Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

SUBAGYO 1910

Walofy
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.1k
Views
Synopsis
Seorang keturunan Belanda mencintai anak pribumi yang bekerja sebagai kusir delman. Akankah gadis itu masih waras atau dia memang dibutakan karena cinta? Yang jelas cinta tak mengenal kasta, harta, atau kedudukan, karena datang dari hati. Namun, apakah si kusir delman benar-benar menerima kepergian blasteran itu dari hidupnya karena keadaannya? haruskah dia menentang kondisi dan fakta yang menusuk matanya demi gadis pirang itu? atau berpasrah pada nasib dan belajar mengikhlaskan?

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - 1 Tahu diri

- Solo 13 Maret 1905

Aku melihat parasnya yang rupawan nan ayu khas gadis Solo, tapi matanya yang biru dan rambutnya yang merah kekuningan membuat diriku sadar aku tak akan pernah mendapatkannya. Apa dayaku sebagai seorang anak tukang kusir yang tamatan SR (Sekolah Rakyat)?.

Wajah dan hartaku pasti tak dapat pula meyakinkan Meneer Wick dan Ndoro Ratih untuk meminang putri mereka yang cantik itu. Tapi siapa sangka akan terjadi hal seperti ini…

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Aku terkejut bukan main. Ndoro Putri Everdeen mengutarakan isi hatinya kepadaku malam ini, di tempat dan waktu yang tidak tepat. Ku masih memandu kuda di kursi kusir meski agak sedikit oleng, sedangkan Ndoro Everdeen masih anteng menunggu jawaban dariku.

"Bagaimana Yo?" Tanyanya dengan tidak sabaran seperti papinya, namun suaranya yang selembut kapas dan sehalus sutra seakan menutupi kesan kalau dia gadis yang buru-buru. Persis sama dengan maminya.

Kalau ada orang Belanda yang tahu kejadian ini, pasti jadi perbincangan hangat. Judul di surat kabar nanti pasti akan muncul "Seorang anak Mayoor dan seorang anak tukang pedati" betapa malunya nanti Meneer Wick dihadapan kolega-koleganya yang bilamana hubungan  ini benar-benar terjadi.

"Ndoro... memangnya... tidak malu?" Tanyaku sambil terus fokus melihat jalan, meski sebenarnya aku gemetaran memegang tali kuda.

"Tentu saja aku malu!" Sahutnya kencang. Suaranya tak lagi enak di dengar, lebih kearah melengking.

"Memangnya siapa gadis yang tidak malu saat menyatakan cintanya kepada orang yang ia cintai? Verdoom!" Sambungnya ketus sambil mengumpat, aku tidak lihat kebelakang pun aku sudah tahu dua bakpao di wajahnya jadi merah.

"Hehehehe... anda benar-benar persis seperti campuran papi dan mami nona ya!" Tukasku kagum kepada blasteran Indonesia-Belanda dibelakangku.

"Tentu saja, i kan memang anak dari mami Ratih dan papi Meneer Wick" sahut Ndoro Everdeen.

"Hmmmm... dan saya anak dari bapak Sugeng dan emak Sumi" ucapku mencoba memperlihatkan perbedaan kami.

Gadis manis itu diam sejenak sembari memalingkan wajah ovalnya ke ladang yang tertelan gelapnya malam. Kesalkah dirinya karena ucapanku barusan?.

"Memangnya apa salahku jika aku suka sama kamu Yo?" Tanyanya, memecah hening.

"Bukan salah Ndoro, tapi salah saya" jawabku singkat, sambil menengok ke belakang.

"Bagaimana bisa jadi salahmu?" Tanyanya lagi dengan heran.

"Sebenarnya saya... "

GEDUBRAK!

Roda belakang delman lepas karena menghantam batu yang cadas. Untunglah roda itu tidak menggelinding terjun ke jurang. Aku lebih khawatir lagi kalau aku sampai telat mengantar Ndoro Everdeen ke Tuan Scavencen.

"Anda tidak apa-apa Ndoro?" Tanyaku sambil turun dari kursi kusir.

"Tak apa hanya terantuk sedikit" jawabnya.

"Yaampun kepala Ndoro terluka!" seruku panik setelah melihat memar di dahinya.

Segera kuambil perban dan obat luka di dalam laci kusir lalu kuobati kepala Ndoro Everdeen pelan-pelan. Disaat aku benar-benar gelagapan, jemari Ndoro Everdeen mengelus mesra janggutku sambil tersenyum simpul. Dengan tatapan binar matanya yang memantulkan cahaya rembulan, aku luput dan tak sadar kalau jemarinya menarik wajahku lebih dekat dengannya. Langsung saja aku mengelak dari ajakan bercinta yang tersirat darinya.

