AYANO
Di awal musim dingin di negara HectorLeon, semua manusia pastinya memakai mantel tebal untuk melindungi tubuh mereka dari suhu yang luar biasa dinginnya, tetapi Magis berbeda dari Manusia. Magis, Elf dan jika masih ada speciesnya, para Hibrida, mereka tidak perlu pakai pakaian tebal-tebal, cukup jaket atau satu lapis kain tebal saja sudah menahan mereka dari suhu dingin di musim seperti ini.
Tapi berbeda cerita lagi bagi para Magis berdarah dingin, seperti Ayano.
Salju sudah menyelimuti seluruh bagian negara HectorLeon, dan tidak ada satupun orang yang berani keluar disaat badai salju, bahkan Magis pun tidak. Mereka semua tahu disaat badai seperti itu, pandangan mereka akan buram, pertama karena suhunya jauh lebih dingin saat badai, kedua banyak kabut dimana-mana, dan yang ketiga, yang membahayakan keselamatan, banyaknya binatang-binatang liar pembunuh yang akan berkeliaran saat badai salju, seperti beruang kutub berduri, singa laut yang giginya hampir mencapai 1 meter, dan pelikan yang sebesar pohon jati.
Seandainya badainya cepat selesai, itulah yang dipikirkan Ayano selama setengah jam sambil duduk dipinggir jendela kamarnya yang sudah buram karena dingin, ia bungkus dirinya dengan selimut yang bewarna hitam lebar tapi tipis, sambil menyeruput secangkir teh yang masih hangat dan juga pahit. Disaat seperti ini, rasanya tidak ada hal yang bisa ia lakukan, seakan ia merasa di penjara yang bersih dan mewah.
Tetapi lamunannya buyar saat ia mendengar suara pintu terbuka, ia pun menoleh ke pintu, dan melihat temannya, Alexandrite, si Cambion berambut coklat gelap dan mata kiri bewarna biru, sedangkan mata kanannya bewarna cokelat Russet. Alexa pun jalan menuju Ayano, "Alex, kau tidak bersama bayimu?" tanya Ayano "Dan juga suhu cucanya dingin, kau tidak pakai pakaian tebal?" tambah Ayano lagi, Alexa pun duduk disenerang Ayano. "Heh, suhu bukan masalah besar bagiku." ucapnya menghibur,
"Tapi ini sudah hari ke lima setelah kau melahirkan, bukankah lebih baik kau istirahat? Atau tidak, apa kau mau teh?" ucapnya sambil menawari teh hangatnya kepada Alexa, dan Alexa mengintip ke isi tehnya yang isinya setengah cangkirnya, Alexa mengernyit dan menggeleng kepalanya. "Tidak terima kasih, aku bosan dengan teh hijau. Hampir setiap hari kau minum teh hijau, apa tidak bosan?
"Memangnya tidak ada teh lain selain teh hijau? Bahkan di cuaca panas pun kau tetap minum teh hijau." tukas Alexa, dan Ayano hanya menoleh ke jendela. "Entahlah, saat meminum teh ini... Aku teringat teman lama." Alexa mengangkat kedua alisnya "Kau punya teman lama?" ujar Alexa, "Tidak pernah tahu." lanjutnya sambil menyandarkan kepalanya ke jendela.
Ayano memang sempat punya teman saat masih kecil, tetapi orang tersebut meninggalkannya, entah apa alasannya, Ayano tidak tahu. "Mungkin aku tidak pintar dalam pertemanan, maka itu sebabnya ia meninggalkanku." ucap Ayano, Alexa memiringkan kepalanya, dia tidak tahu kenapa Ayano tiba-tiba berbicara seperti itu. Yang ia tahu adalah Ayano hanya gadis pendiam yang polos, tetapi tidak pernah tahu cerita Ayano.
Alexa pun menyentakkan jarinya, dan api hitam kecil pun menyala diatas jari telunjuk Alexa, lalu ia mengayunkan tangannya ke arah tempat perapian yang kayunya masih utuh, dan membuat api hitam kecilnya tersebut terlempar ke arah kayu-kayu tersebut, dan menyalakan perapian tersebut dengan api hitam, membuat ruangan terasa lebih hangat.
Alexa mendesah lemas dan kemudian menatap Ayano, "Dengar, kalau kau punya masalah atau perlu teman curhat." Ayano yang menatap ke jendela pun melirikan matanya kepada Alexa. "Kau tahu ada aku disini dan-- kau tahu maksudku..." tambah Alexa, tetapi Ayano tidak terlihat bereaksi dengan ucapannya. Meskipun begitu, jantung Ayano berdegup-degup, Alexa sudah seperti kakaknya sendiri selama 3 tahun ini.
