Chapter 2 - 2. Us

Lyria menatap kearah langit yang kala itu kelabu berarair putih, udara singin menjalar ia rasakan ke ubun-ubun. Dia menengadahkan tangannya merasakan terpaan angin dari luar jendela, membiarkan rambut ikal coklatnya menari-nari. "Aku sudah tidak sabar saljunya akan segera turun. Kita bisa main perang salju seperti dulu..."

"Kau mau main salju? Seperti anak kecil saja. Dewasalah Lyria. Kau lima belas tahun" seorang lelaki yang agak pendek dengan rambut hitam cepat datang menasehatinya. Dia memiliki mata besar berwarna biru dan luka kecil di pipi kirinya.

"Sandy bodoh! Memangnya hanya anak kecil yang boleh bersenang-senang?!" Lyria menggembungkan pipinya kesal.

"Aku tidak bilang begitu kok" Sandy mengelak. Ia meninggalkannya dan berjalan ke sisi lain, sebuah meja besar dengan tumpukan patung aneh, bor listrik, dan cat timah "Seharusnya kau menciptakan hal baru yang bermanfaat sepertiku"

"Bermanfaat? Kau itu kan cuma penipu... Barang jelek apa coba yang kali ini kau buat?" Lyria bertolak pinggang, sekarang gantian ia menasihati Sandy.

"Aku bukan penipu. Ini namanya pemasaran kreatif. Barang jelek ini, akan sangat laku dijual kepada para pemuja Aolthes. Aku bekerjasama dengan seorang pengerat. Mahakaryaku ini akan dijual sebagai barang import berharga 150 seraph. Hanya sedikit sentuhan aku menambahkan logo asli Aolthes dan mereka akan percaya kalau barang-barang ini asli" Randy menjelaskan.

"Ahh... Kau akan menjual barang-barang ini pada para fanatik di kuil... Tapi sebodoh-bodohnya famatik arcadia, mereka tak akan mau membeli sampah" Reo datang, menginspeksi salah satu patung itu.

"Reo! Sudah kukatakan berkali-kali, kalo masuk itu lewat pintu depan" Lyria bertolak pinggang

"Aku masuk lewat pintu depan kok. Barusan" jawab Reo

"Bohong. Pintu ruangan ini kan dikunci dari dalam" Lyria kesal

Sandy mendadak emosi "Ahahaha! Maaf ya, sampah-sampahku ini masih bernilai lebih bagus dan lebih menguntungkan daripada seorang serangga yang dihargai cuma seratus ribu seraph. Harga macam apa itu? Kalau kepalaku dihargai semurah itu, pasti harga diriku sudah tercoreng karena malu" jawab Randy tersenyum jijik. Didepannya, Reo sudah gondok

"Oh tanganku kepeleset!!" tiba-tiba patung bunda Sandy yang ada ditangannya dibanting kencang dan hancur mental kesegala arah "Sialan! Apa yang kau lakukan?!"

Reo hendak memghancurkan patung-patung lainnya, tapi Sandy menahannya dari belakang, mereka saling dorong-dorong kepala seperti anak kecil.

"Teman-teman... Ayolah... Yang tadi bilang... Main boneka salju cuma buat anak kecil... Memalukan..." kata Lyria.

"Kalian kelihatan akur" kata seseorang dari belakang mereka. Masuk lewat jendela, seorang lelaki setinggi Reo dan berpostur tegap sepertinya. Ia memiliki rambut coklat keperakan dan mata keemasan dengan paras menawan.

"Rain... Bisakah kau... Dan Reo juga... berhenti keluar-masuk lewat jendela? Ini lantai empat lho!" Lyria menghela nafas kecewa pada lelaki berambut coklat tampan yang baru datang itu lalu melirik Reo juga.

"Kebiasan yang sudah jadi penyakit" celetuk Sandy. Rain tertawa.

Pemandangan yang sudah terbiasa dilihatnya sejak dulu, bahkan semenjak mereka masih ada di neraka yang bernama Belmare itu.

Sebagai anak-anak selokan yang mengais harapan dari rasa iba, mereka tumbuh belajar akan kekejian dunia dan ikut mengalir bersamanya.

Bersama mereka, keluarganya. Apapun yang Reo lakukan untuk melakukan pekerjaannya. Ia selalu bisa merasa seperti  pulang ke rumah.

