-Ini adalah dunia dimana setiap orang bisa memancarkan emosi mereka lewat warna-warna aura.
Contohnya seperti aura yang berwarna peach untuk emosi yang bernama "Cinta". Tentu warna emosi semua orang artinya tak selalu sama, kecuali untuk emosi "Cinta" tadi.
Dan ini adalah kisah tentang Nixie, yang perjuangan mengendalikan emosinya selama 2 tahun hancur hanya karena Aiden tak sengaja terinjak tali sepatunya sendiri dan terjatuh kearah Nixie yang berada 100 cm didepannya.-
100 CM
Pagi ini adalah pagi yang bisa disebut tak biasa oleh Nixie. Setelah tadi pagi cangkir susu panasnya retak, kini ia secara tak sengaja menumpahkan kopi kalengan yang baru saja ia buka. Nixie mengernyit serius memandangi tumpahan kopi dilantai bawahnya sebelum akhirnya ia beranjak mengambil pel di ruang kebersihan.
Nixie melamun memikirkan kesialan apa yang akan datang sehingga dengan tak sadarnya ternyata ia sudah membersihkan tumpahan kopi tadi.
'Kapan aku berjalang keruang kebersihan dan sampai disini lagi?'
Nixie menghela nafas setelah ia mengembalikan pel. Ia berjalan menuju kelas sembari menghabiskan kopi yang tersisa setengah. Ia masih memikirkan kesialan apa yang akan menghampirinya sampai suara seseorang yang familiar menyapa gendang telinganya.
"Suram amat, Si."
Biar kuperkenalkan kepada kalian. Itu adalah Aiden, teman sekelasnya, dan satu-satunya siswa dikelasnya yang selalu menampakkan aura berwarna putih, tak ada emosi yang terpancar.
Ah, itu bukan karena kelainan genetik atau apa, tapi itu berkat pengendalian diri yang bisa dikatakan sangat hebat. Disekolah, mereka juga mempelajari pengendalian emosi, dan Aiden selalu mendapat nilai sempurna di mata pelajaran itu. Itu jugalah yang menjadikannya dijuluki dengan sebutan 'dingin'.
Di dunia ini, mereka yang dijuluki 'dingin' bukanlah mereka yang irit bicara atau bersikap tak peduli terhadap sekitar, tetapi mereka yang selalu memancarkan aura putih setiap saat.
Nah, sekarang mari kita kembali kepada Nixie, yang sekali lagi menghela nafas merespon pernyataan Aiden.
"Kelihatan banget, ya?" ia mencoba melihat pantulan auranya dengan menghadap jendela kelas.
"Abu-abu suram." Kata Aiden memberitahu Nixie yang masih mencoba melihat auranya di pantulan kaca jendela.
"Cangkirku tadi pagi retak, dan barusan kopi kalenganku tumpah." Nixie memberitahu pertanda buruk yang dialaminya sembari berjalan memasuki kelas. Dan ia langsung mendengar suara teman sekelasnya menyahuti kedatangannya yang disertai aura abu-abu suram.
Nixie hanya menyengir menanggapi pertanyaan teman-temannya dan langsung berjalan menuju tempat duduknya yang berada di barisan keempat bangku ketiga dari pintu. Aiden mengikutinya dan berhenti dibarisan kedua bangku kedua dari pintu masuk. Ia meletakkan tasnya dan segera menyusul Nixie yang telah duduk dibangkunya.
"Kamu bawa tugas lukisan hari ini?" Aiden menarik kursi dan duduk didepan Nixie. Kemudian mulai mengutak-atik handphone-nya.
"Ahh... mungkin itu pertanda buruknya." Nixie menyahut datar selagi ia merasa bahwa itu bukanlah kesialan yang akan dia terima. Yang jelas, ia merasa ia akan menerima sebuah kesialan yang lebih buruk dari ketinggalan tugas di pelajaran pertama hari ini.
"Nada bicaramu bilang kalau itu bukanlah pertanda buruknya."
Nixie kembali menghela nafas lagi lalu mencoba mengendalikan aura suram yang sedari tadi terus menguar dari arah belakangnya.
"Sudah mendingan?" tanyanya kepada Aiden.
"Setidaknya sudah tak sesuram tadi, waktu kita ketemu didepan pintu." Aiden lalu menyerahkan handphone-nya kepada Nixie, yang disambut Nixie dengan ekspresi terkejut. Dan auranya yang berubah menjadi kuning cerah.
"Minta, boleh?"
"Beli sendiri sana!"
Di layar handphone Aiden terpampang sepasang anak kelinci menggemaskan yang masing-masing berwarna putih-belang coklat dan coklat-belang putih.
"Tania minta aku liatin ke kamu, katanya mau pamer." Omong-omong, Tania adalah adik Aiden yang sekelas dengan Kalya, adik sepupu Nixie.
