Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

NOT ME

🇮🇩bye_pluto
--
chs / week
--
NOT RATINGS
12.4k
Views
Synopsis
Aku mencintai Reno. Sangat. Aku bahagia kalau ia juga bahagia, walau itu ia rasakan dengan perempuan lain. Tapi, bukankah lebih baik kalau ia bahagia denganku?

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Not Me

Pagi yang begitu cerah, secerah senyumku saat ini. Aku tersenyum pada siapapun yang berpapasan denganku, walau aku tak mengenal mereka. Oh, ayolah, siapa juga yang bisa mengenali anak satu sekolah? Aku tak peduli kalau mereka menganggapku gila. Aku sangat bahagia! Kalian harus tahu itu!

Sepatu hitamku berhenti melangkah tatkala aku melihat seseorang itu. Seseorang yang membuatku terus tersenyum semenjak mataku terbuka subuh tadi. Tapi, seolah tak menyadari kehadiranku, ia justru melangkah menjauh.

"Reno! Tunggu!" seruku sekeras mungkin.

Berhasil! Ia menoleh.

Aku bergegas menghampirinya. "Kamu mau ke mana?" tanyaku sembari menetralkan detak jantungku yang sudah tak karuan karena ketergesa-gesaanku dan karena seseorang di hadapanku ini tentunya.

"Jangan lari-lari," katanya. Ia merapikan anak rambut di dahiku, membuat banyak kupu-kupu beterbangan di perutku. "Aku ada perlu ke ruang OSIS."

Aku mengerutkan kening. Ruang OSIS? "Kamu mau menemuinya?"

Tolong katakan tidak, Reno!

"Tidak," balasnya singkat tanpa menatapku. Aku menghela napas lega.

Tapi, kenapa ia mengalihkan pandangan dariku saat mengatakannya?

Aku tahu. Ia pasti masih sensitif tentang hal ini. Baru minggu lalu ia putus dari Kinan, si sekertaris OSIS. Tentu saja aku sedih melihatnya galau. Tapi, sebenarnya perasaan senang yang jauh mendominasiku. Itulah alasan kenapa beberapa hari terakhir aku selalu berangkat ke sekolah dengan senyum cerah, seperti pagi ini.

Aku mencintai Reno. Sangat. Aku bahagia kalau ia juga bahagia, walau itu ia rasakan dengan perempuan lain.

Tapi, bukankah lebih baik kalau ia bahagia denganku?

"Oke. Kalau begitu pergilah." Aku membuat gestur mengusir dengan kedua tanganku.

"Kamu dari dulu memang tidak berubah, ya!" Reno tertawa kemudian mengacak rambutku gemas. Aku cemberut. "Sampai jumpa di tempat biasa!"

Aku masih menatap punggung sahabat kecilku itu hingga menghilang dari pandangan. Iya. Aku memang tak pernah berubah. Dari dulu hingga sekarang aku masih mencintaimu. Aku tersenyum masam. Tak lama. Karena selanjutnya, aku melihat teman sebangkuku.

"Wendy!" seruku. Ia berbinar saat melihatku.

"Kamu baru datang?" tanyanya setelah mendekat padaku.

"Iya."

"Kita sehati!" pekiknya. Aku tertawa. Wendy teman yang baik. Bukan sahabat. Karena sahabatku hanya Reno.

"Tidak bisa. Hatiku sudah jadi milik orang lain."

***

Reno duduk di sebelahku. Kepalaku yang kusandarkan di bahunya. Kami menikmati langit siang itu. Sedikit berawan. Menyenangkan untuk dipandang. Ditambah pohon mangga diatas kami yang membuat suasana kian teduh.

"Sebentar lagi bel masuk," ucap Reno. Ia meremas bungkus plastik yang tadinya berisi keripik kentang.

"Tunggu sampai bel saja." Aku masih belum mau bergerak dari posisi ternyaman dalam hidupku.

Hening.

Aku mendongak untuk menatap wajah Reno. Penasaran, kenapa ia tiba-tiba diam? Sepertinya Reno menyadari gerakanku karena ia kini menunduk, balas menatapku.

"Ada yang ingin kukatakan. Tapi, nanti saja sepulang sekolah."

Aku tak melihat senyuman di wajahnya, tapi, pandangannya begitu teduh. Apa ini? Apa yang mau ia bicarakan?

Jantungku kembali berdetak tak beraturan. Jangan-jangan.. Aku berkedip beberapa kali. Mengenyahkan pemikiran penuh harap di kepalaku.

