Liani menyadap kebun karet miliknya bersama dengan Husin suaminya. Nafasnya terengah-engah menahan letih yang ia coba tepikan.
Mereka duduk di bawah pohon karet yang besar seraya membuka kotak bekal makanan yang mereka bawa dari rumah. Kotak makanan itu hanya berisi beberapa potong kue.
"Laini, seharusnya kau tak perlu lagi ikut bekerja menyadap pohon karet" Husin berkata sembari membuat api untuk memasak air, Husin membuatkan teh untuk istrinya.
"Aku takut kau kelelahan. Perutmu sudah mulai membesar sekarang, aku takut terjadi sesuatu jika kau paksakan." Husin memandangi wajah Istrinya yang telihat sangat kepayahan. Liani tengah mengandung 6 bulan sekarang.
"Aku bosan jika dirumah saja." Liani memelas akan pengertian sang suami.
"Kau lebih mementingkan kesenanganmu daripada anak kita? lupakah engkau seperti apa rasanya ketika kelima anak kita meninggal?" Suara Husin mulai meninggi.
"Mereka meninggal bukan karena kesalahanku, mereka sakit Husin" Suara Liani pun tak kalah tinggi dengan suaminya. Ia merasa tersinggung akan ucapan suaminya.
"Aku tahu... karena itulah, jangan sampai kali ini karena kesalahanmu. Kau tau rasanya kehilangan 5 orang anak. Walaupun bukan karena kesalahan kita sakitnya luar biasa, apalagi jika itu dikarenakan kesalahan kita.
Baik-baiklah jaga kandunganmu" Husin berkata dengan nada yang lembut, ia mengelus perut Liani perlahan.
"Baiklah, mulai besok aku akan beristirahat di rumah saja" Liani akhirnya melunak. Ia menyadari perkataan suaminya yang sepenuhnya benar.
"Kau tidak akan bosan, dirumah pun bisa kau bekerja dengan membeli karet dari petani. Kau hanya tidak perlu ikut menyadap karet dan ikut kesawah" Husin menyeruput teh yang mengepulkan uap dari gelas yang berada ditangannya.
" Ya.. kau benar" Liani mengangguk.
Hari berlalu bulan berganti. Usia kandungan Liani semakin tua. Mereka telah bersiap kapan saja untuk menanti sang buah hati.
Abidin nama anak Liani dan Husin yang tersisa dari 6 anak mereka. Ia seringkali menggelus perlahan perut Liani. Ia pun sangat mendamba kehadiran sang adik.
Abidin teramat ingin ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan kakak.
"Dik, sehatlah engkau di dalam sana. Janganlah kau menendang perut ibu terlalu keras. " Ia sering berlari mengahampiri Liani apabila melihat ibunya itu meringis kesakitan menahan kontraksi.
"Tentu adikmu akan sehat nak" Liani membelai dengan lembut kepala Abidin. Ia bahagia anak lelakinya itu menyanyi calon adiknya.
Beberapa hari kemudian,pada saat pagi buta. Liani merasakan sakit perut yang hebat. Dengan tergopoh Husin menaiki sepeda ontel miliknya menuju rumah bidan kampung yang rumahnya berada di hulu desa.
Husin mengetuk pintu dengan tidak sabar. Ia ketakutan jika mereka sampai terlambat. Satu orang anak-nya meninggal sesaat setelah dilahirkan.
"Mak.. mak.." Ia terus mengetuk dengan keras. Suasana saat itu masih sangat gelap dan senyap. Hanya kerlipan kecil dari lampu minyak yang terlihat dari celah pintu.
Ia kembali mengulangi panggilannya lebih keras dan ketukan yang lebih kuat. Suara langkah yang berat terdengar dari dalam rumah. Akhirnya pintu pun berdecit, tuan rumah membukakan pintu dari dalam. Sesosok wanita paruh baya telihat muncul dari balik daun pintu.
"Ada apa" Wanita itu melihat wajah pucat Husin yang nampak kontras dengan keadaan alam yang masih gelap gulita.
" Istriku akan melahirkan mak" Husin berkata dengan gugup.
" Baiklah aku akan bersiap." Bidan desa itu kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
Tak seberapa lama, bidan itu telah siap. Husin membonceng sag bidan menaiki sepedanya. Keadaan desa masih sangat sunyi dengan kegelapan yang pekat. Tidak ada listrik di desa mereka yang sangat jauh dari perkotaan. Husin mengayuh sepeda dengan sangat kuat. Sekuat keinginan-nya agar anaknya yang ke 7 dan istrinya dapat selamat.
Bidan mengarahkan senter pada jalanan di depannya agar husin dapat melihat dengan jelas jalan setapak dan berbatu yang mereka lewati.
"Ding, ding, ding, ding, " Jam besar dari sebuah mesjid yang berada di tengah desa berdentang empat kali.
Husin sangat gelisah. Ia takut terjadi sesuatu dengam istrinya. Ia pergi telah hampir satu jam lamanya. Husin mengayuh lebih cepat. Keringat dingin membasahi kening dan punggungnya.
"Sabarlah *Pa bidin (sabarlah wahai ayahnya Abidin). Jika kita terjatuh dan terluka justru kita tidak bisa menolong istrimu.
Husin seolah tidak mengindahkan perkataan itu. Ia tetap mengayuh dengan sekuat tenaga. Kecemasannya berangsur berkurang saat Husin melihat ujung dari atap rumah panggung mereka dari kejauhan.
Husin menyadarkan sepedanya pada tiang palataran rumahnya. Ia mendengar teriakan memilukan yang mencabik hati dari dalam rumahnya. Husin dan bidan itu segera memasuki rumah dengan langkah yang cepat.
Rumana berbaring di ruang tengah di temani Ibunya dan liukan lampu minyak yang tertiup angin dari lubang-lubang dinding rumah.
"Kau pergilah, tunggulah di luar" Sita ibu mertua Husin menyuruhnya pergi dari ruangan itu
"Baiklah, aku akan menunggu di pelataran rumah" Ujar Husin. Raut kecemasan nampak jelas di wajahnya.
Husin menunggu detik demi detik. Menit demi menit, waktu terasa begitu lambat berlalu. Ia kasihan mendegar istrinya yang terus menerus menjerit kesakitan.
"Sedikit lagi Rumana, sedikit lagi. Kepalanya sudah terlihat. dorong lebih keras" Bidan itu memberi semangat.
Kemudian
Terdengarlah Raungan dahsyat yang memecah kesunyian. Menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Tidak lama berselang, suara bayi terdengar menggema di pagi yang gulita.
"Husien adzankan anakmu" Sita memanggil dari dalam.
Husin segera masuk dengan wajah penuh kegembiraan. Ia menyambut anak mereka yang ke 7. Husin memandangi wajah istrinya yang sangat lemah. Ia meng-Adzankan putrinya.
"Kau akan kuberi nama Rumana. Kau lahir pada hari ini pada tanggal 05 Mei 1972. Nak semoga kau sehat dan panjang umur. Husin mendekap bayi itu dengan penuh harapan akan kehidupan yang baik untuknya. Air mata Liani dan Husein mengalir, kebahagiaan dan kecemasan menyeruak di dalam dada mereka.