"Kriiinggg! Krrriiingg!"
Bel istirahat berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas, tentu itu juga yang dilakukan oleh Azga dan sahabatnya yang bernama Nathan.
"Jadi maksudmu dia dapat melihat masa depan?" tanya Nathan kepada Azga, saat mendengar apa yang baru saja diceritakan oleh pria bermata biru itu beberapa menit lalu.
"Ya, begitulah, apa kau tidak percaya dengan yang aku katakan?" ucap Azga, ketika dirinya menyadari tatapan bingung Nathan.
"Menurutmu? Siapa yang akan percaya jika mendengar cerita konyolmu ini?"
"Tentu saja kau," jawab Azga, kemudian meminum jus jeruk yang ada di hadapannya.
"Hanya karena aku percaya kau dapat mendengar roh, bukan berarti kali ini aku bisa percaya dengan mudah, bahwa gadis yang bernama Tanya itu dapat melihat masa depan," ujar Nathan dan mulai memasukkan beberapa biskuit ke mulutnya.
"Fanya, namanya Fanya bukan Tanya. Haaahh... Kau memang tidak pernah mau mendengarkanku, sedari tadi kerjaanmu hanya makan," ucap Azga kesal.
"Sudahlah, jangan terlalu difikirkan."
Perkataan Nathan berhasil membuat Azga diam, dia berpikir ada benarnya apa yang dikatakan sahabatnya itu. Tidak seharusnya dia terus membicarakan tentang gadis bernama Fanya yang ditemuinya beberapa hari lalu tersebut.
"Apa kau tau? Semalam jasad dari gadis yang hilang minggu lalu sudah ditemukan," ucap Nathan dengan suara sedikit berbisik.
"Aku tidak tau, bukankah gadis itu pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan?"
"Ya memang benar."
"Lalu, bagaimana polisi bisa tau bahwa gadis itu hilang?"
"Keluarga korban menghubungi polisi."
"Keluarga korban? Tapi, bagaimana mereka tau bahwa gadis itu hilang? Sedangkan keluarga korban sendiri tau bahwa gadis itu pergi untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri," ucap Azga dengan wajah serius.
"Menurut berita yang disiarkan semalam, pihak keluarga mengaku mendapat panggilan dari teman korban. Dia mengatakan bahwa korban tidak tiba di sana saat dirinya menunggu di bandara."
"Itu artinya dia hilang sebelum ke luar negeri?"
"Ya, bisa dikatakan begitu. Tidakkah menurutmu ini sedikit ganjil, Az?"
Pertanyaan Nathan tentu saja membuat Azga semakin berpikir keras. Semua yang dijelaskan oleh pria yang duduk di hadapannya itu, memang terasa ada keganjilan yang tengah terjadi belakangan ini di lingkungan tempat tinggalnya.
"Apa pelakunya sudah tertangkap?" Tanya Azga semakin penasaran.
"Belum Az, lebih parahnya lagi jasad korban dibelah beberapa bagian. Bukankah sudah jelas bahwa pelakunya seorang sikopat," ucap Nathan bergidik ngeri.
"Bukankah ini sudah pernah terjadi sekitar sebulan yang lalu?" Azga memastikan pemikirannya untuk kesekian kali.
"Iya, memang benar. Tapi ada yang beda Az."
"Apa itu?" tanya Azga penasaran.
"Pelaku dari kasus sebulan lalu, sudah ditangkap. Tidak mungkin pelaku yang kali ini adalah orang yang sama, bukankah itu yang ingin kau pastikan?"
"Ha... Kau benar, pelaku bulan lalu sudah ditangkap. Aku sempat berpikir bahwa pelakunya adalah orang yang sama."
"Krriiiinggg! Krriiiinggg!"
"Sudah masuk, sebaiknya kita segera ke kelas jika tidak mau dihukum seperti minggu lalu," ujar Nathan dengan sedikit tertawa.
Azga hanya tertawa geli saat mengingat bahwa mereka sangatlah sering menerima hukuman. Sejurus kemudian, kedua remaja tersebut langsung bangkit dari duduknya dan pergi menjauh dari kantin.
"Bantu... Aku..."
Azga menggosok telinganya pelan saat di dalam kelas, mengapa tidak? Suara roh terus saja berdengung di indra pendengarannya. Bahkan pemuda bermata biru itu menjadi sulit untuk menyimak pelajaran yang sedang berlangsung.
"Bantu..."
Suara itu kembali terdengar, Azga dibuat frustasi olehnya. Pemuda itu pun terus menggosok telinganya, berharap suara roh itu akan hilang dengan sendirinya.
"Bantu aku!"
"Diam!" Azga kesal dan berteriak, tentu saja tingkahnya membuat guru dan semua murid menatap bingung ke arahnya.
"Azga Winanta!" bentak seorang guru kepada pemuda bermata biru tersebut.
"Maafkan saya pak," ucap Azga dan membungkukkan tubuh tingginya.
Nathan yang duduk berjauhan dengan Azga hanya menggeleng pelan, dia tau benar apa yang membuat sahabatnya berperilaku seperti itu.
***
"Seharusnya kau jangan sampai seperti itu saat di kelas," ucap Nathan kepada Azga saat di perjalanan pulang menuju halte.
"Aku kesal, dia sangat berisik dan menganggu," jawab Azga, pemuda itu pun mulai menyumpal telinganya denganĀ headset.
"Apa dia masih mengikuti?" tanya Nathan penasaran.
"Ya, tapi tenang saja biasanya tidak akan sampai ke rumah," jawab Azga.