Nixie mengembalikan handphone Aiden kemudian langsung menyentakkan kepalanya kaget kearah pintu ketika terdengar lengkingan nyaring dari Cecilia, yang memanggil namanya dengan riang.
"Nixiiiiiiieeeeeeeeeee!!!!!"
Aiden menyingkir kembali ketempat duduknya sementara Cecilia langsung duduk dengan heboh di kursi yang Aiden duduki sebelumnya. Tampak aura peach yang menyelimuti dirinya kini.
"Jadi kemarin, pas ban sepedaku kempes didepan taman, tiba-tiba aja Farren datang terus dia nawarin aku untuk naik sepedanya dulu." Walaupun Cecilia bercerita dengan suara yang hanya bisa didengar Nixie, tetapi semua orang didalam kelas bisa menebak bahwa ia sedang jatuh cinta.
"Beneran?"
"Iya. Hampir aja aku ga bisa ngendaliin diri waktu dibonceng sama dia." Cecilia menangkupkan telapak tangannya ke pipi yang terlihat sedikit merona. Dan aura peach masih menguar dari dirinya.
"Terus.. terus.. gimana dengan aura Farren?" Nixie ikut bersemangat mendengarkan curhatan sahabatnya.
"Awal waktu dia liat aku sih kuning lembut, tapi lama kelamaan waktu kami jalan, auranya kembali jadi putih lagi."
"Kamu yakin auramu yang keluar waktu itu bukan peach?"
"Bukan kok. Soalnya waktu itu Farren tanya 'kenapa kamu, Ce? Kesal?' gitu katanya. Dan waktu aku ngaca di handphone ku pun warnanya tetap merah kelam. Walaupun aku ngeluarin aura peach waktu itu pasti bakalan keliatan dari reaksinya Farren." Cecilia menjelaskan panjang lebar tentang aura yang ia keluarkan saat bersama Farren sepulang sekolah kemarin.
"Terus, gimana dengan sepedamu? "
"Sepedaku dirantai sama Farren dipagar taman, terus tadi pagi udah diambil sama ayahku."
"Farren ngantar kamu sampai rumah?"
"Iya, kebetulan waktu itu ibuku lagi duduk diteras. Jadi dia disuruh mampir dulu kemarin." Pipi Cecilia makin merona waktu mengingat Farren yang sempat mampir bahkan berbincang dengan ibunya kemarin.
"Terus—" perkataan Nixie diputuskan oleh bel masuk yang berbunyi nyaring. Membuat beberapa murid kembali ke tempat duduk masing-masing, termasuk Cecilia yang beranjak dengan muka tak rela.
"Nanti kita sambung lagi, Oke!" ucap Cecilia dengan mengedipkan sebelah matanya dan terburu-buru kembali ke tempat duduknya. Perlahan aura peach yang menyelubungi Cecilia terganti dengan aura putih netral. Bersamaan dengan aura seluruh murid didalam ruangan yang juga berubah ke warna putih netral.
Walaupun ini bukan sebuah peraturan tertulis, tapi ketika pelajaran dimulai para murid wajib menetralkan auranya dan menekan emosi yang mereka rasakan agar tak mengganggu konsentrasi guru yang akan mengajar, walaupun ada beberapa yang kadang tak berhasil.
Lima menit kemudian guru mata pelajaran masuk, menandakan dimulainya proses belajar-mengajar.
---°°---
"Kepada siswi yang bernama Nixie Clairine dimohon untuk segera menghadap guru seni."
Begitu bel pergantian pelajaran berbunyi, pengumuman yang ditujukan kepada Nixie menggema di kelas 12-5. Membuat semua siswa dikelas senyap menatap Nixie yang lagi-lagi mengeluarkan aura abu-abu suram.
Stefan yang duduk dibelakang Nixie menyemangatinya sedangkan Elaine yang duduk disamping kanannya menepuk pundak simpati. Aura mereka menguar dalam berbagai warna lembut yang kurasa bisa diartikan sebagai "Semangat, Nixie!".
Setelah membereskan mejanya, Nixie beranjak menuju kantor dengan mengatakan "Reyhan, aku izin keluar sebentar." Kepada sang Ketua Kelas, Reyhan.
Cecilia meneriakkan "Cepat kembali ya!" sesaat sebelum tubuh Nixie menghilang dibalik pintu kelas.
Setelah Nixie keluar, keadaan kelas mulai menjadi ribut dikarenakan guru matematika mereka tidak masuk, dan digantikan dengan sesi belajar mandiri. Beberapa murid mulai membentuk kelompok tersendiri.
Agatha, Elaine dan Katherine mulai berkumpul dimeja Karl untuk ikut membahas materi matematika yang belum mereka kuasai.