Aku menegakkan tubuhku lalu menyerongkan arah dudukku padanya. "Tentang apa?"

Reno tersenyum. Ia menunduk menatap pilinan jari-jarinya. Aku pernah melihat gesturnya seperti ini, saat guru matematika sekolah dasar kami memuji nilai sempurnanya. Atau saat anak perempuan tercantik di sekolah menengah pertama kami memujinya tampan.

Ia sedang malu.

Tapi, untuk apa? Tiba-tiba, pipiku memanas. Jangan-jangan benar. Ia akan menyatakan perasaannya padaku!

"Sesuatu yang penting. Ini tentang-"

Suara bel membuat aku dan Reno menoleh ke arah gedung sekolah. Bel yang mengganggu.

"Pokoknya, nanti pulang sekolah aku jemput kamu di kelasmu." Reno menggandeng tanganku. Kemudian kami menyusuri halaman belakang dengan rumput panjang menuju gedung sekolah.

Aku menatap tautan tangan kami. Sebuah senyum terukir di bibirku. Aku hanya menginginkan tangan ini yang menggenggam tanganku. Selamanya.

***

Gunungan buku yang tengah kubawa benar-benar menyulitkan. Mereka menghalangi pandanganku. Jika Tuhan memperbolehkanku mengutuk, aku akan mengutuk semua rekan piket kelasku hari ini, yang dengan sengaja membuatku harus membawa semua ini sendiri.

Kantor guru. Itu masih cukup jauh. Aku melenguh.

Tiba-tiba, gunungan buku itu menghilang. Menyisakan beberapa buku ditanganku. Aku mendongak. Senyum lebar kembali terukir di bibirku. Reno.

"Aku bantu." Ia tersenyum padaku. Aku mengangguk.

"Kok kamu di luar kelas? Nggak pelajaran?" tanyaku ketika kami mulai berjalan berdampingan menuju kantor guru.

"Aku baru dari toilet," balasnya. "Kamu kenapa bawa ini sendirian? Teman kamu mana?"

Aku cemberut. "Mereka jahat."

"Hei," tegurnya lembut, membuatku menghentikan langkahku. Dan, oh, kenapa Reno berada beberapa langkah di belakangku. Aku menyejajarkan diriku dengan Reno.

"Kenapa?" tanyaku kebingungan. Ia bahkan sudah menaruh gunungan buku tadi di bangku yang berada tak jauh dari kami.

Selanjutnya, Reno melakukan hal yang tak pernah aku duga. Ia memelukku. Erat. Ah, apa ini berarti dugaanku benar? Aku tersenyum lebar. Jantungku dengan cepat berdebar.

"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, kok. Ini hanya SMA," ucapku menenangkan. Aku tak bisa membalas pelukannya karena masih ada beberapa buku di tanganku.

"Aku akan selalu berada di sampingmu. Kalau kamu butuh bantuan, bilang. Aku benci melihat kamu kesulitan."

Aku menggigit bibirku. Ini hal termanis yang pernah Reno katakan. "Aku akan melakukannya."

"Tentu saja!" Reno melepas pelukan kami. "Dari dulu kamu begitu, kan?"

Kami tertawa. Sejak dulu Reno memang selalu memasang badan di depanku. Aku bergantung padanya. Kata ibuku, ia seperti seorang Kakak. Ah, aku tak suka pemikiran itu!

"Kalau gitu, sekarang kamu kembali ke kelas. Aku akan membawa ini ke kantor guru." Ia mengambil alih beberapa buku di tanganku. "Dan jangan lupa nanti pulang sekolah. Aku benar-benar tak sabar!"

Aku mengulum senyum. Benar, kah? Ia tak sabar menyatakan cintanya padaku? Aku menyelipkan anak rambut di telinga kananku. "Baiklah. Aku juga menantikannya!"

Bergegas, aku kembali ke kelas. Tak ingin Reno melihat wajah merah meronaku.

Astaga! Bagaimana aku bisa menatapnya nanti? Bahkan belum apa-apa saja aku sudah blushing!

***

Aku mengedarkan pandangan ke koridor kiri maupun kanan depan kelasku. Tapi, bahkan dari keduanya, seseorang yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang.

Reno kemana?

Ia bilang akan menjemputku di kelasku saat bel pulang. Tapi, ini sudah lewat sepuluh menit dan dia masih belum juga datang.

Apa aku datangi ia saja? Jangan-jangan ia perlu bantuan? Tapi, apakah iya? Bukannya ia mau menyatakan perasaannya padaku. Aku tersenyum malu-malu. Baiklah. Aku akan mendatanginya. Anggap ini kejutan.