Seadainya saja kakak kandungnya, Veerane, bisa kembali seperti Alexa saat ini. Tetapi itu Veerane yang dulu.
"Alex, aku senang kau disini dan mau menemaniku... Tetapi mari kita ubah topik yang lain, seperti..." Ayano menengok ke jendela, menatap ke luar jendela yang berembun, ia dapat melihat bahwa langitnya sudah mulai terlihat biru dan cerah dari sebelumnya, meskipun masih badai salju, tetapi sudah mulai reda. "Sudahlah, aku berangkat sekarang." ucap Ayano, beranjak dari duduknya. Alexa memiringkan kepalanya sekali lagi,
"Mau kemana? Jangan bilang kau mau pergi mengajari anak manusia itu?" tanya Alexa. "Tentu saja aku akan pergi mengajarinya, aku sudah berjanji kepadanya." Ayano sambil mengambil jubah abu-abunya, lalu memakainya hanya dengan mengancingkan bagian paling atas nya, kemudian tutup rambut dan setengah wajahnya dengan penutup kepala dari jubahnya. Sudah hampir setahun ia mengajar si anak manusia itu yang ingin sekali ahli dalam beranggar, dan ini adalah salah satu kegiatan waktu kosongnya.
Ayano pun berjalan menuju pintu, "Aku berangka-" dan Alexa menyela "Tidakkah lebih baik jika aku ikut?" Ayano menoleh ke Alexa "Untuk apa? Lagipula, kau harus mengurus bayimu- tunggu, aku tidak mungkin terus-terusan memanggilnya 'bayimu', siapa namanya?" Alexa mengangkat bahunya sambil beranjak dari duduknya,
"Aku serahkan soal namanya kepada Gavin, dan selama dia bersama Gavin, semuanya akan baik-baik saja. Ngomong-ngomong, soal kesana, bukankah kau selalu bilang si penjaga gerbang berambut hijau itu selalu menghadangmu masuk? Kau akan butuh aku untuk memasuki istana itu tanpa pengetahuannya." Alexa berjalan mendekati perlahan dengan gaya malas-malasan. Memang ada penjaga di gerbang istana Alba yang tidak mengijinkan siapapun masuk, kecuali jika punya ijin dari menteri atau Raja dan Ratu. Meskipun ia sudah memberitahukan soal ini kepada Jhosua, si manusia pangeran yang ia maksud, semua penjaga harus mengikuti peraturan istana, makanya dia terpaksa menggunakan cara menyelinap untuk memasuki istana tersebut.
"Terima kasih Alex, tapi aku sudah tahu kok cara memasuki istana itu tanpa pengetahuan seorang penjaga pun." Ayano menolak tawaran Alexa, meskipun tawaran itu sebenarnya cukup bagus. Sebelum Ayano hendak bergerak meninggalkan kamarnya, Alexa cepat-cepat memegang tangan Ayano yang sedingin es. "Ayano, aku butuh aktivitas setelah melahirkan, setidaknya aku perlu pemanasan setelah berhari-hari tidak banyak gerak atau menggunakan kekuatanku, dan aku memaksa." Alexa, sungguh keras kepala, tetapi dia tahu niatnya baik. Mulut Ayano terasa di bekap saat ingin mengatakan 'tidak', seakan ia ingin mengatakan yang sejujurnya, tetapi tidak enak mengucapkannya. Ayano selalu berhutang budi kepada Alexa untuk menemaninya selama 3 tahun ini, dan jika menolaknya...
"Baiklah, kau boleh ikut" ucap Ayano singkat, dan senyuman kecil muncul disisi bibir Alexa. "Tetapi hanya untuk bantu aku masuk." tambah Ayano lagi, tetapi Alexa tidak peduli. Ayano dan Alexa keluar dari kamar Ayano bersamaan, dan berjalan disepanjang lorong rumahnya. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, ia sempat mengambil pedang yang mirip pedang anggar, Estoc, yang diletakkan disalah satu lemari kayunya yang dipasang disalah satu bagian tembok koridor rumahnya.
...
