Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mangnolia Lotus

🇮🇩Lien_Hua
--
chs / week
--
NOT RATINGS
17.9k
Views
Synopsis
Aku mendekat dan menyentuh wajahmu yang dingin, sekarang mata yang tertutup membawa air mata ke mataku. Melihatmu diam seperti ini membuatku mengutuk diriku sendiri. Darah segar yang tergenang kini membeku karena suhu dingin, kali ini aku tidak kuat. Liontin zamrud motif lotus perunggu yang aku kenakan membawa diriku kembali ke masa lalu, aku duduk diam memegangnya erat-erat di dadaku. Aku kembali menatapmu dan berkata, "Selama kau di sisiku, aku akan baik, tapi sekarang... kau..."
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 01 - Danau Mangnolia

Bunga mangnolia tumbuh murni di taman persik, aku melihatmu dengan mata sedih. Air mata terus mengalir. Sebuah pedang terhunus dengan cepat, tanganku gemetar dan pedang itu terlepas. Taman yang awalnya emas berubah menjadi merah, aku bersalah. Aku bertanya apa yang aku lakukan, sekarang aku menyesalinya. Melihat baju putihmu yang berlumuran darah sudah membuatku sedih.

Rasa sakit ini mungkin bertahan lama. Kulihat mata dan bibirmu yang semula berwarna kini telah terhapus. Tawa yang awalnya kudengar digantikan dengan keheningan. Kamu sekarang terbaring kaku tanpa jiwa dan meninggalkan aku di suatu tempat. Melihatmu diam-diam duduk diam di tengah lautan salju, satu-satunya kata yang bisa kuucapkan adalah, "Maaf.".

Aku mendekat dan menyentuh wajahmu yang dingin, sekarang mata yang tertutup membawa air mata ke mataku. Melihatmu diam seperti ini membuatku mengutuk diriku sendiri. Darah segar yang tergenang kini membeku karena suhu dingin, kali ini aku tidak kuat.

Hati yang semula dibentengi kini mulai runtuh satu per satu, kuteriakkan namamu, "Huang Lien." Tak tahan lagi, bunga teratai yang sudah lama mekar kini telah meninggalkanku, layu, tak lagi indah dan harum. Bau teratai yang dulu tercium kini telah tergantikan dengan noda darah.

Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.

Liontin zamrud motif lotus perunggu yang aku kenakan membawa diriku kembali ke masa lalu, aku duduk diam memegangnya erat-erat di dadaku. Aku kembali menatapmu dan berkata, "Selama kau di sisiku, aku akan baik, tapi sekarang... kau..."

Sepuluh tahun yang lalu.

Taman bunga Mangnolia penuh dengan kepingan salju, angin berdesir seperti musik di seruling. Taman putih itu jauh di atas pegunungan putih. Daizu seperti tempat melayang di atas awan. Seperti surga, Daizu adalah tempat para pemuda tampan belajar puisi. Taman inti memiliki nama, "indah dalam ucapan (Mingwei)."

Aku memegang kuas sambil membentuk kata-kata puitis. Dunia di MIngwei Daizu sangat indah dan sunyi. Pakaian yang selaras dengan dunia di Mingwei Daizu memiliki ritmenya sendiri, "Bunga Mangnolia Putih adalah putih dunia dan indah dalam ucapan, melalui semua salju Anda akan mencapai ritme seruling dan kecapi yang cocok, jadi bicaralah kebenaran dan Anda akan dihargai oleh orang-orang karena dunia putih yang indah dan suci."

Dalam buku setidaknya begitu, halaman 126 oleh Daozong.

Aku terus menggerakkan kuas, irama kuas sekarang berbunyi, "Danau di teratai adalah surga, lihat berapa banyak orang di sana? Puluhan, ratusan, ribuan. Ribuan tangkai bunga teratai membawa orang ke dunia baru, merah muda adalah ritme yang tepat untuk membawa kita ke langit murni. Jadi orang yang berada di kerumunan orang yang sama akan membawa orang itu ke dunia baru, sikap dan perilaku mereka diuji pada ribuan orang yang berbeda."

Keheningan di ruangan itu berubah dalam sedetik, aku melihat tulisan yang tersusun rapi berubah menjadi tinta hitam dengan garis-garis acak. Suara seperti burung gagak yang melihat orang mati membuatku mematahkan kuasku menjadi dua. Masih ada sedikit kesabaran tersisa saat suara berhenti, tapi lihat siapa burung gagak yang sedang menikmati makanan mereka.

Orang yang berisik itu memasuki Mingwei dengan kasar.

Orang berbaju hijau muda dengan gaya sederhana duduk di depanku, tersenyum membawa bunga teratai dan orang ini berkata, "Ini hadiah dari aku."

Mata kuningku menajam setelah melihat sosok tidak sopan seperti burung hitam busuk masuk tanpa permisi terlebih dahulu, aku bangkit dari tempatku berada. Tapi ada tangan yang memegang bajuku yang halus, aku dengan dingin berkata, "Lepaskan."