Stefan, Reyhan, Bryant dan Luka berpindah kesudut kelas untuk bermain game.
Cecilia, Almira, Delphi dan Hanna merapat ke meja Akira yang mulai membuka Laptop untuk menonton film. Anya menetap ditempat duduknya membuka buku matematika.
Dan Aiden menyelesaikan laporan lukisannya yang diberi perpanjangan waktu sampai bel istirahat berbunyi.
Sudah sepuluh menit berlalu semenjak Nixie keluar, dan Cecilia mulai menunjukkan aura kuning gelap yang masih tercampur dengan pink lembutnya.
"Ce, kenapa?" tanya Agatha sebelum kembali fokus pada Laptop, sedangkan Akira malah bertanya penasaran tentang aura kuning gelap.
"Udah berapa tahun sih kita sekelas, kok kamu belum hapal-hapal juga aura teman sekelas? Dasar pelupa." Cibir Delphi sambil mencomot keripik kentang yang dipegang oleh Almira.
Akira yang tak terima dicibir balik menjawab. "Baru mau masuk tahun kedua, kan wajar kalo belum bisa ingat. Memangnya kamu ingat semua arti aura teman yang lainnya? Enggak kan?"
"Udah-udah.. itu artinya Cecil lagi gelisah atau cemas, iya kan Ce?" lalu Hanna menoleh kepada Cecilia yang menganggukkan kepala ikut membenarkan.
"Kamu cemas sama Nixie?" tanya Almira yang kini sudah kehabisan keripik kentang. Sementara Akira mem-pause film di Laptopnya.
"Padahal aku mau cerita banyak sama dia, ehh.. dianya malah dipanggil sama Pak William."
"Lahh.. jadi kamu bukan cemas karena dia dipanggil Pak Will?!" aura hijau tosca menguar dari Delphi yang sedang memelototi Cecilia.
"Yaa.. aku juga cemas.. tapi kan.." aura biru kusam menguar dari Cecilia menggantikan aura pink lembut tadi.
Sementara Aiden yang masih fokus menulis laporan mulai terganggu dengan berbagai macam aura yang dikeluarkan para cewek yang berkumpul di bangku Akira yang berada disamping kanan Aiden. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ketempat duduk Reyhan yang jauh dari tempat duduk Akira.
Sebelum itu, Aiden menuju Karl yang duduk didepan Akira, yang sedang mengajari Agatha.
"Karl. Coba liat bentar." Aiden menyodorkan laporan lukisannya yang sudah separuh rampung menindih buku soal Agatha yang lagi diperiksa Karl. Aura ungu gelap mulai menguar dari Agatha yang duduk didepan Karl bersama suara protesan yang terdengar di telinga Aiden.
"Hmm... bagian disini masih kurang jelas, lalu disini juga pengertiannya masih susah dipahami, dan rapiin lagi tulisan kamu." Sambil menjelaskan Karl menunjuk bagian-bagian mana saja yang harus diperbaiki lagi oleh Aiden.
Aiden mengangguk paham kemudian berterima kasih kepada Karl dan kembali berjalan menuju tempat duduk Reyhan. Ia mulai fokus menulis laporan seni.
Sementara dikantor sembari berusaha keras agar aura yang dikeluarkannya tetap putih netral, Nixie yang sedang diceramahi guru seni berfikir,
'Kesialan macam apa sih yang bakal datang? Bukan yang ini kan?'
---°°---
Kriinngggg.....
Aura biru langit menguar dari Elaine yang sedang meregangkan tubuhnya "Akhirnya istirahat jugaaa...."
Akira yang sedang membereskan mejanya melihat handphone yang tergeletak diatas mejanya bergetar, tanda pesan masuk. Setelah memasukkan Laptopnya kedalam tas, ia segera mengecek pesan masuk tadi. Dan aura cream menguar dari Akira.
"Elaine. Paduan Suara disuruh kumpul." Akira memberitahu pada Elaine yang sedang membereskan bukunya dimeja Karl dengan nada malas.
Dan Akira mengerjap.
Memastikan bahwa aura yang dilihatnya barusan dari Elaine bukanlah aura peach terkutuk itu.
Akira mengerjap lagi.
Oh, ternyata itu adalah aura berwarna merah muda.
Apa luka yang kemarin masih sakit?
"Ra!" Seseorang menepuk jidat Akira seenaknya.
"Heh! Gak sopan!" Akira menepis tangan Elaine yang sebelumnya mampir dijidat Akira.
Ohh, ternyata tadi dia melamun.
"Ayo. Katanya disuruh kumpul kan?" Elaine beranjak kebelakang dan mendorong punggung Akira menuju pintu kelas.
"Hmm.. ayo." Dan mereka berdua pun keluar dari kelas, menuju ruang Paduan Suara.