Sudah berjam-jam mereka berjalan dan kadang istirahat sebentar, salju masih turun, tetapi tidak sederas sebelumnya. "Sebenarnya bisa berapa lama sih dari sini ke kota Alba dengan berjalan kaki." tanya Alexa,
"Kau tahu kita bisa tinggal naik Draghes atau Phoenix agar lebih cepat sampai." saran Alexa, Ayano hanya mengangkat bahunya sambil menendang-nendang salju yang mereka injak. "Kau bilang kau butuh aktivitas setelah beberapa hari melahirkan bukan? Bukankah berjalan kaki berkilometer itu termasuk?" tutur Ayano. Alexa mengernyit "...Beenar." ia terpaksa setuju dengan gadis pirang tersebut. Lalu keheningan pun berlangsung lama sampai akhirnya mereka mendengar suara gerakan yang sampai membuat tanah bergetar terdengar perlahan mendekati mereka, Ayano dan Alexa pun berdiri tegap bersamaan seketika, sekaligus siaga.
"Kau merasakannya?" tanya Ayano tegang, Alexa yang berdiri disisi kanannya mengangguk. "Ya... Dan itu..." suara salju tersebut sudah tepat dibelakang mereka, "MENGGANGGU!" Alexa secepat kilat membalikkan tubuhnya dan menerjang langsung kepada mahluk yang dibelakang mereka, Ayano tersentak dan langsung menengok kebelakangnya. Seperti yang diduganya, beruang kutub yang seluruh punggungnya numbuh duri-duri es, puluhan gigi kecilnya setajam jarum yang terlihat saat ia mulai meraung ke arah Alexa. Tapi yang tidak diduga Ayano adalah, tubuhnya 5 kali lebih besar dari tubuh beruang kutub pada umumnya. Alexa dan Ayano mendapati diri mereka sekecil tikus bagi beruang kutub atau beruang monster tersebut.
Alexa terhempas ke arah Ayano saat beruang kutub tersebut meraung, tetapi Ayano menghindar dengan melangkah kebelakang. Sehingga Alexa terkapar diatas salju yang tebal, dan Ayano refleks membantu Alexa berdiri. "Baiklah, aku belum pernah menghadapi mahluk ini, apa kau tahu cara mengahadapinya?" tanya Alexa kepada Ayano. Beruang kutub tersebut itu meraung lagi, tapi kali ini asap putih yang sangat tebal tersembur keluar dari mulutnya. Mereka mungkin sudah dibekukan jika saja Alexa tidak cepat-cepat mengangkat kedua tangannya ke udara dan mengerahkan energi yang memunculkan api hitam yang cukup besar untuk melindunginya dengan Ayano, saat beruang tersebut berhenti meraung, beruang tersebut mendengus kesal, dan Alexa pun juga ikut berhenti mengeluarkan api hitam yang panasnya luar biasa tersebut.
Ayano melihat sekitarnya, asap putih tersebut adalah salju yang halus yang perlahan menjadi es, tetapi karena efek api hitam milik Alexa, es-es tersebut bahkan salju yang mereka pijak pun meleleh, bukan meleleh lagi, melainkan menguap menjadi asap. Dan tanah yang mereka pijak menjadi hitam gosong, dan Ayano bisa merasakan bahwa rumput yang terkubur dibalik salju sebelumnya juga ikut terbakar oleh Api milik Alexa.
"Ayano, jawab pertanyaan ku sebelumnya!" tegur Alexa, "A- Aku tidak pernah-" Ayano terdiam saat beruang tersebut mulai memamerkan cakar di tangannya, dan beruang kutub tersebut menancapkan kedua kuku kaki depannya ke tanah,
Ayano tahu tehnik itu, "Alexa! Lempar apimu ke tanah sekarang!" teriak Ayano sambil menarik lengan Alexa, lalu menariknya agar lompat tinggi bersama, Alexa tidak tahu maksudnya, tetapi Alexa melakukannya. Ia lempar api hitamnya yang panasnya tidak ketolong ke tanah, es-es yang membentuk seperti duri tumbuh dari dalam tanah, tetapi hal yang sama terjadi seperti sebelumnya, es-es tersebut habis menjadi asap dingin saat api hitam Alexa menyebar ke area disekitar mereka, apinya pun hampir mengenai sang beruang tersebut, sehingga beruang tersebut refleks mundur, membuat suara dentuman kencang ditanah.
Ayano pun mencabut pedang Estoc nya yang runcing, "Alex, ayo kita habisi mahluk ini sebelum mencapai kota." "Iya, aku juga tahu itu" Sahut Alexa, Ayano membelai lembut bagian tajam pedangnya, dan ia pun menjajarkan telapak tangannya dengan pedangnya, dan kemudian ia bisa merasakan seluruh tubuhnya memanas, mengerahkan tenaganya yang membuat seluruh tubuhnya mengeluarkan energi listrik yang berdansa disekitar tubuhnya, dan mata biru aqua nya menyala, sehingga terasa pedas bagi Ayano.
