Duduk di ayunan taman belakang, Faeyza terus memperhatikan paras rupawan Suaminya. Pria itu fokus menerjemahkan buku berbahasa Inggris yang diberikan dosen padanya, tiupan angin membelai surai hitamnya, sedikit bergoyang saat belaian lembut itu menyapa.
" Mas, bukankah mas bilang kalau malam ini kita akan kerumah Nenek?"
Zein mengangguk, ia mendongak menatap wajah cantik itu." Iya, sekalian nanti setelah pulang dari rumah Nenek, mas akan bawa Iza ke rumah kita. Iza mau kan tinggal berdua sama mas di rumah yang mas beli?"
" Tentu saja, mas. Aku sudah menikah dengan mas, kemana pun mas bawa aku, aku juga tidak akan menolak," balas Faeyza antusias. Ia bahkan bangkit dari tempat duduknya lalu berpindah di depan sang Suami, matanya memperhatikan hasil kerja Suaminya. Bibirnya tersenyum melihat tulisan rapi sudah berubah menjadi berbahasa Indonesia, tapi sepertinya belum dirangkum.
" Tulisan mas Zein bagus ya, apakah mas biasa menggunakan tangan saat menulis?" Tanyanya penasaran.
" Kalau tidak menggunakan tangan, lalu menggunakan apa, Sayang?as hanya menerjemahkan saja. Besok Iza tidak usah ke kantor, Iza kerjakan saja ini, bukankah siang harus segera diserahkan pada dosennya?" Balas Zein.
Faeyza mengangguk, pantas saja pria satu itu banyak rebutan. Kalau di luar ada CEO dingin dan arogan, pria itu justru sangat lembut meski memiliki kemewahan yang sangat besar.
" Iza," panggil Zein.
" Iya, mas," jawab Faeyza sedikit tersentak karena sedari tadi melamunkan sang Suami.
" Sebenarnya kenapa tidak diketik saja? Bukankah lebih enak, selain itu jika sudah diketik bisa kamu cetak untuk keperluan mu belajar," tanya Zein sambil terus menerjemahkan.
Faeyza baru menyadari apa yang dikatakan Suaminya itu benar, kenapa dirinya malah meminta untuk ditulis tangan. Buku setebal itu pasti akan membuat tangan pegal kalau terus menulis." Mas benar, kenapa aku tidak kepikiran ya?"
Zein menghentikan kegiatannya menulis, ia tersenyum menoleh pada sang Istri. Gadis itu sangat lucu saat hal semacam itu bahkan baru disadari, tangannya bahkan sudah pegal setelah menulis lebih dari 10 lembar kertas polio bergaris.
" Jadi ... Apakah Iza ingin menyalin tulisan ini ke dalam laptop?" Tanyanya sabar.
" Mau si, mas. Tapi aku belum pernah pegang laptop, jadi bagaimana kalau nanti lama?" Jawab Faeyza dengan senyum aneh.
Antara ingin menangis dan tertawa, tahun 2022 masih ada seorang mahasiswi yang belum pernah pegang laptop, ini apakah memang gaptek atau tidak bisa?
" Tidak apa, Iza belajar saja pelan-pelan. Mas ambilkan Iza laptop dulu, sekalian meregangkan otot tangan mas yang kaku karena terlalu banyak menulis."
Faeyza sangat tidak enak hati pada Suaminya, pria sangat baik tapi malah harus mendapatkan seorang gadis sepertinya."Mas, maafkan aku ya. Padahal pekerjaan mas sendiri masih banyak, tapi aku malah membuat mas capek terlebih dahulu," sesalnya.
" Tidak apa, sudah menjadi tugas mas untuk bantuin Iza. Kamu tunggu di sini, mas ambilkan di ruang kerja mas." Zein bangkit dari tempat duduknya lalu pergi meninggalkan sang Istri sendiri di taman belakang.
Dalam kamar Tanvir sangat bosan, dia hampir menyelesaikan pekerjaannya lalu mengerjakan tugas dari dosen tapi harus membuat terjemahannya dulu. Sebenarnya tanpa terjemah pun dia mampu, tapi apalah daya sudah tugasnya seperti itu." Aku yakin Faeyza pasti sangat kesulitan mengerjakan tugas dari bu Siska, dia itu tidak bisa bahasa Inggris. Lebih aku pergi menemuinya dan mengajaknya mengerjakan tugas bersama, semoga saja Kak Zein tidak bisa bantuin. Kalau Faeyza minta tolong pada Kak Zein, artinya gagal rencanaku.
" Sudalah, lebih baik aku temui Faeyza dulu. Siapa tahu aku bisa mendapatkan hatinya." Pria itu keluar dari kamar lalu pergi mencari Kakak iparnya tersebut.
Ketika melewati ruang kerja Kakaknya, dia melihat sang Kakak memegang laptop, entah untuk apa dan terlihat masih baru." Kak Zein," tegurnya.
Zein menutup pintu ruang kerjanya, kemudian mengalihkan perhatiannya pada sang Adik." Kamu mau kemana Tanvir?"
" Mencari Faeyza, aku akan mengerjakan tugas kampus dengannya. Bu Siska hanya meminjamkan satu buku, jadi kita harus mengerjakan bersama," jelas Tanvir.
