Chereads / Panggil Aku, N! / Chapter 1 - Namaku N

Panggil Aku, N!

🇮🇩SitiAisah793
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 4.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Namaku N

Perkenalkan namaku N. Nama panjangku, Nnnn! Pendeknya, N. Ups, salah sebenarnya namaku bukan N saja. Masih ada embel-embelnya, tapi karena malu aku lebih suka memperkenalkan diri dengan nama N saja. "Panggil aku, N!" Tiap kali ada yang ingin berkenalan denganku.

Bukannya aku ingin jadi anak durhaka, karena tidak menghargai nama pemberian orang tua. Bagaimana pun aku percaya, jika nama adalah doa dan harapan kedua orang tua pada kita. Permasalahannya aku tidak suka dengan nama pemberian orang tuaku. Bukan tidak suka lagi, tetapi benci setengah mati. Gara-gara nama itu, aku sering kali jadi korban bullying. Namaku selalu jadi bahan ejekan favorit teman-teman sekolahku, hampir sepanjang hidupku. Kenapa? Karena, namaku bukan lagi katrok bin udik. Dari skala 1 sampai 10, namaku mendapat nilai 11 untuk tingkat keburukan. Sangat jelek.

Kau tahu siapa namaku?

Nama panjangku Narto. Ndeso, kan? Yep! Ngaku ajalah, jika kalian sependapat denganku jika nama itu memang ndeso. Aku mungkin masih bisa sedikit menerima nama panjangku jika saja aku terlahir sebagai laki-laki. Permasalahannya, aku perempuan. Masak perempuan bernama Narto. Nggak elit banget, kan?

Dulu, saat masih SD, aku tak terlalu menggubrisnya. Teman-teman sekolahku nggak begitu kejam menyorakiku saat aku menyebutkan namaku. Mereka paling mesam-mesem. Maklum, rata-rata teman-teman SDku ya tetanggaku sendiri. Jadi, sudah nggak heran lagi dengan namaku yang aneh. Tapi, lain ceritanya saat aku duduk di bangku SMP. Aku jadi korban bullying favorit pada masa itu, hingga aku sempat mogok tak mau masuk sekolah. Jika bukan karena kasihan sama ortu, kakak-kakak, para paklek-pakde, dan para budhe-bulek yang susah payah membiayai sekolahku yang tak murah, ingin rasanya aku berhenti saja.

Semua kisah pilu itu bermula saat aku masuk sekolah untuk pertama kalinya. Perasaanku campur aduk kala itu. Ya, bangga karena aku satu-satunya di keluarga besarku yang berhasil duduk di bangku SMP. Ya, deg-degan, gugup dengan yang akan ku hadapi nanti. Juga, takut. Gimana kalau aku jadi murid paling bodoh di SMP Negeri 3 Jepon? Setelah melewati banyak hal, akhirnya aku berhasil sampai di sekolah dengan selamat, menumpang pada kendaraan colt pembawa sayur-mayur yang sedang lewat bersama teman-teman dari kampungku yang juga psekolah di sana.

Aku langsung mencari papan pengumuman untuk melihat kelas baruku nanti. Aku tidak begitu beruntung, karena terpisah dari teman-teman SDku lainnya. Hanya aku seorang yang di kelas 7-5. Tapi, aku positif thinking. "Nanti juga dapat teman baru." Kataku lirih membesarkan hatiku. Aku bergegas mencari kelas baruku. Kelasku diapit diantara kelas 7-4 dan 7-6. Kelasku dekat bangunan perpustakaan dan laboratorium. Aku tersenyum tipis, senang dengan keberuntunganku. Hatiku membuncah dengan segala harapan yang tersimpan.

Lalu, semuanya berubah pahit saat wali kelasku masuk dan mulai mengabsen kami. "Narto!" Panggil Bu Dwi, wali kelasku lantang sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, mencari makhluk hidup bernama Narto di kelasnya.