Sudah setahun lebih mereka memutuskan  tinggal di kota Travold semenjak kepergian meninggalkan Kampung halaman mereka, Belmare. Melalui perjalanan yang brgitu jauh, tibalah mereka disana.

Sebuah tempat bernama kesatuan genesis, salah satu tempat yang mereka namai Nirvana, karena sebuah batas yang mereka namai etherial barrier, meskipun kemiskinan melanda kota itu, mereka bisa sedikit bernafas lega dari ancaman yang menjadi sumber masalah utama didunia yang mereka tinggali.

Sebuah ancaman yang secara tidak langsung mempengaruhi cara hidup yang keras. Dimana yang kuatlah yang berkuasa, dan yang lemah lah yang tertindas.

Lyria melirik pada Rain dan Reo, menggembungkan pipinya kesal. Bagaimana tidak, ia dan Sandy yang terus bergelut sibuk mengurusi Patung dagangannya sudah menunggu mereka sejak pagi. Mereka meninggalkan kota itu, tapi kabar mereka sejak.lagi pun tidak jelas.

"Kami menunggu kalian sejak tadi. Apalagi Rain... Sudah dua hari ini tidak ada kabar tentangmu. Besok pagi kita meninggalkan Travold" seru Lyria kesal

Rain tertawa "kita sudah mempersiapkan untuk hari besok. Mana mungkin aku kelupaan, aku pergi mencari beberapa informasi untuk perjalanan kita ke riveria tapi karena pekerjaan aku jadi pulang sedikit terlambat. Maaf"

"Karena pekerjaan lagi? Kau sungguh pekerja keras ya. Aku tau mencari pekerjaan dikota ini susah, tapi jika harus memilih untuk jadi artist atau pekerja kuli sepertimu, aku akan memilih jadi artist" komentar Sandy menyilang tangannya bangga.

"Con artist" ralat Reo.

"Kali ini rumah yang dibangun cukup besar. Di bagian selatan aveillard. Mau bagaimana lagi..." Rain tersenyum tidak terbebani.

Ia kemudian melihat kesekeliling kamar kecil itu, semua barang-barang teman-temannya sudah di pak rapi, dan tas tas besar. "Jadi bagaimana persiapannya?"

"Itu tasku dan Reo. Punya Lyria... Kau tak akan mempercayainya" kata Sandy sambil menunjuk-nunjuk jempolnya kearah dapur belakang.

Rain mengikuti arahannya dan melihat empat tumpuk tas ikat yang dari kelihatannya saja sudah mustahil untuk mereka bawa. "Eh, Lyria... Kita tak bisa bawa sebanyak itu..."

"Tapi semua ini kan barang-barang yang kita beli sedikit-sedikit dengan mengumpulkan uang selama setahun disini" kata Lyria kecewa

"Jangan cemas Lyria. Sebagai kakak besar kita, Rain akan membawa semuanya untukmu" kata Reo datang sambil menepuk bahu Rain. Rain sedikit menariknya kesakitan.

Reo pun curiga. Ia menggenggam lengannya dan menarik baju tangan Rain. Tangan yang dibalut perban. "Oi Reo!"

"Rain, apa yang terjadi? Kau terluka" Lyria cemas.

"Aku baik-baik saja. Ada sedikit kecelakaan waktu aku kerja kemarin" jawabnya tergesa-gesa menutup lengan bajunya lagi.

"Lihat? kau harusnya menjadi seniman" Cetus Sandy bergurau.

"Apa ini karena kecelakaan juga?" Tanya Reo menarik hoodie jaket Rain yang menampakan tiga luka gores seperti cakaran yang sudah kering. Rain menepak tangan Reo darinya.

"Katakan pada kami Rain, pekerjaan seperti apa yang kau jalani" Reo menatapnya tajam. "Aku tak mau mendengar omong kosong kalau sebenarnya selama ini kau menyembunyikan kebenaran dari kami kau--"

"Aku adalah guardian" Rain memotong kata-katanya tegas

Reo dan Sandy tak bergeming. Mereka kaget tentu saja, tapi tiba-tiba Sandy tertawa lalu merangkul dan memukul-mukul pundak Rain "Ahahah!! Itu lelucon yang lumayan lucu..."