" Tidak perlu, aku sudah memesankan buku yang serupa sengan buku itu. Buku yang sama, isinya juga sama penerbitannya juga sama. Tanvir, bukankah Kakak sudah tegaskan padamu, kamu tidak perlu lagi mengganggu Istri Kakak. Kalian sering ribut, kalau Ibu tahu, Faeyza akan terkena masalah. Lebih baik kamu tunggu sebentar lagi, Kakak pergi dulu," larang Zein tegas. Setelah itu ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan sang Adik.
Tanvir mengerutkan kening, tidak biasanya saudaranya itu seperti itu." Kak Zein berubah, pasti karena tadi Ibu menegur Faeyza. Ibu memang selalu membela ku, tapi kalau aku dekat wanita dan Ibu terus membelaku, mungkin selamanya aku tidak akan mendapatkan jodoh."
***
Faeyza tersenyum ketika melihat Suaminya datang, ia menggeser posisi duduknya untuk memberi ruang pada sang Suami.
" Iza, ini laptop baru. Kamu pakai saja, semua sudah lengkap." Zein menyerahkan laptop.
Gadis itu tidak langsung mengambil, ia memperhatikan benda tersebut. Terlihat mahal bukan seperti laptop dengan harga 3-10 juta." Mas, ini laptop mahal ya? Kalau rusak bagaimana?" Takut kalau suruh ganti malah nggak bisa.
" Tidak masalah, mas akan belikan yang baru. Kamu salin dulu terjemahan mas itu dalam laptop, nanti mas terjemakan lagi," balas Zein.
" Aku jadi tidak enak hati sama mas Zein, aku belum memberikan apapun tapi mas Zein sudah berikan aku laptop." Faeyza mulai membuka laptop silver tersebut.
Zein tersenyum kecil, kemudian mengeluarkan kartu kredit warna hitam miliknya." Ini buat kamu, mas akan transfer setiap bulan uang belanja untukmu. Termasuk uang keperluan pribadi mu."
Faeyza menoleh, kartu itu mirip kartu yang ada di dalam komik." Mas, ini isinya lebih dari 10 juta kan?" Tangannya gemetar hanya dengan memegang kartu sakti tersebut.
" Anggap saja begitu, itu Iza pakai saja," balas Zein tidak ingin menyebutkan isi dalam kartu bank miliknya tersebut.
" Kalau ini aku pakai, mas pakai mana?" Tanya Faeyza bingung.
" Mas masih punya banyak seperti itu, sudah, Iza tidak perlu khawatirkan mas. Yang terpenting, Iza tidak berbuat sesuatu yang melanggar norma agama dan negara, Iza bisa pakai sesuka hati. Tapi juga tidak boleg boros, karena Allah tidak suka hambanya yang boros," jawab Zein.
"Ya, Mas." Faeyza tersenyum sendiri, 10 juta dalam sebulan. Dia tidak tahu saja kalau isi kartu itu lebih dari 1 miliar tapi dasar pria itu tidak suka menggumbar kekayaan.
"Mas, kalau misal aku buat traktir teman ku yang tidak punya uang saku. Mas izinkan tidak?" Tanyanya penasaran.
" Kamu nraktirnya di mana? Kakau di warung bakso yang sederhana itu, kartu itu seperti tidak berfungsi. Karena mereka tidak menyediakan alat tukar dengan kartu kredit, kamu harus bayar dalam bentuk tunai. Apa lagi kamu hanya menghabiskan 10 sampai 20 ribu," balas Zein, mengingat dirinya pernah diajak Tanvir ke warung bakso.
" Ahhh, kalau begitu aku mau uang tunai saja," kata Faeyza tidak lagi tertarik dengan kartu itu. Padahal kartu itu bisa digesek untuk mengambil uang, tapi malah tidak mau.
" Jadi, Iza mau mas kasih uang tunai saja? Iza butuh berapa?" Jawab Zein.
" Mas kasih aku harian saja, ibu sering dikasih uang harian oleh Ayah. Ayah biasanya memberi kisaran 40 sampai 60 ribu," balas Faeyza mengingat kembali tetang kedua orang tuanya.
Zein terkikik kecil." Baiklah, jadi Iza ingin uang tunai kisaran 2 sampai dua setengah juta dalam satu bulan? Bentar mas ambilkan." Ia mengambil dompetnya lalu mengeluarkan uang sejumlah itu dan diberikan pada sang Istri.
" Ini, Iza senang tidak?" Tanya Zein lembut.
Faeyza mengangguk senang, kemudian mengembalikan kartu kredit hitam itu pada sang Suami." Iya, mas. Aku senang, aku belum pernah memegang uang sebanyak ini," katanya girang.
" Hhhh, Iza simpan saja kartu itu. Tapi tidak boleh hilang, siapa tahu Iza membutuhkan saat berbelanja di mall atau makan di restoran," tolak Zein halus, barang yang sudah diberi mana mungkin diambil kembali.
" Baiklah, terimakasih, Mas." Faeyza sangat senang, terlalu senang sampai dia memeluk suaminya dan menciumi pipi putihnya. Tidak jauh dari mereka Tanvir memandang cemburu, gadis itu sangat bahagia bersama saudaranya. Padahal pria itu tidak sehat, mungkin saja tidak akan mampu bertahan lama dengan penyakit yang dideritanya.
" Sama-sama, Istri ku." Zein merangkul bahu gadis itu membuat sang gadis memerah sendiri.