Merasa dipanggil, aku pun berdiri. Aku menarik-narik rok seragam SDku yang warnanya sudah pudar dan lusuh dibandingkan dengan teman sekolahku lainnya, supaya sedikit rapi. Maklum rok bekas pemberian tetangga yang kini duduk di bangku SMU. Dengan gugup, aku menjawab, "S-saya, Bu."

"Eh!" Gumam guru berambut kriting, tapi cantik dengan warna kulitnya yang kuning langsat. "Namamu benar Narto?" Tanyanya memastikan.

"Enggih." Karena gugup, aku menjawab dengan bahasa Jawa.

Grrrr...! Kelas yang tadinya sunyi senyap karena takut dengan guru langsung dipenuhi gelak tawa. "Ha ha ha...!" Tawa mereka sambil menunjuk-nunjukku. Pipiku memerah, malu. Rasanya, aku ingin menggali lubang di tempat itu, masuk ke dalamnya dan tak ingin keluar lagi. Malunya nggak ketulungan.

"Kamu kan perempuan. Kok diberi nama Narto?" Tanya Bu Dwi sambil senyum-senyum cantik.

"Salah pencatatan pada akte, Bu. Tertukar antara huruf i dengan o. Jadilah namaku Narto." Jelasku dengan kepala tertunduk malu.

"Kenapa tidak dibetulin selagi belum lulus SD?" Tanya Bu Dwi lagi.

"Ribet, Bu. Soalnya kantor pencatatan sipil sangat jauh dari rumah."

"Kan bisa dikuasakan pada orang lain. Perangkat desa misalnya."

"Bisa sih Bu, tapi biayanya mahal."

Bu Dwi tersenyum tipis. Sejujurnya, biaya merubah akte kelahiran tidaklah mahal. Tapi, untuk ukuran orang gunung mungkin terlalu mahal. Mahalnya itu, biaya lain-lainnya, seperti biaya transportasi dan akomodasi. Mengurus berkasnya kan bisa seharian penuh. Tapi, ya sudahlah. Sudah terlanjur. Mungkin memang sudah takdirnya ia bernama Narto.

Sejak itulah, N sering jadi korban bullying favorit para penghuni sekolah. Di waktu awal-awal Narto ngamuk, ngambek, dan marah. Ia sering menangis di tengah malam sendirian karena tertekan secara emosional akibat bullying mereka. Lama kelamaan ia jadi kebal. "Nanti juga berhenti sendiri." Pikirnya acuh tak acuh. Ia lebih memilih fokus belajar biar pintar daripada mengurusi orang-orang usil itu. Perjuangan Narto membuahkan hasil. Berkat ketekunannya belajar, ia berhasil menyabet gelar sebagai murid paling pandai se SMP Negeri 3 Jepon. Itulah yang menghantarkannya untuk melanjutkan sekolah hingga di bangku SMA dengan mengandalkan beasiswa prestasi.

Narto pun jadi kebanggaan keluarganya. Ia didukung penuh oleh keluarganya untuk melanjutkan study di kota. Demi itu, mereka sepakat urunan. Kabar baik dari bibinya yang bungsu. Ia dipersunting oleh seorang pemuda dari dukuh Krabyakan, dukuh yang sangat dekat dengan SMADA calon sekolah Narto selanjutnya. Jadi N bisa menghemat waktu tempuh sekolah dengan tinggal di rumahnya.

Untuk mencegah insiden serupa tidak terulang lagi di sekolah dan sekaligus menikmati hari-hari damainya di sekolah, Narto memutuskan untuk menyebutkan nama lengkapnya pada hari pertama sekolah. Ia pun memilih memperkenalkan diri dengan nama N pada setiap yang bertanya. Tapi, ia lupa dengan absensi sekolah.

Jika namanya terdiri dari lebih dari dua kata, mungkin saja di absensi nama Narto ditulis dan N saja. Sayangnya namanya hanya satu kata. Otomatis guru wali murid yang mengabsen pasti akan mendesaknya untuk memberi tahukan nama lengkapnya. Dengan kata lain itu sia-sia.