"Kau bercanda?" Sentak Reo menunjukan wajah tidak setujunya. Ekspresinya bertolak belakang dengan Sandy. Ia lebih muram, dan ia tahu bahwa yang dikatakan Rain serius.

Senyuman di wajah Sandy pun menghilang sekejap ia melihat ekspresi wajah Reo "Hey Reo... Jangan terlalu serius. Rain hanya bercanda--"

"Aku tidak bercanda Sandy, aku ingin menjadi guardian. Itulah apa yang aku lakukan sekarang, bekerja bersama mereka, bertarung, melakukan apa yang bisa kulakukan... Semua itu bukanlah lelucon" lanjut Rain.

"Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kuketahui dan aku ingin kalian mengetahuinya juga, terutama kau Reo. Aku selalu kesulitan untuk mengatakannya pada kalian bertiga karena kalian pasti tak akan menerimanya. Ini juga ada hubungannya dengan pergi ke Riveria"

"Kita kan sudah hampir setahun dikota ini sejak kita tiba di Genesis. Kita punya satu tujuan tapi rasanya kita tak bergerak dari titik awal kita memulainya. Dan aku ingin merubah semua itu"

"Tidak di Belmare, tidak di Genesis... Mereka semuanya sama saja. Mereka hanya kumpulan bedebah gila honor. Orang-orang yang mengaku sebagai... Pelindung" Reo menunduk dengan tatapan penuh kebencian.

"Reo..." Lyria menatapnya cemas

"Setelah melihat seperti apa mereka semua, setelah semua yang mereka lakukan di Belmare. Bahkan disini, kau tahu apa? Guardian hanyalah pecundang. Masuk lewat pintu belakang kekantor mereka, selipkan uang di kantung mereka, dan mereka tak akan mencoba mencari jejak siapapun dan seburuk apapun perbuatanmu di Travold"

"Aku tidak bermaksud menyembunyikannya dari kalian. Tapi aku menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya" kata Rain,

"Menunggu saat yang tepat? Kau mengetahuinya betapa bencinya kami terhadap mereka serta semua perbuatan mereka selama ini. Dan kau masih ingin menjadi bagian dari mereka?"

"Kau juga mengetahuinya, Reo. Selama ini, menjadi guardian adalah harapanku dan tujuanku. Dan perlakuan satu atau beberapa guardian saja tidak akan mempengaruhi pandanganku bahwa masih ada guardian yang baik diluar sana! Pasti masih ada tempat dimana semua harapan itu ada! Itulah apa yang kau coba untuk yakinkan pada mereka, guardian Belmare!" Tegas Rain

"Bukankah dulu kau menjadi yang pertama untuk membenarkan bahwa guardian adalah pekerjaan yang mulia?" Lanjutnya. Reo hanya diam mengerutkan dahinya. Dia tak bisa menyanggahnya, apa yang baru ia katakan adalah benar.

"Apa yang terjadi pada Aina adalah hal yang buruk. Tapi hanya karena ulah beberapa guardian, kau tak bisa langsung memutuskan bahwa semua dari mereka adalah sama, dan kau mengetahui itu dengan baik, bahkan lebih baik dari aku. Kau yang sekarang ini..." Rain menelan ludah melanjutkan kalimatnya

"Kau hanya masih merasa bersalah... Kau menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi pada Aina bukan?"

"Ini tak ada hubungannya dengan dia!" Reo menegaskan suaranya.

" Ketika kita disi meributkan tentang guardian. Di Belmare, setiap orang mati tiap harinya ditangan guardian. Kita disini karena kita punya tujuan yang sama, untuk keluarga kita di Belmare. Mendapatkan tujuh puluh juta seraph, lalu... Kita bisa menebus keluarga kita kembali, dari tangan para bedebah sialan itu. Dan akan kulakukan... Apapun caranya"

"Aku tak peduli kau akan menjadi guardian atau apa. Lakukan apapun yang kau suka. Aku tetap akan melakukan hal yang kulakukan. Jika jadi guardian adalah tujuanmu ke riveria, pergilah! Aku akan tinggal!" Serunya lantang. "Sekarang aku permisi, ada sampah yang harus kujual!"

"Sampai jumpa!" kata Reo pergi begitu saja meninggalkan mereka, turun lewat tralis jendela.