Langit yang tadinya biru seperti baja, sekarang tertutup oleh awan-awan hitam, dan membuat suara guntur yang memekakkan telinga. Alexa juga mengerahkan energi diseleruh tubuhnya, dan membuat api-api hitamnya muncul dari tubuhnya dan Alexa pun diselimuti oleh api-api hitam. Ayano tanpa bicara lagi ia meluncur ke beruang tersebut, ia melompati bagian-bagian tubuhnya, dari telapak kaki depan, bahu, lalu sampai ke punggungnya yang berduri. Beruang kutub tersebut berdiri hanya dengan kedua kakinya dan meraung-raung, "Ayano, kau sedang apa!?" teriak Alexa, ia tidak tahu apa yang Ayano rencanakan.
Ayano berlari di atas punggung beruang tersebut, ia terus menginjak-injak bagian punggung beruang terdebut yang berbeda-beda sambil menjaga keseimbangan berdirinya di duri es di punggungnya yang besar dan tebal, seolah Ayano mencari bagian lunak beruang tersebut. Ia pun lompat ke duri es yang lain, dan melakukan hal yang sama, dan ia pun berhenti di duri es keempat yang ia naiki.
Bagian yang ia tendang kali ini terasa begitu empuk, Ayano tanpa berpikir pun ia langsung mengerahkan energi listriknya dan menancapkan pedang Luviosnya ke bagian lunak tersebut, dan semakin lama listrik yang menghantar Estoc nya semakin lama menyetrum seluruh tubuh beruang tersebut, beruang itu pun mulai mengamuk dan mulai lompat-lompat yang kelihatan seperti menari sambil kepanasan.
Saat seperti itu, Alexa ambil kesempatan untuk menyerang beruang itu, kuku merahnya yang lancip mulai tumbuh 6 sentimeter dari biasanya. Dan ia segera berlari menuju beruang itu, lalu ia melompat sampai ia mencapain dada beruang tersebut yang masih berdiri dengan dua kaki, lalu menancapkan kukunya yang lancip tersebut di kulit beruang tersebut, dan kemudian Alexa pun merosot ke bawah dengan kuku yang masih menancap di kulit beruang tersebut, menyisakan luka gores dan kukunya terlepas dari kulit beruang tersebut saat di bagian perut beruang. Beruang itu terus meraung semakin keras, antara marah dan kesakitan.
Dan awan-awan hitam yang berkumpul diatas mereka mulai menghasilkan petir, dan menyambar tepat ke arah beruang tersebut. Ayano pun langsung loncat turun dari punggung beruang tersebut, Alexa dan Ayano memperhatikan beruang itu perlahan mati oleh sambaran listrik yang terkumpul diatas mereka.
Kesunyian berlangsung sampai beruang tersebut perlahan mengecil, jarum-jarum es dipunggungnya lepas dari punggungnya dan menguap seperti dipanaskan dalam oven. Dan tubuh beruang itu berhenti mengecil saat bentuknya sudah terlihat seperti bayi beruang kutub, dan
memasangkan wajah kebingungan diwajah Ayano maupun Alexa.
"Apa-apaan barusan?" ujar Alexa, dan Ayano berjalan mendekati beruang tersebut pelan-pelan, dan saat sudah dekat, ia jongkok disamping tubuh bayi beruang kutub tersebut, tidak bergerak.
"Sudah mati." kata Alexa sambil melangkahkan satu kaki ke arah Ayano, Ayano mengangguk pelan "Aku tahu," dan Ayano pun berdiri "Aku hanya tidak mengerti apa yang barusan terjadi." ia membalikkan badannya untuk menghadap ke Alexa.
Yang mereka berdua saksikan barusan, belum pernah sekalipun terjadi saat mereka menghadapi binatang-binatang buas yang pernah mereka lawan sebelumnya.
Alexa "Apakah kau mau lanjut kesana atau..." tetapi Ayano mengerutkan keningnya, ada yang tidak beres disini. Tetapi ia menepis hal itu dari pikirannya, "Ayo kita lanjut." ucapnya dengan bibirnya yang sudah kaku seperti es. Apapun yang barusan terjadi, sebaiknya bukan tanda-tanda akhir jaman, ataupun ancaman.