Orang yang kulihat sekarang menarik kemeja putihku sambil menjawab, "Aku baru saja kembali dari dermaga lien, kenapa kamu memperlakukan teman sekelasmu seperti ini? Setidaknya bermainlah denganku." Saya menjawab, "Kita bukan teman."

Aku dengan santai menarik bagian bawah bajuku dan memilih untuk meninggalkan penyusup ini, tetapi setiap kali aku keluar, baju putih saljuku ditarik ke belakang dan membuat aku berkata, "Apa yang kamu inginkan?"

"Setidaknya terimalah hadiahku." Katanya sambil menunjukkan gigi putih susunya.

"asalkan kau pergi dari sini." kataku tegas.

Aku menerima bunga teratai bertangkai tiga dan teringat sebuah syair dengan nada, "Seorang kekasih atau teman yang aku temui memberi aku nada pada kecapi: Orang dewasa seperti guru, anak kecil perlu dididik. Anak nakal seperti ayam memberikan hadiah kepada induknya Artinya: Jika seseorang memberikan hadiah, terutama anak kecil, maka harus ada keinginan, misalnya anak ayam yang memberikan hadiah kepada ibunya pasti memiliki niat tersembunyi.

Aku menjauhi orang yang sekarang ada di hadapanku, seperti hal buruk yang datang dan menghantui orang dengan sikapnya yang kekanak-kanakan dan tidak boleh ditiru. Aku berjalan keluar dan membiarkan orang bernama, "Huang Lien." Itu sendirian karena aku sudah menduga bahwa anak-anak ayam tidak akan mematuhi perintah ibu mereka, jadi salah satu dari mereka harus menyerah.

Dari luar dadaku kaget. Lima bak teratai tersusun rapi di atas tempat itu. "Apa semua ini?" Aku berkata setelah melihat kata-kata, "Dao Dai." Terukir di kendi cokelat besar yang kulihat.

"Oh, aku mengukir namamu dengan ukiran, seberapa bagus itu? Tentu saja kamu kehilangan kata-kata." dia berkata.

Aku menjawab, "Hentikan semua kekanak-kanakanmu."

"Hei, ini hadiah dariku. Daizu tidak pernah memiliki bunga lotus kan?, hanya setumpuk salju yang dingin, jadi aku memberikan lotus sebagai hadiah. Jangan malu-malu, aku tidak akan meminta imbalan apa pun. ." dia melanjutkan.

Aku kembali ke dalam dan mengunci pintu agar Huang lien tidak masuk.

"Oi, Dao Dai tidakkah kamu menyukainya? Setidaknya katakan. Oi, Buka pintunya. Apa salahku?" Kata-kata yang kudengar dari balik pintu tidak kujawab dan berbalik dengan kuas dan kertas. Aku melihat coretan tinta hitam sebelumnya dan membuat aku meremas gulungan itu dengan erat, bagai dendam yang dalam.

Danau dan air terjun mewarnai kepingan salju. Dunia kini telah berubah gelap, bulan dan bintang memenuhi langit. Pegunungan Daizu masih sama, Memiliki embun putih cemerlang. Mengikuti bagian timur bulan purnama, pohon mangnolia malam menyanyikan sajak lamanya, "Dunia malam adalah dunia orang mati. Ketika embun tumbuh di sana para pahlawan tumbuh. Angin malam berhembus, membantu para pedagang .Ketika kereta kuda ditangkap oleh pencuri, para pahlawan datang dengan bintang anomus. Memberi banyak kebaikan di malam hari, dengan penutup mata mawar. Tidak buta, tetapi berkorban dengan seorang teman lama. Di malam hari dia memainkan seruling di tengah taman mawar berkata, "Terima kasih teman lama." Dia menangis di malam hari tanpa bersuara, itulah malam sejarah para pahlawan."

Itulah puisi yang aku baca. Malam ini adalah malam Daizu yang sangat indah jadi aku memainkan kecapi sambil bernyanyi di bawah pohon mangnolia, sendirian.

Aku ingin melanjutkan dengan bait berikutnya tetapi malam yang berbunga-bunga digantikan oleh suara yang familiar. Aku berdiri dan mencari sumber suara yang tidak jauh dari sana. Aku melihat sosok laki-laki yang sedang mengadu dengan batang pohon pinus, laki-laki bermata biru itu mengeluarkan sebuah benda tajam, itu adalah pedang. Bilah pedang hijau yang diukir dengan bunga teratai perak milik Sekte Lien, jadi jelas bahwa pria itu adalah Huang Lien.

diam-diam aku menatap. Dalam hati aku berkata, "Apa yang kamu inginkan kali ini?"

Aku terkejut bahwa malam bertiup, daun-daun beterbangan di tubuh Huang Lien. Mengelilinginya dengan lembut dan tergores juga pohon itu sangat dalam dengan bilah tajam pedang teratai. Aku segera keluar dengan berteriak, "Hentikan."

"Daizu melarang seni bela diri." kataku.

Seketika pandanganku menjadi kabur, bayangan pria yang kulihat memudar. Perlahan tubuhku terhuyung-huyung, tidak bisa seimbang. Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi aku merasa dingin di sekujur tubuhku seperti berenang di lautan es. Dan sudah, aku menyerah, visiku kini menjadi benar-benar gelap.