Kedua pemuda itu berjalan beriringan menuju halte bis, sesampainya di sana Azga melihat sosok yang tidak asing. Tentu saja siapa lagi jika bukan Fanya. Dengan secepat kilat pemuda bermata biru itu menghampiri Fanya. Sikap Azga membuat Nathan menggeleng pelan, Azga memang selalu memiliki rasa ingin tau yang besar. Sikapnya itu sudah sangat dipahami oleh Nathan.
"Maaf," ucap Azga sedikit menepuk pundak Fanya pelan.
Perlakuan Azga berhasil membuat Fanya menoleh ke arahnya. Gadis bertubuh mungil itu segera menjauh secepat mungkin. Dia tau benar bahwa pria yang baru saja menyentuhnya, adalah orang yang tidak sengaja menabraknya beberapa hari lalu.
Fanya bangun dari duduknya dan segera pergi dari sana meninggalkan Azga. Nathan yang melihat itu, hanya menatap punggung Fanya yang mulai menjauh dari kedua pemuda tersebut.
"Sebenarnya apa yang membuatmu begitu penasaran dengannya?" tanya Nathan kepada Azga, saat sudah berdiri tepat di sebelah pria bermata biru itu.
"Ntahlah, aku merasa harus berbicara dengannya," jawab Azga singkat, kemudian duduk di halte, diikuti oleh Nathan.
Azga menggosok telinganya pelan, sesekali terdengar helaan nafas panjang darinya. Perilaku pemuda bermata biru itu tentu saja membuat Nathan tertawa geli.
"Kau lucu sekali Az, jika tidak suka dia berada di dekatmu. Katakan saja," ucap Nathan sedikit tertawa.
"Jika bisa semudah itu, sudah kulakukan sejak dulu, Nat," jawab Azga mendengus kesal.
"Apa yang dia minta?" tanya Nathan penasaran mengenai roh yang mengikuti sahabatnya itu.
"Bantuan."
"Bantuan? Maksudnya dia memintamu untuk mengembalikan nyawanya?"
"Bodoh sekali, mana mungkin dia memintaku melakukan hal konyol seperti itu. Haahhh... Padahal kau sudah 17 tahun tapi pikiranmu itu, ckck," ledek Azga ke arah Nathan.
"Kau baru saja menghinaku, ha? Wah... Kau menyakiti perasaanku Az, aku tidak akan pernah mengizinkanmu untuk menyalin tugasku lagi."
Ancaman Nathan, berhasil membuat Azga ciut. Mengapa tidak? Pria bermata biru itu tidak pernah menyelesaikan tugas sekolahnya, jika tidak adanya bantuan dari sahabatnya itu.
"Aku hanya bercanda, kenapa kau begitu sensitif hari ini," ucap Azga dengan memukul pundak Nathan.
***
"Kau sudah pulang? Aku menunggumu sedari tadi." Kalimat itulah yang pertama kali menyambut Azga saat dirinya baru saja masuk ke kamarnya.
"Apa yang Bibi inginkan?" tanya Azga dan mulai melepaskan seragamnya, menyisakan kaus putih polos yang melekat di tubuh tingginya.
"Aku tidak pernah meminta apapun padamu, tapi kenapa kau begitu dingin padaku?"
Azga mendengus kesal, mengapa tidak? Sudah hampir satu tahun penuh roh wanita paruh baya itu terus ada di kamarnya. Hampir setiap hari pula, roh itu berbicara dengan pemuda yaang tinggal sendirian itu.
"Apa Bibi tidak punya tempat lain untuk di tempati?"
"Ini rumahku sebelum kau membelinya, kamar ini juga milik anakku."
"Itu dulu, sekarang sudah berbeda," jawab Azga dan masuk ke kamar mandi.
"Anak muda, kau rajin sekali. Pagi ke sekolah, siang hingga malam kau bekerja paruh waktu di minimarket. Hanya cuti di hari Sabtu dan Minggu. Apa kau tidak lelah? Kau masih muda, tapi harus bekerja keras seperti ini untuk sekolahmu. Ke mana perginya orang tuamu? Aku tidak pernah melihat mereka berkunjung ke sini," ucap roh wanita paruh baya itu, meski Azga di kamar mandi dia tetap bisa mendengar jelas perkataan roh yang di panggilnya Bibi itu.
"Jika merasa kasihan padaku, berikan aku tunjangan hidup Bi," ucap Azga dari dalam kamar mandi.
"Ahaha kau pintar bercanda, kau sendiri tau bahwa aku sudah mati. Meski pun sudah tidak bernyawa, aku tidak bisa pergi sesukaku. Jangankan untuk istirahat dengan tenang, untuk keluar dari kamar bau mu ini saja aku tidak bisa," ucap roh wanita paruh baya itu.
"Cklek."
Azga keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap, tentu saja dia sudah rapi karena akan segera pergi ke tempat kerja paruh waktunya.
"Aku pergi dulu," pamit Azga dan mengambil tas nya yang ada di meja belajar, sejurus kemudian pemuda bermata biru itu pun pergi dari sana.
***
"Berapa semuanya?" ucap seorang gadis yang menutup mulutnya dengan masker.
"Ini uangnya," ujar sang gadis dan memberikan beberapa lembar uang kepada Azga, tanpa sengaja tangan pria bermata biru itu tersentuh oleh gadis tersebut.
"Terimakasih," ucap Azga saat memberikan kembalian kepada sang pembeli.
"Saat pulang nanti, berjalanlah di kawasan yang terang. Jangan ke jalanan yang gelap meskipun itu memakan waktu lebih cepat," ucap gadis tersebut dan keluar dari minimarket tempat Azga bekerja paruh waktu.
"He? Hey tunggu," Azga mencoba untuk meninggalkan meja kasir, namun pembeli lain sudah berada di depannya. Tentu saja itu membuat Azga mengurungkan niatnya, untuk menghentikan gadis bermasker tersebut.