"Inilah kesalahan saya Ndoro Putri, saya membiarkan ada kesempatan kepada Ndoro untuk mencintai saya" kataku setelah selesai mengobatinya.

"Bukan, itu bukan salah siapa-siapa!" Bentak Ndoro Everdeen galak.

"Apa yang salah dari cinta? apa yang salah dengan i? Apa yang salah denganmu? Itu urusan kita bukan urusan mereka!" Sambungnya dengan nada semakin garang.

"Cinta tidak pernah salah, kita juga tidak punya masalah satu sama lain, mereka juga bukan siapa-siapa kita"

"Tapi ini soal keadaan, masalah aturan dan hukum yang tidak mengijinkan kita melakukannya hubungan semacam itu" Tuturku seraya mengambil roda yang tadi terlepas lalu menyandarkanya di tempatnya tadi berada.

"Bisakah Ndoro Everdeen turun sejenak agar saya bisa mengganjal kereta kuda ini?" Pintaku.

Ndoro Everdeen mengulurkan kedua tangannya kearahku. Aku yang tidak paham maksudnya lantas hanya mengangkat bahu, dia pun berdecih. Agak sebal rasanya melihat Ndoro Everdeen mulai memiliki sifat papinya.

"Gendong..." ucapnya lirih.

"Maaf nona, saya tidak bisa" jawabku.

"Kalau begitu persetan dengan delmanmu dan perjalanan ini!" Hardiknya sambil merajuk.

"Tapi saya harus mengantar Ndoro ke rumah tuan Scavencen malam ini juga" kataku mengingatkan sembari memohon.

"Persetan juga denganya!" Ketusnya.

"Jangan begitu Ndoro, beliau kan tunangan Ndoro"

Ndoro Everdeen mulai diam, bukan diam biasa karena dia memendam muak dan murka. Ia hanya tidak mau semakin berdebat hingga kehilangan rasa kepadaku. Bagaimana bisa aku tahu? Karena aku juga sama.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Bibirnya masih tidak berucap. Aku tak tahu raut wajahnya bagaimana sekarang, karena wajahnya tak diperlihatkan kepadaku. Tak apa... yang penting aku bisa membetulkan roda delman ini secepatnya dan mengantar Ndoro Everdeen ke Tuan Scavencen. Sesuai perintah Meneer Wick.

Beberapa menit berlalu begitu saja. Hampa dan hambar. Harusnya ada kalimat yang dilontarkannya bila sudah terlalu lama dengan keadaan hening seperti ini, tapi ternyata tidak. Ndoro Everdeen masih khusyuk dalam semedinya.

"Boleh saya bertanya Ndoro?"

"Verdoom! kau sudah bertanya!" Serunya sambil cekikikan.

"Saya hanya minta izin, bukan bercanda" ujarku yang tersenyum kecil.

"Ya boleh, hal apa yang ingin kau tanyakan?"

"Mohon maaf sebelumnya... berapakah umur Ndoro Everdeen sekarang?"

"Tidak sopan kau Yo!" Sebalnya.

"Mempertanyakan umur seorang perempuan" sambungnya.

"Mohon maaf, saya cuma bertanya kepada nona. Tak ada maksud apa-apa" ucapku memohon maaf.

Dia membisu dalam semedinya, tak dihiraukannya lagi kata dan perbuatanku. Semakin merajuklah ia di senyapnya malam.

Tak ubahnya seperti kutu di bulu kerbau, aku tak berkutik. Aku cuma bisa terus memperbaiki roda delman agar segera mengantar Ndoro Everdeen ke tujuan.

Namun alam pun tak memihak padaku, tiba-tiba saja langit malam menangis, mengguyur tubuhku dengan dingin. Tapi tak kuhiraukan dingin yang jahat itu, sambil terus fokus memperbaiki roda belakang delmanku. Tapi sesuatu yang janggal terjadi, badanku tak lagi terguyur hujan, namun suara air menetes deras masih terus terdengar. Baru kutahu sebabnya setelah aku mendongak ke atas dan melihat Ndoro Everdeen memayungiku dari tempat duduknya.

"Cepat selesaikan" suruhnya singkat.

"Terima kasih Ndoro" ucapku sambil kembali berkutat dengan roda.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Roda akhirnya selesai juga diperbaiki, namun Ndoro Everdeen tidak juga menunjukkan tanda-tanda berdamai.

Meski sikapnya melunak dengan sudi melihatku duduk dihadapannya. Hujan masih turun dengan deras, maka aku tak berani melanjutkan perjalanan karena medan yang kami lewati akan jadi sangat berbahaya untuk dilewati disaat seperti ini apalagi malam hari.