah putih dan selendang hijau di depannya, dilihat dari sudut manapun pria itu tidak terlihat seperti bukan manusia.
"Darimananya dia tidak terlihat seperti seorang manusia?" Tanyanya bingung, perlahan dia bangkit dari posisi jatuhnya.
"Pangeran Mahkota itu terkenal dengan sebutan manusia setengah Dewa, tidak tertarik dengan urusan dunia ini. Dia menjadi seorang Putra Mahkota juga karena terkena jebakan, orang yang sangat dingin tapi sekali bicara sangat menyebalkan," jelas Ezra mengingat kembali sikap sang Pangeran.
"Manusia setengah Dewa? Apa karena paras yang begitu rupanya? Bahkan dia memakai rambut palsu."Arsy masih bertanya-tanya, ia sama sekali tidak paham maksud ucapan sahabatnya tersebut.
"Apanya yang rambut palsu?! Dari lahir Pangeran memang rambutnya seperti emas begitu, Pangeran juga sangat tampan, bibirnya merah alami. Bulu matanya panjang, hidungnya mancung. Tidak banyak bicara dan lebih suka bekerja."Ezra tersenyum sendiri mengingat betapa rupawan sosok Pangeran Mahkota kerajaan Bintang Tenggara.
Arsy memicing malas melihat sang sahabat, baru saja melarang dirinya untuk menyukai sang Pangeran tapi dia sendiri begitu memujinya.
"Ezra, kamu tadi melarangnya ku menyukai Pangeran Mahkota. Tapi sekarang wajah mu bersemu merah hanya dengan memuji dia, tadi kamu bahkan seperti orang yang sedang kasmaran, tersenyum sendiri tidak jelas," cibirnya.
Ezra tersenyum malu -malu, siapapun tidak akan ada yang bisa menolak pesona dari sang Pangeran.
"Sudalah, semua orang juga akan menyukai pria tampan bukan? Sekarang lebih baik kita segera melapor pada kepala pelayan, atau dia akan mengarang cerita kalau kita sudah melakukan sebuah kesalahan."
Arsy mengangguk, memang benar apa yang dikatakan sahabatnya tersebut, wanita manapun juga akan tertarik dengan pria tampan. Kedua gadis pelayan itu tersenyum bersama-sama, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan agar tidak dihukum oleh selir Sekar Wangi.
Aula Kerajaan...
Jaya Negara, Raja Bintang Tenggara bersama Ratu Prameswari duduk bersama di atas singgasana. Di samping kanan, merupakan Selir utama yaitu Sekar Wangi.
Para pejabat berbaris rapi bersama para bangsawan di bawah tangga singgah sana, mereka semua menunggu kehadiran sang Pangeran Mahkota.
"Pangeran Mahkota tiba!!" Pengumuman biasa dikumandangkan ketika salah seorang anggota kerajaan datang.
Sejenak Zein Zulkarnain menghentikan langkah kaki ketika sampai di depan aula Istana, ia menghela nafas. Ternyata selama 5 tahun belum berubah, dia kembali melangkahkan kaki memasuki aula Istana Bintang Tenggara.
"Hormat kepada Yang Mulia Putra Mahkota." Serentak seluruh pejabat bahkan selir tingkat 7 ke bawah juga ikut memberikan hormat.
"Zein, Putraku. Akhirnya kamu kembali juga, apakah kau sudah merasa puas di luar sana?" Sambut Jaya Negara.
Zein mendudukkan diri di kursi yang telah disediakan, ia menatap seluruh orang yang hadir satu persatu, tenang dan tanpa ekspresi.
"Ayah, apakah tidak sebaiknya kalau gelar Putra Mahkota diberikan kepada Afzam saja?" Ia mengalihkan perhatiannya pada sang Ayah tanpa ada niat menjawab pertanyaan Raja Bintang Tenggara.
Sekar Wangi tersenyum senang sedangkan Afzam sangat terkejut hingga menyemburkan minuman yang di mulutnya.
"Kakak, kenapa Kakak bicara seperti itu? Aku merasa sangat tidak pantas menjadi seorang Pangeran Mahkota, aku tidak ahli dan berpengalaman dalam politik, pertempuran atau apapun." Tanpa sadar ia sudah berdiri menatap sang Pangeran Mahkota.
"Afzam, Ibu rasa apa yang dikatakan Kakak mu itu ada benarnya. Saudara pertamamu itu lebih suka hidup di luar Istana, dia sama sekali tidak peduli atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang urusan Kerajaan." Sekar Wangi melirik Zein Zulkarnain tak lupa dengan senyum merendahkan.
Sang Pangeran Mahkota tersenyum tipis, air mukanya tetap tenang hingga tidak ada orang mampu membaca pikirannya.
"Ucapan Ibunya selir memang benar, aku sangat tidak tahu tentang urusan kerajaan. Tapi ...aku ingin menanyakan sesuatu pada Ibu Selir..." Zein sedikit mengangkat kepala menatap lurus Selir Utama tersebut.
"Apakah Ibu tahu? Seorang Raja juga harus tahu bagaimana kondisi rakyat kecil di luar sana, menjaga mereka. Tapi ... Bagaimana calon Raja akan tahu secara langsung kondisi rakyat kecil? Mereka ketakutan, khawatir, kalau tidak datang sendiri. Hanya dengar dari orang? Jadi ... Apakah menurut Ibu Selir, aku hanya bermain-main saja?"
Sekar Wangi terdiam dengan kedua tangan mengepal di dalam lengan bajunya, ia menatap sang Pangeran kesal, terlihat ramah tapi sekali bicara langsung membuat orang terdiam tanpa bisa bicara lagi, yang paling menyebalkan adalah selalu datar saat bicara.
Mahesa menahan senyum melihat ekspresi kesal Sekar Wangi."Selir Sekar, lebih baik jangan mencoba menjatuhkan majikan ku di depan banyak orang, atau kau akan merasa malu sendiri," batinnya.
Jaya Negara dan Prameswari tersenyum bangga pada Putra pertama mereka, sekalipun jarang ada di istana tapi sangat peduli pada rakyat kecil.
"Pangeran Mahkota berlebihan, bukankah untuk mengetahui keadaan rakyat, kita hanya perlu bertanya pada para Menteri? Apa gunanya menunjuk seorang menteri kalau mereka tidak melakukan tugas dengan baik?" Balas Sekar Wangi mulai gusar.