Aku melangkahkan kakiku menuju lantai teratas gedung ini. Lantai tiga. Kelas Reno berada di sana. Sedang kelasku ini berada di lantai dua.

Keadaan sekolah tak terlalu ramai. Tentu saja. Anak-anak sudah banyak yang pulang ke rumah masing-masing.

Aku tersenyum ketika pintu kelas Reno terlihat. Pintunya tertutup. Jangan-jangan Reno sedang di dalam dan menyiapkan surprise untukku? Pipiku memerah.

Perlahan aku mendorong knop pintu kelas Reno. Tapi, baru saja pintu itu sedikit terbuka, aku menghentikan gerakanku. Di dalam sana, Reno sedang merangkul mesra.. Kinan?

Aku mendorong kembali pintu itu agar terbuka lebih lebar. Benar. Itu Kinan. Ia sedang bergelayut manja pada bahu Reno. Tapi, kenapa bisa? "Reno."

Reno menoleh. Nampak sekali kalau ia terkejut. Ia segera berdiri dan melepas rangkulannya pada Kinan. Kinan pun ikut berdiri dengan tatapan datarnya padaku.

"Maafin aku. Tadi, aku baru aja mau jemput kamu ke kelas." Ia berjalan menghampiriku, yang berada di ambang pintu. Kinan yang seperti ekor itu terus mengikuti Reno.

"Ini hal penting yang mau aku bilang tadi." Reno merangkul Kinan. "Aku dan Kinan balikan!" Ia tersenyum cerah.

Aku? Aku masih diam sedari tadi, mengamati mereka berdua.

"Hey, kenapa kamu nangis?" Meninggalkan Kinan, Reno mendekat padaku.

Menangis? Aku mengusap pipiku. Benar saja. Ada cairan bening di sana. Rasanya sesak.

"Kamu sakit?" Reno hendak menyentuh wajahku, tapi, aku dengan cepat menepis tangannya. Reno terkejut. "Kenapa?"

Aku bisa melihat Kinan tersenyum di balik punggung Reno. Senyum mengejek.

Aku menangis. Menangis tersedu-sedu. Aku berlari menjauh dari mereka. Samar-samar kudengar Reno meneriakkan namaku juga derap langkahnya seperti mengejarku. Aku makin mempercepat langkahku. Tanpa sadar kakiku menaiki tangga menuju rooftop

Aku terus berlari hingga benar-benar sampai ke rooftop. Aku bisa melihat pemandangan di bawah dari sini. Melihat Pak Tasman, satpam sekolah, dan kopinya. Melihat anak-anak di lapangan bola. Ah, aku bahkan bisa melihat Wendy sedang bercanda dengan seorang lelaki di parkiran. Aku tersenyum tipis. Sudah kubilang, kami memang tak bisa sehati.

Sepertinya, ini bukan waktunya untukku menikmati pemandangan. Aku berbalik dan melihat Reno yang baru saja sampai. Dengan Kinan dan senyum mengejeknya.

Aku tidak suka.

Aku mundur selangkah.

Aku benci Kinan.

Aku mundur selangkah lagi.

"Berhenti!! Kamu mau apa?! Kamu bisa jatuh!! Jangan lakukan itu!!" Reno bergerak ingin mendekatiku. Aku mengangkat tanganku, menahan gerakannya.

"Aku tak suka kamu dengan perempuan lain. Aku membencimu, Reno. "

Aku mundur selangkah untuk yang kesekian kalinya. Aku bisa merasakan angin kencang menghembus punggungku. Aku tahu, selangkah lagi aku akan mati. Badanku mulai gemetaran, tapi, tak kuindahkan. Sejujurnya, aku takut ketinggian.

"Tapi, sayangnya," jeda sejenak, aku menatap matanya dalam-dalam, "aku lebih mencintaimu."

Aku menutup mataku. Menghilangkan kesadaranku paksa. Aku tak ingin merasakan sakit. Tapi, sebelum kesadaranku sepenuhnya hilang aku masih bisa mendengar teriakan Reno.

"Felicia!"

Begitu dekat.

***

Aku menatap nisan putih di hadapanku. Mengusapnya perlahan. Aku tersenyum. Sebentar lagi. Kita akan bersama kembali.

Aku berdiri lalu mulai melangkah pergi meninggalkan kompleks pemakaman.

Terpahat di nisan itu, Reno bin Setiawan.

***