Sementara Aiden yang sudah menyelesaikan laporannya meminta Karl untuk memeriksa laporannya sekali lagi. Setelah dirasa Karl tak ada masalah, Aiden segera membereskan mejanya dan bergegas untuk menyerahkan laporan lukisan itu ke guru seni.
"Aiden! Ikut ke kantin gak?" seruan Stefan yang masih berada dipojok kelas menghentikan langkah Aiden yang baru sampai didepan meja guru. Ia menoleh dan kembali lagi ketempat duduknya, membuka tas dan mencari sesuatu.
"Duluan aja. Nanti aku nyusul."
Aiden mengantungi uang yang dia ambil tadi dan berjalan terburu-buru keluar kelas.
Delphi yang baru membuka bekalnya melihat kejanggalan dibagian bawah Aiden.
"Ai, tali sepatu kamu lepas tuh—ahh Nixie!! Gimana dikantor tadi?" Delphi langsung menyapa Nixie yang berada diambang pintu dengan aura abu-abu suram, lagi.
Sementara Aiden menyahuti perkataan Delphi tadi sambil menoleh kearah Delphi, "Ahh.. ga papa kok. Biar— "
Ehh?
Aiden merasa kakinya tersangkut sesuatu.
Kemudian ia yang tak bisa menyeimbangkan tubuhnya membelalak melihat Nixie yang berada tak jauh dihadapannya.
Hanya sepersekian detik saja, bahkan kedua makhluk hidup beda gender ini belum sempat merasa terkejut.
Bruughh..
Delphi menarik nafas terkesiap.
Sosis yang baru setengah jalan menuju mulutnya jatuh kembali ke kotak bekal.
Laporan lukisan melayang begitu saja.
Nixie meringis, merasakan pinggang dan panggulnya berdenyut nyeri.
Aiden mendesis lirih, merasakan lutut dan punggung tangan serta sikunya perih.
Seluruh murid dikelas terkejut.
Jika diceritakan secara mendetail, setelah bunyi Bruughh.. tadi, Aiden jatuh menimpa Nixie yang berada tepat didepannya. Sesaat sebelum kepala Nixie menyentuh lantai, entah bagaimana tapi Aiden secara refleks merengkuh kepala bagian belakang Nixie dengan punggung tangannya.
Dan bisa kalian bayangkan sendiri bagaimana posisi mereka berdua sekarang.
Suasana kelas terasa sunyi, belum ada yang membuat pergerakan, masih terkejut dengan kenyataan yang terlihat didepan mereka.
Aura merah kusam mulai menyebar dari Nixie, bersamaan dengan rasa nyeri yang mulai melanda. Dan kini Aiden lebih dulu sadar dengan keadaan mereka yang dipenuhi ambiguitas ini.
12 siswa masih terkejut. Lebih terkejut lagi melihat Aiden yang syok.
Aiden syok.
Kedua belas siswa lainnya pun syok.
Tapi alasan syok mereka berbeda, kok.
Jika Aiden syok melihat wajah Nixie yang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya, maka kedua belas siswa ini lebih syok lagi.
Mereka melihat aura peach pekat yang menguar dari Aiden.
Iya, kalian tidak salah baca kok.
Aiden
Mengeluarkan
Aura
Peach.
Nixie merasakan beban dari atas tubuhnya dan membuka matanya.
Ia mengerjap sekali.
"A-Ai.."
Ia kembali mengerjap lagi. Kali ini berkali-kali.
"E-eh.. Nixie. Kamu ga apa-apa? Ada yang sakit?" Aiden tersadar sekali lagi dan melihat Nixie yang berada dibawahnya.
"A-a-a-anu..." dan Aiden terkesiap melihat aura yang menguar dari Nixie dengan cepat menggantikan aura merah kusam tadi.
Aura peach.
Dan sama pekatnya dengan aura yang belum disadari Aiden sekarang.
Aiden membelalak. Mengambil kertas laporannya yang sedari tadi tergeletak dan berdiri cepat—hampir tersandung tali sepatunya lagi. Lalu memandangi teman sekelasnya yang masih membeku terkejut.
Dan melihat ke kaca pintu yang berada didepannya, memantulkan bayangan dirinya yang masih diselimuti aura peach pekat.
'Mam-mampus!'
Ia melihat kearah Nixie yang telah beranjak duduk dibawahnya. Terlihat sekilas bahwa pipi Nixie merona.
Aiden merasakan wajahnya memanas.
Lalu terburu-buru keluar kelas.
---End---
'Jadi tanda-tanda tadi pagi itu untuk ini ya... Ehhh... Ini sial atau berkah?'
- Nixie yang masih duduk manis didepan pintu setelah 5 menit kepergian Aiden. Sementara teman-temannya telah rusuh akibat kejadian tadi.